Luka dalam Diam (Episode 3)
Oleh: Cici Ramadhani
Seperti biasa, Bu Fatimah membangunkan keempat anak-anaknya. Takbir telah berkumandang sejak terakhir mereka berbuka puasa.
Nina membuka mata perlahan kemudian berjalan sambil membawa handuk menuju kamar mandi. Ternyata Bu Fatimah telah menyiapkan air rebusan daun pangir, yang menjadi semacam tradisi di kampung halaman Bu Fatimah. Mandi dengan air pangir serasa lebih segar dan wangi, bahkan wanginya mengisi seluruh ruangan rumah kontrakan mereka yang bertipe 36.
Ketiga anak laki-laki Bu Fatimah shalat di mesjid, sedangkan Bu Fatimah dan Nina shalat di rumah.
Selesai shalat subuh, Nina membantu Bu Fatimah memanaskan lauk pauk menu lebaran. Ada kuah lontong, rendang daging, ayam semur, dan taoco tahu kering.
“Mengapa Ibu memasak begitu banyak?” tanya Nina sambil terus mengaduk sayur santan yang berisikan potongan dadu wortel dan jipang sebagai kuah dari lontong agar santannya tidak “pecah”.
Di sini, Ibu “dituakan”. Jadi kalau ada yang bertamu sesama perantau, Ibu akan lebih bahagia bila bisa menyajikan hidangan.
Setelah berjuang menjadi single parent selama dua tahun, kerja serabutan demi menghidupi keempat anaknya, Bu Fatimah memutuskan merantau mengikuti ke mana suaminya pergi, berharap Pak Brata luluh hati menafkahi anak-anaknya.
Pak Brata sendiri dipindahtugaskan ke kota kecil, jauh dari kampung halaman Bu Fatimah, dan menjadi seorang PNS di Kantor Kejaksaan.
Bu Fatimah mencari tahu keberadaan Pak Brata melalui teman kerja Pak Brata. Setelah Nina tamat SMA, Angga tamat SMP, dan Doni tamat SD, Bu Fatimah memboyong mereka ke perantauan. Surat keterangan pindah pun sudah di tangan. Bu Fatimah sudah membulatkan tekad. Tak mungkin lagi membebani keluarga besar dengan kehidupannya dan anak-anaknya. Bu Fatimah sendiri mendapatkan biaya dari bantuan beberapa kerabat dan pinjaman dari teman-temannya. Tentu perlu biaya tidak sedikit untuk pindah.
***
Tiga tahun lalu.
“Bu, kenapa kita pindah kesini?” tanya Nina pada Bu Fatimah saat turun dari bus. Sepuluh jam perjalanan membuat badan Nina terasa remuk redam. Nina tak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Paling jauh ke kota besar, itu pun hanya menempuh empat jam perjalanan.
“Ibu akan memperjuangkan hak kalian. Dari nol, Ibu hidup dengan bapakmu. Merasakan gajinya yang kecil. Bahkan dulu, memperbaiki motornya saja Ibu harus membantu dengan menjual emas hasil kerja Ibu sebagai sekretaris. Ibu tidak akan membiarkan wanita itu menang dan menikmatinya,” jelas Bu Fatimah pada Nina setelah duduk di sebuah warung makan yang tidak jauh dari loket pemberhentian bus.
Nina hanya diam. Dia hanya menuruti apa kata ibunya karena dia belum paham betul masalah kedua orang tuanya. Dari dulu, ingin dia bertanya tapi semua kata-kata seolah tercekat di tenggorokan.
Kini, mereka telah sampai di kompleks perumahan. Kebanyakan rumah-rumah minimalis di sini adalah kontrakan. Kebanyakan penghuninya adalah perantau dari kota besar yang dipindahtugaskan ke daerah ini. Kompleks perumahan ini sendiri tidak jauh dari Kantor Kejaksaan, tempat Pak Brata bekerja. Hanya beberapa ratus meter dari sana.
Setelah selesai berbenah, Nina dan adik-adiknya memijit kaki Bu Fatimah bersamaan. Sedangkan si bungsu Farhan yang berusia tiga tahun sudah tertidur lelap. Bu Fatimah bersyukur memiliki anak-anak yang pengertian. “Kalian tumbuh dewasa sebelum waktunya,” itulah yang sering di ucapkan Bu Fatimah. Ada rasa sedih dalam raut wajahnya. Anak-anaknya hanya tersenyum karena tidak mengerti apa makna dari ucapan Bu Fatimah.
***
Keesokan harinya, Bu Fatimah ditemani Nina ke kantor Pak Brata, menemui Kepala Pimpinan Kantor Kejaksaan. Di sinilah perjuangan dimulai. Tidak gampang menemui Pak Kepala. Bahkan ada staf yang meragukan status Bu Fatimah. Syukurnya, Bu Fatimah telah menyiapkan segala berkas penunjang, terutama buku nikah.
Setelah berkali-kali Bu Fatimah dan Nina ke kantor, akhirnya Bu Fatimah bisa bertemu Pak Kepala. Diaturlah jadwal untuk “sidang” Pak Brata dan Bu Fatimah.
Bu Fatimah ke kantor seorang diri, sedang Nina memilih untuk menjaga Farhan di rumah agar tidak berisik saat “sidang” berlangsung.
Sebelum sore, Bu Fatimah telah pulang. Nina menyambut dengan harap cemas.
“Assalamu’alaikum,” ucap salam Bu Fatimah sambil membuka pintu.
“Waalaikumsalam,” jawab Nina sambil mencium punggung tangan Bu Fatimah.
“Gimana, Bu?” tanya Nina setelah ibunya masuk dan duduk selonjoran, melemaskan otot-otot kakinya yang menegang karena berjalan.
“Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa kita.” Bu Fatimah mulai bercerita sambil menahan sesak di dada.
“Tadi di sana, Ibu dipertemukan dengan bapakmu. Kami bertiga di ruangan Pak Dermawan, pimpinan kantor kejaksaan.” Bu Fatimah mengambil napas sejenak kemudian melanjutkan ceritanya.
Nina tampak tak sabar mendengar kabar berita yang di bawa ibunya. Ketiga adik-adiknya tengah bermain di luar, jadi ibu dan anak ini lebih leluasa bercerita. Adik laki-lakinya masih sekolah dan masih terlalu dini untuk mendengarkan segala masalah rumah tangga orang tuanya.
“Ibu ceritakan kepada Pak Dermawan bahwa bapakmu telah menikah lagi dan tidak menafkahi selama dua tahun.”
***
“Jadi, Ibu maunya bagaimana? Apa Pak Brata dipecat saja?” tanya Pak Dermawan memandang Bu Fatimah dan Pak Brata bergantian.
Seketika sepasang suami istri yang saling menunduk ini mendongak ke arah Pak Dermawan. Kemudian ketika saling bertatapan, sekilas tatapan tajam penuh kebencian terpancar dari mata Pak Brata, berbanding terbalik dengan mata Bu Fatimah yang penuh duka.
“Tidak, Pak!” jawab Bu Fatimah kemudian.
“Mas Brata adalah ayah dari keempat anak-anak saya. Mereka masih butuh dukungan materi. Jika Mas Brata dipecat, bagaimana nasib mereka?” Bu Fatimah menahan air mata yang hendak tertumpah.
“Jadi, Ibu maunya bagaimana?” tanya Pak Dermawan kemudian.
“Saya mau, gaji utuh buat saya dan anak-anak, Pak,” ucap Bu Fatimah perlahan. Lagi-lagi Pak Brata menatap sinis pada Bu Fatimah.
“Hemmm ….” Pak Dermawan berpikir sejenak. “Sebenarnya gaji seorang suami benar adalah hak anak dan istrinya, bagaimana Pak Brata?” tanya Pak Dermawan meminta pendapat Pak Brata.
“Saya siap dipecat jika itu yang diinginkan, daripada saya bekerja tapi tidak menikmati hasil jerih payah saya. Masa saya yang bekerja tapi orang lain yang menikmatinya?” ucap Pak Brata dengan lantang.
Pak Dermawan kaget atas penuturan Pak Brata, begitu juga Bu Fatimah.
Ternyata kami sudah menjadi orang asing di hatimu, Mas, lirih batin Bu Fatimah.
“Baiklah, begini saja,” ucap Pak Dermawan memecahkan keheningan beberapa saat. “Karena Pak Brata yang bekerja namun masih ada kewajiban untuk anak dan istri, keputusan saya, gaji Pak Brata dibagi dua tiap bulannya. Buat Pak Brata dan Bu Fatimah, gimana? Adil kan?” jelas Pak Dermawan menatap kedua pasangan di hadapannya, mengharap persetujuan.
