Cewek Jelek
Oleh : Dinni Alia
Mataku menelisik ke arah pintu kelas. Terdapat seorang gadis bergincu dengan bedak yang teramat tebal. Belum lagi, gelang warna-warni di tangan kanannya, juga poni yang sepertinya sengaja dikeluarkan dari kerudungnya. Huh, gadis itu sebenarnya niat bersekolah atau menjaja mata lelaki? Tidak tahu malu! Namun, berhubung sekelas dengannya, terpaksa aku harus berteman dengan dia. Dekat pula. Takdir yang menyebalkan.
“La, Senin depan enggak ada upacara, ‘kan?”
Alisku mengernyit. Bukan karena pertanyaan gadis bergincu bernama Citra, melainkan sebab sesosok lelaki. Ia adalah Tydo. Lelaki yang dua tahun belakangan ini mengisi hatiku, melangkah dengan gagahnya ke hadapanku. Mata hitam pekat ditambah alis tebal yang tak tertata, serta warna bibirnya yang menyala seperti memakai pewarna. Astaga, aku hampir hilang kendali. Untung saja wajahku tak terasa panas. Eh, pertanyaan Citra pun sampai lupa kujawab. Gara-gara Tydo yang menggoda ini. Sial!
“Enggak dong, Yang.” Tydo menyengir kuda.
Aku memelotot kaget dengan mulut terbuka sedikit. Tydo mencolek dagu mulus Citra yang disusuli wajah kesenangan gadis itu. Huh, aku kembali salah sangka. Tydo berniat menghampiri Citra, bukan diriku.
“Tapi, tadi kata pembina OSIS, upacara. Kebijakan kepsek baru,” sanggahku.
Tydo mengangkat alisnya sebelah, sebelah sudut bibirnya pun ikut naik ke atas. “Bodoh. Gue gak nanya lo.”
Ya ampun, mengapa rasanya oksigen habis terhisap omongan Tydo yang pedas? Menyesakkan dada. Ditambah lagi, Citra justru terkekeh geli. Beberapa saat, kutatap tajam mata milik Tydo sebelum melarikan diri. Di dalam matanya, tak terdapat setitik pun rasa penyesalan. Hatiku seperti diiris sembilu rasanya.
Aku berlari di koridor dengan kencang tanpa memerhatikan kondisi sekitar. Pundakku menabrak beberapa orang, siku menyenggol lengan yang menghalang.
“Aaw,” keluhku.
Aku jatuh terduduk. Mataku melirik ke atas, ada seorang cewek culun berkacamata tebal. Walaupun, kuakui cewek dengan rambut kepang dua ini sangat cantik. Di sebelahku juga terdapat beberapa buku yang tergeletak berserakan. Aduh, apakah aku harus meminta maaf?
“Ini koridor, bukan lapangan buat tempat lo lari, bego!”
Aku berdiri tegak. Alangkah terkejutnya aku ketika melihat lelaki bertubuh atletis muncul di balik tubuh gadis culun itu membentakku, menimbulkan rasa takut. Namun, aku tekan rasa takut itu dengan melipat kedua tangan di depan dada. Alisku ikut terangkat sebelah, juga disertai senyuman sinis. Aku tak patut takut pada orang selagi ia juga sama-sama memakan nasi.
Jari telunjuk aku arahkan pada wajah si gadis culun seraya berteriak, “Heh! Cewek culun ini juga enggak mau minggir!”
Lelaki itu memajukan badannya. Aku refleks mundur seketika dengan muka masam. Kalau aku dicincang karena modal nekat, sungguh tak lucu.
“Sudah, jangan. Aku enggak suka kamu kasar, ya,” ucap gadis culun itu lembut.
Aku mengambil kesempatan kembali berlari kencang kala mereka memunguti buku yang berserakan, dan tentu saja tanpa meminta maaf. Masa bodoh dengan sopan santun.
Terkadang, aku sering heran pada sikap lelaki padaku. Mereka menyahut perkataan cewek lain dengan lembut, tetapi lain lagi denganku. Membela perempuan lain, namun menghinaku tanpa belas. Memangnya apa yang berbeda?
Langkahku perlahan melambat. Tersadar akan sesuatu. Jemari tangan kananku meraba wajah hingga menempel pada bisul kecil-kecil berisi lemak atau yang kerap disebut jerawat. Kedua pipiku banyak dihiasi bopeng bekas jerawat. Ditambah lagi, warna kulit yang beda jauh dengan susu. Menurut dugaanku, lelaki tidak menghargaiku karena hal itu. Aku tak mulus, yang juga berarti tak cantik. Mengenaskan.
“Aduh.”
Aku memejamkan mata sembari menahan napas. Pundakku kembali bersenggolan dengan orang, lalu tak lama terdengar suara bokong yang bertemu dengan lantai. Cobaan apa lagi ini?
“Ma ….”
Mataku melotot sempurna seraya menatap wajah lelaki di hadapanku. “Maaf nabrak. Jangan salahin gue lagi, oke? Gue serius enggak sengaja.”
Ampun, deh. Cewek jelek sudah bosan disalahi. Tetapi, orang di depanku mengapa garuk-garuk tengkuk dan terlihat salah tingkah? Aduh, hari ini rumit sekali.
“Kok e ….”
Aku kembali memotong perkataannya dengan berkata, “Aduh, maaf yang sebesar-besarnya!”
Seperti sebelumnya, aku berniat untuk kabur. Namun, baru saja aku mengambil ancang-ancang, lelaki ini malah menahan sebelah tanganku.
“Gue mau minta maaf! Kenapa terus sela omongan gue, sih?” ketusnya.
Aku menggaruk hidungku yang tak gatal. Tak menyangka lelaki ini justru meminta maaf.
“Eh, ki—”
“Ikut gue!” paksanya.
Aku hanya pasrah kala tangan kananku ditarik olehnya. Ini aku mau diapakan? Otakku sudah buntu. Sampai akhirnya aku dan dia sampai di taman belakang sekolah yang membuat alisku terangkat sebelah.
“Ngapain ke sini?” tanyaku heran.
Bukannya menjawab, ia malah tetap berjalan menuju kursi yang menghadap pada bunga-bunga cantik bermekaran. Dan tentu saja dengan tetap memegang tanganku, juga memaksa aku untuk duduk di sebelahnya.
Lelaki ini menatapku serius. “Lo ada masalah, ya?”
“Apaan, sih?!”
Orang di depanku membuat kepala pening. Tak saling mengenal, tapi bertanya tentang masalahku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengalihkan pandangan pada bunga-bunga cantik di hadapanku.
“Bukannya lancang, nih. Soalnya tadi muka lo keliatan cemas, minta maaf sama gue lagi. Padahal, yang nabrak itu gue,” jelasnya.
“Oh, itu. Karena gue takut disalahin sama lo.” Aku mengerutkan kening seraya terkekeh. “Pagi ini gue melakukan dua kesalahan. Terus orang itu marah-marah.”
Terdengar lelaki itu berdeham. “Wajar, lah. Apa yang salah?”
Aku menghela napas gusar. “SALAH BESAR! Mereka, cowok-cowok itu, menyalahkan gue tanpa memikirkan perasaan gue. Cowok itu baik sama cewek lain, tapi lain lagi sama gue! Apa karena gue jelek, terus enggak berhak dihargai?” Aku menunduk lesu. Kesal bercampur malu rasanya bercerita pada lelaki yang tak kukenal. Ditambah lagi, lelaki di sampingku ini justru berbicara santai.
“Enggak, juga. Buktinya, tadi gue minta maaf sama lo.”
Selanjutnya, tubuhku menegang ketika ia berbisik tepat di depan telingaku, “Lagian, lo cantik! Karena pada dasarnya cantik itu relatif, juga berarti luas.”
“Berhenti berpikiran sempit sama kata cantik, oke?” ujarnya seraya mengacak rambutku.
Ya Tuhan, selamatkan hatiku.
Dinni Dwi Alia Rahma. Remaja 14 tahun yang menduduki tingkat akhir di salah satu SMP Karawang, tetapi menetap di Kabupaten Bekasi. Perempuan yang lebih sering disapa Dinni Alia ini sangat senang menuangkan ide dalam bentuk cerpen ataupun puisi. Semenjak terjun ke dunia kepenulisan pada pertengahan 2019, ia telah berhasil menjadi penulis terpilih dalam beberapa sayembara hingga terbit menjadi sebuah buku berbentuk antologi. Dapat disapa via Instagram: @dinni.alia.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata