Empat Sekawan
Oleh : Karna Jaya Tarigan
Ondel-ondel berjalan menembus panasnya siang. Ada empat anak lelaki dalam satu rombongan kecil itu. Yang dua, berjalan lincah ke sana-sini sambil membawa kaleng sawer dan menyodorkannya kepada siapa saja yang kebetulan dijumpai di pinggir jalan. Yang satu, anak ceking yang berkulit gelap dan penuh semangat mendorong gerobak kecil yang dilengkapi dengan pengeras suara seadanya. Dan yang seorang lagi “bersembunyi”di dalam ondel-ondel. Sambil berjalan, kadang ia berjoget dengan caranya yang unik: melonjak, berputar, berjinjit, berjalan dan melompat lagi dengan kedua kakinya, seakan-akan anak itu ingin menggapai sesuatu. Ya, anak tersebut membuat pertunjukan ondel-ondel yang menarik. Tidak biasa, namun lucu dan sangat menghibur. Biasanya, ondel-ondel hanya diam dan statis, seperti patung penerima tamu atau patung selamat datang. Namun kali ini, mereka menggubahnya menjadi lebih dinamis. Kreativitas anak-anak milenial yang tanpa batas.
Ondel-ondel sebenarnya adalah bagian dari seni pertunjukan masyarakat Betawi yang biasanya dimainkan hanya pada pesta-pesta rakyat. Bentuknya yang menyerupai boneka raksasa, berambut ijuk, dan terbuat dari kerangka bambu yang ringan agar mudah dibawa ke mana-mana. Ia diberi warna cerah agar menarik perhatian. Tapi entah kenapa, sekarang ondel-ondel justru “turun kelas” dengan diajak berkeliling mengamen; mencari uang recehan dan menyusuri jalanan. Apakah ini termasuk dekadensi budaya? Entahlah … anak-anak ini hanya berpikir sederhana.
*
Sebenarnya keempat bocah lelaki itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Selepas siang, mereka segera berangkat untuk mencuri start, sebab cuaca di bulan-bulan ini memang sangat tidak bersahabat. Hujan yang datang, tidak bisa diperkirakan dan seringkali justru turun di sore hari, tepat saat mereka sedang semangat-semangatnya menjalankan aktivitas. Untuk mengakali situasi tersebut, mereka berangkat lebih awal. Berjaga-jaga akan kemungkinan terburuk.
Seandainya saja ayah-ayah mereka adalah pejuang tangguh kehidupan, tentu saja anak-anak ini tidak harus turun ke jalanan, mencari tambahan uang-yang tidak seberapa-dengan melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa. Jika bisa memilih, tentu saja mereka lebih memilih tidur siang atau bermain dengan teman sebaya atau “memegang” buku untuk menggapai cita-cita mereka. Tapi keempat sekawan ini tahu, bahwa mereka tidak bisa diam dan pasrah. Mereka berupaya melawan kerasnya kehidupan, dan melawan ketidakberdayaan.
Namun begitulah kehidupan, di mana-mana kaum pribumi selalu berpikir dan bergerak lebih lambat, jika dibandingkan dengan para pendatang yang lebih ulet dan tekun. Orang tua mereka merasa cukup puas menjadi tukang parkir di depan toko-toko swalayan, menjaga perempatan atau tikungan jalan sebagai polisi cepek, atau menjadi makelar tanah yang lebih banyak duduk di bangku warung kopi ketimbang mendapatkan hasil. Anak-anak mereka, justru yang lebih peka, mengambil inisiatif sendiri: memberdayakan ondel-ondel sebagai alat mengamen; alat mencari uang.
*
Keempat anak tadi, Udin, Darip, Darwan, dan Soleh sedang beristirahat di emperan sebuah warung. Mereka baru saja membeli dua gelas minuman dingin sebagai penghilang dahaga. Minuman itu disesap bergantian, sebagai bagian dari upaya penghematan.
“Biar ngirit, Coy ….” itu yang selalu diucapkan Darwan jika mereka kebetulan mampir ke warung untuk membeli sesuatu. Ia yang bertugas sebagai bendahara, juga merangkap kasir, tak pernah bosan-bosannya selalu mengingatkan kepada teman-temannya: “Ngirit. Ngirit.” Biasanya setelah Darwan mengucapkan kata-kata tersebut, Darip dan yang lainnya tertawa cengengesan.
Darip, anak lelaki yang ukuran tubuhnya lebih bongsor dibandingkan teman-temannya bertanya. Matanya tertuju pada kaleng-kaleng sawer yang ditaruh asal, di atas ubin.
“Udah dapet berapa, kita nih? Kayaknya lumayan, deh ….”
“Iya Rip, gue hitung-hitung, isi kaleng kita semua, udah dapet seratus ribu.” Darwan yang sedari tadi sibuk menghitung uang recehan, menjawab, “ Kalau enggak jadi hujan mah, mungkin hasil ngamen kita pasti lumayan,” ia menambahkan.
“Alhamdulillah. Kayaknya gue bisa ngelunasin uang pangkal sekolah, nih!” Soleh, bocah lelaki yang paling kurus di antara mereka, tersenyum penuh harap.
“Ayo, semangat, semangat. Kita jalan lagi yuk! Takut keburu hujan. Tuh, udah mulai mendung lagi …” Udin memberi semangat kepada teman-temannya, seraya meneguk minuman dingin di tangannya.
“Yuk!” mereka menjawab hampir secara bersamaan.
Lalu keempat anak tadi segera melanjutkan kegiatannya kembali. Ondel-ondel berjalan menyusuri jalanan. Mereka tahu, cuma kerja keras yang mampu mengubah nasib mereka. Di atas kepala mereka, mendung telah menggelayut di atas langit. Bunyi rebab yang “cempreng” beradu kencang dengan deru angin yang sedang mendorong awan gelap dan debu-debu jalanan. Tetapi mereka tidak terlalu khawatir, sebab mereka tahu, angin kencang adalah pertanda baik. Angin akan mendorong awan yang berisi hujan ke suatu tempat. Langkah mereka pasti, sama-sekali tanpa keraguan.
*
Jam 9 malam, saatnya pulang. Jalanan telah lengang dan mulai sepi dari kendaraan-kendaraan yang lewat. Jendela-jendela rumah penduduk pun banyak yang telah ditutup, dan hanya menyisakan pendaran cahaya yang keluar menerobos lewat lubang ventilasi udara. Melewati kebun rambutan yang luas, milik Pak Haji yang katanya, orang kaya di Jakarta, lalu masuk melalui gang sempit yang hanya bisa dilewati sepeda motor, rumah Soleh berdiri di samping musala kecil yang hanya mampu memuat belasan jemaah.
Baru saja Soleh memasuki pekarangan rumah, tiba-tiba suara adiknya yang sedang menangis di dalam kamar mengejutkannya. Ia bergegas, mendorong daun pintu, dan ….
Ia melihat ibunya yang sedang merintih kesakitan sambil memegangi perut. Wajahnya terlihat begitu pucat, menahan rasa sakit yang sangat.
“Emak sakit, Bang. Bapak dari tadi siang belum pulang. Mau dibawa ke dokter, enggak ada uang. Bapak enggak pulang-pulang,” sambil menangis adiknya berusaha untuk mampu berbicara.
Soleh diam, ia dongkol. Lagi-lagi bapaknya tidak bertanggungjawab sebagai lelaki. Ia segera mengambil uang tabungannya yang disimpan di bawah tumpukan pakaian di dalam lemari, tersembunyi di balik lipatan baju koko.
“Ayo, kita bawa Emak ke dokter. Coba kamu panggil Bang Simin, tukang ojek online. Biar saya dan Emak aja yang pergi. Enggak muat kalau pakai motor, soalnya ….”
Di langit, awan gelap yang berisi hujan telah menghilang. Beberapa bintang mulai mengintip dari balik celah awan. Di atas motor, sambil memeluk tubuh emaknya yang lemah, Soleh menghela napasnya. Gagal sudah ia membayar cicilan uang pangkal sekolah. Ada rasa kecewa sebenarnya, tapi ini lebih kepada sikap bapaknya. Namun anak lelaki ini berusaha menepis hal-hal menyedihkan tersebut. Kali ini ia hanya berpikir satu hal. Bagaimana emaknya bisa sembuh dan sehat kembali.
“Yah, sudahlah. Besok aku akan berbicara dengan Bu Rachma, wakil kepala sekolah. Mudah-mudahan ia bisa mengerti dan mau memberi sedikit kelonggaran waktu. Semoga saja aku bisa mengumpulkan uang dalam waktu sebulan.” Soleh berusaha berbesar hati.
Esok masih ada.
Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula. Bapak 2 anak, tinggal di pinggiran Bekasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata