Sang Sniper

Sang Sniper

Sang Sniper

Oleh: Rachmawati Ash_

Siang hari yang terik, tak segumpal awan pun di langit. Rerumputan yang dipanggang matahari tampak lesu, tak bergairah dan putus asa. Taman kota seperti kaku, termangu dan sepi. Ujung-ujung pohon nanar memandang langit yang garang, menunggu sesuatu datang.

                                                 

Sepanjang jalan trotoar berjalan santai seorang pria bertubuh kekar dan berkulit sawo matang. Usianya sekitar empat puluh tahunan, terlihat lesu dan malas-malasan. Mengenakan kemeja merah dan celana jeans pemberian  majikannya. Pria itu berjalan lenggang kangkung di trotoar yang sunyi, wajahnya merah dan berkeringat. Di pundaknya bertengger tas besar berisi segala macam alat menembak- jelas milik seorang tuan muda atau seorang bos yang kaya raya.

 

Udara kering, semua yang bernyawa sembunyi dari matahari. Minggu siang yang sunyi, memang tidak aneh di musim panas seperti saat ini.

“Rendra Bagus!” Pria itu sekonyong-konyong berhenti dari langkahnya yang malas. Telinga mencari asal suara yang memanggil namanya. Dahinya berkerikut, matanya menyapu penjuru taman kota yang gersang. Dari sebelah kanan, seolah muncul dari dalam bumi, seorang wanita muda dengan tas punggung besar berdiri dengan senyum malu-malu.

“Maya!” Pria ini berhenti sejenak dan menurunkan tas dari pundaknya. “Hemm, bagaimana kamu bisa sampai di sini?” Pria ini mengambil kembali tasnya dan meneruskan langgkahnya berjalan di trotoar kota.

“Gadis desa beramai-ramai datang ke kota untuk bekerja di restoran, jadi aku mengikuti mereka.”

Maya mengikuti langkah Pria di depannya, keduanya melangkah dalam keheningan, tak satu pun dari mereka yang berbicara. Maya senang melihat pria di depannya dalam keadaan baik-baik saja.

“Kenapa kamu tak pernah pulang dan mengunjungi kami lagi?” suara Maya menembus ke telinga Rendra Bagus. Seketika langkahnya kembali terhenti, matanya memandang wanita yang lebih muda sepuluh tahun di depannya.

“Percuma aku pulang, Ayah dan Ibu tak menyukaiku!” matanya menatap Maya dengan sungguh-sungguh.

Maya masih berjalan dengan langkah kecil, mencoba menerima kenyataan bahwa kepergian pria ini bukan karena dia tak menyayangi keluarganya, tetapi rasa marah yang tak kunjung pergi dari hatinya. Maya tahu keadaannya waktu itu memang memprihatinkan, sering sakit dan menyusahkan keluarganya.

“Tapi Ayah dan Ibu merindukanmu, maafkanlah mereka, Rendra Bagus.”

“Untuk apa aku pulang? Sebentar saja aku berada di rumah membuatku ingin marah, aku takut aku tidak bisa mengendalikan diri.” Ucap Rendra berjalan di samping Maya.

“Aku ingin kamu pulang, Aku juga merindukanmu Rendra Bagus!’

“aku hanya akan menyakiti hatimu, membuatmu repot dan sengsara, kenapa kamu tidak menyadarinya juga May?” Rendra Bagus menatap Maya, membuat Maya malu dan berdebar-debar hatinya.

“Tapi bagaimanapun kamu adalah keluarga kami, tidakkah kamu mau memaafkan kami?”

“Aku tidak suka hidup miskin, aku tidak suka makan tidak enak, aku lebih suka tinggal di kota sesuka hatiku.” Rendra berjalan tanpa memperdulikan Maya yang semakin kesulitan mengimbangi langkahnya.

 

Rendra Bagus merasa kehidupannya sekarang lebih nyaman. Dia telah menjadi seorang atlet tembak yang sukses. Beberapa kali namanya disebut-sebut dalam berita di televisi karena berprestasi. Kini, Dia  tinggal bersama seorang pejabat yang menyukainya. Pejabat daerah yang juga memiliki hobi menembak. Pejabat itu sebenarnya tidak membutuhkan ahli menembak yang handal seperti Rendra Bagus, tetapi pejabat itu membutuhkan teman di rumahnya yang besar dan sepi. Rendra Bagus telah menjadi orang kepercayaannya dalam segala hal. Seperti membawa mobilnya yang rusak ke bengkel seperti siang ini.

“Tapi kita menikah secara sah dua belas tahun lalu, kamu pergi karena amarah hanya karena hal sepele, aku masih menunggumu Rendra Bagus.” Maya meneteskan air mata. Sungguh, Maya tidak bermaksud menangis di depan suaminya yang telah lama pergi meninggalkannya. Hatinya menyesali keadaan yang telah memisahkannya selama belasan tahun dengan suaminya itu. Kedua orang tuanya merasa terbebani karena Rendra Bagus sakit paru-paru dan tidak bisa bekerja mencari nafkah.

“Aku menikahimu, karena dijodohkan oleh kakakmu yang baik hati itu, sejak awal kamu tahu aku tidak mencintaimu, kenapa kamu tetap menerima pernikahan itu, hem?” Rendra Bagus mendengus, menghentikan langkahnya dan duduk di kursi taman yang panas.

“Karena aku menyukaimu…” suaranya hilang diantara tangisnya yang tertahan.

“Kamu , cantik, baik, dan pandai mencari uang, kenapa kamu tidak menolakku waktu itu?” Rendra Bagus bergeser, memberikan sisa tempat duduk untuk Maya.

“Karena aku menyukaimu…” suaranya masih terdengar seperti orang berbisik.

“Aku hanya menganggapmu sebagai perempuan pekerja, aku tidak mencintaimu, bagaimana kita bisa hidup bersama, berpikirlah realistis, may.” Rendra Bagus bangkit dari duduknya.

 

Maya mengikutinya, keduanya kembali berjalan dengan keheningan yang menyayat hati.  Beberapa ratus meter mereka tetap berjalan berdampingan tanpa saling berbicara. Angin panas menerpa wajah keduanya dengan sesuka hatinya. Pucuk-pucuk pohon mahoni masih memandang dan berharap sesuatu turun dari langit yang terik.

Rendra Bagus menurunkan wajahnya, memandang wajah Maya yang sendu dan masih menangis.

“Jangan menangis, May, kamu boleh bahagia, tapi tidak denganku.” Kalimat Rendra Bagus membuat Maya tiba-tiba tersadar dan membuatnya berpikir waras. Maya menyadari bahwa selama ini penantiannya sia-sia. Suami yang ditunggunya tak pernah bisa mencintainya.

“Kudengar kamu telah membeli rumah untuk seorang perempuan, apa dia pacarmu?” Maya menyeka air mata, kali ini bibirnya tersenyum tulus kepada Suaminya. Rendra Bagus membalasnya dengan anggukan mantap. Rendra Bagus berjalan meninggalkan Maya yang masih berdiri termangu di trotoar yang terik. Maya tersenyum, memperhatikan tubuh kekar itu pergi menjauh. Punggung pria itu menghilang setelah  melewati belokan menuju ke bengkel mobil di belakang gedung berlantai lima.

 

Rachmawati Ash. Wanita penyuka cerita Romance

Leave a Reply