“Baiklah, Pak, daripada tidak sama sekali,” jawab Bu Fatimah penuh keyakinan. Sedangkan Pak Brata hanya mengangguk-angguk saja, antara pasrah dan tak rela.
“Baiklah, saya harap ke depannya hubungan kalian berdua lebih baik lagi. Ingat, anak-anak butuh dukungan kedua orang tuanya,” ucap Pak Dermawan mengakhiri “sidang” karena merasa sudah mendapat kesepakatan.
***
“Jadi, Bu, mulai bulan depan Ibu dapat gaji Bapak?” tanya Nina penuh semangat.
“Iya, Nak. Alhamdulillah, tiap bulan nanti bapakmu akan datang mengantar setengah gajinya buat kita.”
Nina langsung memeluk ibunya. Kini, ibu dan anak itu berpelukan sambil menangis menahan segala rasa.
“Tapi, Nak, uang satu juta itu pasti enggak akan cukup buat makan kita sehari-hari, belum lagi sekolah adik-adikmu,” ucap Bu Fatimah sambil melepaskan pelukan Nina.
“Jadi bagaimana, Bu?” tanya Nina kemudian sambil menyeka air di sudut matanya.
“Ibu akan coba mencari kerja di sini.”
“Semoga segera dapat ya, Bu,”
“Aamiin,” keduanya serentak mengaminkan sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
***
Setelah menunaikan shalat Ied di mesjid, Bu Fatimah dan anak-anaknya pulang ke rumah, melakukan ritual sungkeman tanpa sang suami. Berurai air mata, semua rasa tumpah menjadi satu. Ini adalah tahun ketiga mereka di perantauan tanpa sanak saudara, dan terlebih lagi tanpa Pak Brata. Pak Brata lebih memilih pulang kampung bersama istri mudanya.
Beberapa tetangga berdatangan ke rumah Bu Fatimah. Ada yang setelah bersalaman lalu langsung pulang. Ada juga yang berbincang sambil bersama-sama menyantap hidangan yang sudah tersedia.
***
“Nin, kamu enggak mau keluar nonton motor cross?” tanya Bu Fatimah saat pagi hari pada Nina. Bu Fatimah duduk di samping Nina yang sedang asyik menonton TV.
Sejak Nina pulang sehari sebelum lebaran hingga hari ini lebaran kelima, Nina selalu diam di dalam rumah. Bagi Nina, berdiam diri di dalam rumah adalah hal yang biasa. Nina lebih suka menghabiskan waktunya dengan menonton TV, mendengarkan musik atau bantu-bantu Bu Fatimah di rumah. Nina memang seperti itu sejak SD sampai kuliah. Hanya sesekali Nina pergi ke mall atau bioskop jika sepupunya mengajak.
“Malas, ah, Bu … panas-panasan di sana,” jawab Nina sambil matanya tidak beranjak dari TV.
“Tapi yang main Mas Kum, loh,” lanjut Bu Fatimah kemudian.
“Hah, maksudnya gimana, Bu?” tanya Nina menatap heran wajah ibunya.
“Iya, dari yang Ibu dengar, Mas Kum ikutan lomba motor cross. Ibu juga gak tau bener atau gak. Kalau kamu mau nonton ayo Ibu temeni. Kita ajak adik-adikmu sekalian hiburan daripada lebaran di rumah aja.”
***
Mas Kum, lengkapnya Brama Kumbara. Lelaki itu dulu adalah langganan di warung Bu Fatimah. Ya, beberapa bulan setelah tinggal di kota perantauan, Bu Fatimah membuka warung atas usulan teman kenalannya di kota ini. Tentunya dengan bantuan pinjaman teman kenalan Bu Fatimah. Beruntung, ke mana pun Bu Fatimah melangkah selalu bertemu orang-orang yang percaya dan membantunya, mungkin juga karena iba dengan kehidupan Bu Fatimah.
Warung Bu Fatimah tidak jauh dari Kantor Kejaksaan. Memang sudah ada beberapa warung makan, tapi tidak ada salahnya mencoba peruntungan, pikir Bu Fatimah saat itu. Sejak menjadi single parent selama dua tahun, Bu Fatimah tidak pernah melepaskan peluang yang ada. Selama pekerjaan itu halal buat anak-anaknya. Bu Fatimah bahkan pernah jadi pembantu. (*)
Bersambung …
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata