Sia-sia

Sia-sia

Sia-sia
Oleh:
Andi Nur Vira Dela

Sedari tadi tatapan Viko tak pernah lepas dari pemuda jangkung di depannya. Sejak wali kelas mereka mengumumkan nilai kuis matematika yang ia dapati, nilainya lagi-lagi hanya beda satu angka, bukannya lebih tinggi, tapi lebih rendah dari pemuda tersebut. Kemudian diperparah dengan segala macam pujian yang dilontarkan oleh wali kelas mereka. Hal tersebut semakin membuat Viko terbakar api cemburu.

“Kenapa selalu Alfin? Selalu dia yang dipuji guru-guru sejak awal masuk ke sekolah ini. Kenapa nilai-nilaiku nggak bisa melampaui dia? Sekeras apa pun aku belajar, masih nggak bisa mengalahkan nilainya, begitu juga ranking satu seangkatan, dia juga yang ambil. Aku kapan dipuji? Selalu aja dibanding-bandingkan dengan dia,” gerutunya sambil membuka buku latihan dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Sontak semua mata menatapnya penuh tanya, terheran-heran dengan sikapnya itu. Termasuk wali kelasnya yang saat ini tengah menjelaskan di depan kelas.

“Kenapa, Viko?”

“Anu … Bu. Saya mau ke kamar kecil, sudah gak tahan pengen pipis,” alibinya.

“Boleh, tapi jangan lama-lama di sana,” ujar wali kelasnya.

“Iya, Bu. Terima kasih.”

***

Sepulang sekolah, baru saja Viko memasuki halaman rumahnya, ia disambut adu mulut ibu dengan tantenya yang tinggal satu atap bersama ia dan keluarganya. Viko tidak menanggapi dan malah melenggang begitu saja menuju kamar, kemudian membanting pintu, mengurung diri di ruangan kecil itu. Dia mengacak rambutnya, frustrasi, muak dengan keadaan keluarganya itu. Sekarang pun masih terdengar suara pertengkaran mereka yang entah keberapa kalinya. Viko yang mendengar itu bergegas mengganti pakaian, lalu mengambil kunci motor di atas meja belajar. Ia keluar dengan tergesa-gesa melewati adiknya di ruang keluarga.

“Viko, kamu mau ke mana lagi?” tanya ibunya.

“Bukan urusan Ibu,” jawabnya ketus. Berlalu dari sana, tak menghiraukan seruan orang rumahnya.

Lain halnya dengan rumah Viko yang penuh dengan kebisingan, rumah megah milik keluarga Alfin malah sebaliknya. Rumah itu tampak sangat tenang, bahkan suara jangkrik pun dapat terdengar dari balik gerbang tersebut. Itu semua dikarenakan orangtua Alfin saat ini tengah sibuk dengan urusan kantor. Begitu pun dengan kakak sulungnya yang kini sedang mengambil kuliah di luar negeri, pulang saat libur panjang saja. Mereka meninggalkan Alfin di rumah bersama para pembantu rumah tangga dan sopir pribadi.

“Papa sama Mama belum pulang, Bi?” Tatapan matanya tak terlepas dari film yang tengah ia tonton.

“Iya, Den, katanya mereka hari ini lembur di kantor, terus besok langsung ke luar kota lagi,” jelas seorang wanita tua yang saat ini tengah sibuk menyiapkan makan malam untuk majikannya.

“Mau Bibi buatkan camilan sama teh hangat?” tanyanya kemudian.

“Boleh … camilan kayak biasa, Bi, yang banyak!” ujar Alfin antusias.

“Siap, laksanakan.” Sambil mengangkat ibu jari ke udara, senyum terukir di wajah yang tak lagi kencang itu.

***

Pagi ini, sebelum pelajaran bahasa Inggris dimulai, kelas Viko mendapat giliran olahraga. Tetapi, Viko beralasan kurang enak badan. Gurunya pun mengizinkan dia tidak mengikuti pelajaran. Setelah semua anak keluar dari kelasnya, Viko kemudian mendekati meja saingannya itu. Mengambil laptop dan mengutak-atiknya, mengerjakan sesuatu.

Tanpa dia sadari sedari tadi ada yang memasang mata dan telinganya di balik dinding. Memperhatikan Viko dari kejauhan. Saat Viko berbalik, mata mereka bertemu. Langsung saja anak itu berlari menjauh dari sana.

Sayang, Dewi Fortuna tidak memihak padanya. Viko sudah menarik lengannya dan membawa dia ke lorong yang sepi. Kemudian mencengkeram kerah bajunya seperti hewan buas yang takut kehilangan mangsa.

“Apa aja yang lo lihat tadi?” tanya Viko tanpa melepaskan cengkeraman tangannya pada kerah baju anak itu.

“Gue nggak lihat apa-apa tadi, sumpah.”

“Awas aja kalo lo berani lapor guru! Hidup lo nggak bakal tenang!” ancamnya.

“Iya, gue janji nggak bakal lapor ke guru. Tapi lepasin dulu, gue nggak bisa napas, nih,” mohonnya pada Viko.

Setelah Viko melepaskan cengkeramannya, siswa ini pun bergegas pergi dari sana. Viko menatap kepergian siswa itu dengan tatapan tajam.

 

Andi Nur Vira Dela dengan nama pena Puuus. Aku lahir di Makassar, 14 April 1999. Sekarang berdomisili di Kota Makassar. Genre yang aku suka itu romance dan teenfic. Penyuka segala hal yang berbau K-Pop. Bagi yang mau berkenalan lebih dekat dengan aku, bisa ke akun Instagram @delayndni, bisa juga membaca karya-karyaku di akun wattpad @Puuuus. Terima kasih dan semangat berliterasi bagi kita semua.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply