Payung Biru

Payung Biru

Payung Biru
Oleh : Dede Aah Humairoh

Arinda menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Sore ini langit tampak cerah, tak biasanya. Payung biru tersimpan rapi di dalam tas. Sepatu tak basah kuyup karena genangan air di sepanjang jalan. Rok pun tak harus ia setrika lagi saat akan pergi ke sekolah karena basah. 

Pulang sekolah sore ini, secerah hatinya karena mendapat nilai tertinggi di mata pelajaran Matematika. Pelajaran yang sangat ia sukai.

Motor RX merah melaju dengan cepat. Genangan air di jalan berlubang, tandas dilewatinya juga. Cipratannya mengenai rok dan sepatu. Kotor dan bau pesing karena anak-anak di sekitar gang suka membuang air kecil di sana. Arinda menarik napas, ia kesal dengan kelakuan si pembawa motor. Tanpa rasa bersalah melaju begitu saja, tanpa berhenti untuk minta maaf. 

“Dasar lelaki sontoloyo! Lihat saja nanti kalau aku tahu siapa orangnya.” Ardina menggerutu sambil mengucek-ucek rok yang basah, kotor, juga bau. Setelah itu, tangannya ia majukan ke depan karena bau pesing sangat kuat dirasa. Kemarahannya semakin memuncak pada lelaki di balik helm dan jaket belakang bertuliskan AKU ANAK MAMA. 

Ardina terpaksa mencuci rok sekolahnya, tak cukup hanya disetrika. Bau pesing sangat kuat. Rasa bahagia karena mendapat nilai ulangan tertinggi menguap begitu saja. 

Seragam yang agak basah dipakai Arinda keesokan harinya. Meski sudah disetrika tadi pagi, tapi tetap saja masih terlihat basah sebagian. Arinda berangkat sekolah dengan raut kesal. Tak dinyana, ia kembali melihat lelaki berhelm dengan kendaraan yang sama seperti kemarin, juga jaket lusuh bertuliskan AKU ANAK MAMA di gerbang sekolah. Arinda bergegas menemui lelaki itu dengan segudang kata-kata kemarahan yang memenuhi otaknya. 

“Hei, lelaki tak punya etika! Kamu, kan, yang kemarin sore membawa motor sangat kencang di Gang Haji Basir? Lihat, nih! Akibat kelakuanmu, rokku harus dicuci dan sekarang masih agak basah.”

Girel, membuka helmnya. Lelaki dengan pesona luar biasa itu merapikan rambutnya yang acak-acakan dengan kedua tangganya. Ditatapnya spion motor sambil sedikit bergaya. 

“Kamu siapa?” Pertanyaan yang menohok Ardina setelah ia meluapkan segala emosinya. Tanpa rasa bersalah malah bertanya balik. 

Ardina meradang. Kekesalannya semakin bertambah. Tapi, ia tidak bisa melanjutkan umpatannya. Bel sudah berbunyi dan gerbang hampir ditutup. Ardina pergi meninggalkan Girel dengan kata-kata terakhir bernada ancaman. 

“Awas aja kamu, urusan kita belum selesai!”

Girel dengan cueknya hanya memandang Ardina sebagai perempuan aneh yang tiba-tiba datang merusak paginya di sekolah. Tanpa menghiraukan segala anacaman Ardina, ia pun bergegas masuk sekolah. 

*** 

“Hei, kamu. Urusan kita belum selesai!” Ardina berkacak pinggang di samping meja tempat Girel makan di kantin. Perbuatannya itu mengundang perhatian siswa lain. Apalagi, Girel merupakan salah satu siswa yang populer di sekolah. Otomatis, semua mata tertuju pada Ardina. Perempuan yang berani-beraninya membentak Girel.

“Sebenarnya lu ada urusan apa sih sama gue? Udah deh, kalau mau nyari perhatian gue jangan kaya gini. Gue tahu lu suka sama gue.” Dengan penuh percaya diri Girel berbicara sambil meminum es jeruk di gelasnya. Gelak tawa memenuhi ruangan kantin mendengar perkataan Girel, tak sedikit pula siswa lain mencemooh Ardina dengan berbisik-bisik. 

“Dasar kebal dosa! Aku hanya mau ngingetin, kalau bawa motor sedikit beretikalah. Akibat ulahmu rokku basah.” Ardina pergi meninggalkan Girel setelah menyiram baju Girel dengan sisa air jeruk miliknya. 

***

Kejadian di kantin tadi tidak dilupakan Girel, ia harus membuat perhitungan dengan Ardina. Tetapi malang malah menimpanya. Ia diharuskan kerja sama dengan Ardina menjadi pelajar teladan perwakilan dari sekolah.

Baik Ardina maupun Girel berusaha menolak usulan sekolah tersebut. Namun, Pak Dirman bersikukuh dengan keinginannya. 

“Sudahlah, apa lagi alasan kalian? Ini kepentingan sekolah. Jangan bawa masalah percintaan kalian dulu, ya,” tegur Pak Dirman sambil mengedipkan mata ke arah Ardina dan Girel. 

Hampir setiap sore Girel dan Ardina belajar bersama. Hampir setiap hari pula Ardina diantar Girel pulang ke rumahnya. Kondisi ini mengubah emosinya saat awal bertemu.

“Ardina,” panggil Girel saat sampai rumah Ardina setelah mengantarnya pulang. 

Ardina menoleh, perasaan di dadanya bercampur aduk. Seperti roll coaster yang mengombang-ambingnya, seperti ada sesuatu yang berbeda dari cara memanggil Girel. Ya, perasaannya mengatakan seperti itu. Entah ada apa, tapi ia yakin dengan perasaannya. 

“Ardina, aku tahu aku salah saat melajukan motor waktu itu. Maafkan aku.”

Panggilannya kini bukan lu gue lagi. Ya, memang berbeda. 

“Ardina, ini sangat sulit untuk diungkapkan. Tapi, setiap cerita bergenre romantis pasti selalu berakhir bahagia. Menyatukan dua tokohnya di akhir cerita. Dan, aku pun ingin akhir cerita kita menjelma seperti cerita romantis yang dikarang oleh penulis-penulis ternama.”

Perasaan Ardina tak pernah salah. Terbukti, Girel mempunyai perasaan yang sama dengan Ardina. 

“Aku akan bahagia jika aku menjadi tokoh utama dalam cerita romantis, yang menyatukan aku dan kamu,” ucap Ardina.(*)

 

Dede Aah Humairoh, anak ke-7 dari sembilan bersaudara. Ia lahir dan besar di Tasikmalaya. Bergelut dalam dunia kepenulisan sejak 2019 dan beberapa karyanya telah dibukukan dalam bentuk antologi.
Penulis bisa dihubungi di:
FB: Dede Aah Humairoh (Dee The Walk)
IG: @dee_the_walk
Blog: http://deethewalk.blogspot.com/

 

Leave a Reply