Sepotong Kain Tak Bersalah
Oleh: Siti Nuraliah
[Terinspirasi dari kisah nyata]
***
Tiba-tiba ada rasa nyeri membaca satu pesan dari akun Facebook yang kutahu pemiliknya adalah siswiku sendiri.
Maaf, Bu, Ibu kenapa ya gak pake cadar? Bukannya jika menyuruh itu harus sesuai dengan yang dilakukan?
Aku mengerti maksud pesan itu. Pesan itu muncul beberapa menit setelah aku menyapanya lewat pesan untuk bertanya soal foto sudah lepas cadar yang di-posting-nya. Lalu dia menjelaskan alasannya, dan aku mafhum. Itulah yang membuatku tahu jika pesan yang dikirim setelahnya bukanlah dari dia.
Adalah saudara sepupunya, yang menuduhku sebagai dalang di balik perubahan Ais. Siapa sangka siswi kelas 9 madrasah itu tiba-tiba memakai cadar, membuat kaget seisi sekolah. Banyak mata yang memandang dengan macam-macam sinyal. Ada yang senang, ada banyak pula yang tidak suka. Termasuk beberapa teman kelasnya, yang tidak jarang aku mendengar langsung sindiran pedas yang ditunjukkan untuknya.
Berselang setelah itu, pesan kedua masuk.
Ibu gak usah ngomentarin Ais mau pake cadar atau nggak lagi. Itu hak dia
Semakin berkerut keningku dibuat heran.
***
Siapa yang tidak mengenal Ais di sekolah? Ya, siswi dengan nama lengkap Aisyah Khairunnisa. Periang, supel, lucu, cerewet, serta sering bertengger namanya di urutan tiga besar peringkat kelas. Tidak ada yang aneh darinya. Dia salah satu yang tidak pernah lepas memakai handsock saat sekolah, bajunya panjang, dan longgar. Sopan.
Suatu pagi, kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasanya. Riuh tawa siswa merupakan hal biasa.
“Assalamualaikum, Bu, mohon maaf, mau minta isi tinta spidol!”
Seseorang dengan seragam seperti biasa, tapi ada yang beda. Ais yang kusebut tadi. Mata bulat sipit, serta suara cemprengnya aku hafal. Meski wajah manisnya tersembunyi di balik sehelai kain berwarna hitam.
Aku yang asyik membaca buku, sepersekian detik berjeda. Tidak terkecuali beberapa guru yang ada di ruangan. Menatap heran.
Setelah aku memberikan apa yang dipintanya, dia berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian aku kembali membaca, dan yang lain masih biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Toh, sekolah kami tidak ada larangan untuk itu.
Aku bicara dalam hati. Masya Allah ya, Ais, aku yang pengen dari dulu pake, tapi keduluan murid sendiri, semoga istikamah.
***
Esoknya, setelah jam kedua mata pelajaranku selesai, waktu istirahat tiba. Aku mendekati Ais sebagai pendekatan personal. Kuajak dia untuk ngobrol di kantin sekolah, dan itu hal biasa, sebab aku dikenal lumayan dekat dengan beberapa siswa. Barangkali karena usiaku masih muda.
Dari obrolan yang ringan, sampai obrolan yang mana ingin aku sampaikan penting kepadanya.
“Ais, dari kapan pengen pake cadar?
Es teh yang kupesan satu menit lalu mulai berembun gelasnya. Kusedot hampir setengah isinya.
“Mmm … sebenarnya Ais tuh udah pengen dari dulu, Bu. Cuma baru sekarang terlaksana. Alhamdulillah.”
“Tapi bukan cuma untuk gaya-gayaan doang, ‘kan?”
Terdengar menusuk memang pertanyaanku, lantaran prihatin tidak sedikit dari mereka yang malah menjadikan cadar hanya sebagai fashion, bukan sebagai hijab untuk pelindung dan rasa malu.
“Doain aja ya, Bu. Insya Allah nggak. Doain istikamah, ya!”
Suaranya sedikit gemetar, dia menunduk. Sejurus kemudian menyedot habis minuman yang dipesannya.
“Ais tahu ‘kan, keputusan yang Ais ambil akan membuka jalan yang tidak mudah dilewati. Akan ada banyak cibiran, nyinyiran, mungkin akan ada teman yang tidak suka, tetangga, bahkan keluarga.”
Panjang lebar aku menjelaskan perihal sepotong kain itu, yang tidak jarang disalahartikan, dikambinghitamkan, dan dijadikan fitnah untuk para pemakainya. Yang padahal pemikiran itu salah besar.
“Kalo Mamah, sih, ngedukung, alhamdulillah. Cuma ada beberapa anggota keluarga yang masih belum menerima. Tetangga juga omongannya pedes-pedes, Bu. Haha.”
Aku tersenyum mendengarnya.
“Tapi gak apa-apa, Ais, kalau misalnya nanti lagi kumpul-kumpul sama keluarga, boleh dilepas aja cadarnya, pelan-pelan aja dulu. Nanti pakai lagi jika hendak pergi ke sekolah atau keluar rumah. Nanti lama-lama keluarga juga menerima. Tetap jadi baik, ya. Jangan lupa juga memperbaiki akhlak kita. Kan malu kalau pakaian sudah tertutup begini masih melakukan hal yang bertentangan syariat. Putusin pacarnya, ya. Haha.”
Aku pun tertawa, demi mencairkan suasana. Dia mengangguk mantap.
“Oh, iya. Dulu Ibu juga sempat pengen banget pake cadar. Tapi belum bisa. Kebetulan di rumah ada cadar, daripada gak dipake, nanti Ibu bawa. Ais pake, ya, dan semoga istikamah!”
Aku tersenyum, menepuk pundaknya. Bola matanya membulat berbinar-binar.
“Yang Bener, Bu? Wah … makasih banget ya, Bu.” Dia memelukku. Aku mengangguk.
“Iya.”
***
Nyeri ulu hati membaca balasan yang kuterima.
Jadi gini, Bu. Mamah Ais mungkin terlalu dengerin omongan para tetangga yang gak suka. Udah bilangnya ajaran sesat, gak bisa ngurus anak, gak bisa didik anak. Mamah Ais jadi ikut marah, padahal Ais pake cadar awalnya disemangatin Mamah.
Aku menghela napas yang terasa sedikit sesak, kemudian melanjutkan kalimat setelahnya.
Mamah ngambil semua cadar Ais, terus dibakar. Maaf ya, Bu, cadar dari Ibu ikut dibakar juga. Nanti Ais ganti ya, Bu.
Allahu … jantungku serasa diperas. Bulir bening yang sedari tadi bertengger di ujung mata akhirnya luruh juga dengan hanya satu kedipan saja.
Terus kenapa ya, Bu, temen-temen di sekolah juga kayaknya gak suka banget ke Ais? Nyindir-nyindir terus. Nyebut sok suci. Padahal pengen banget mertahanin cadar. Tapi kayaknya gak bisa, apalagi kalau keluarga kita yang bikin drop.
Aku langsung membalas pesan Ais.
Tidak usah diganti, Ais. Tidak apa-apa. Jika itu keputusan Ais, lanjutkan. Semoga bisa tetap sabar dan tetap menjadi baik.
Singkatnya begitu dia menjawab saat aku tanya lewat pesan, “Sudah buka cadar beneran?” Karena sebelumnya, aku sudah mendengar gosipan Ais bakal buka cadar.
Belum reda rasa sesakku oleh pesan itu. Tiba-tiba datang pesan selanjutnya, dari akun yang sama tapi dengan bahasa yang berbeda.
Kubaca ulang isinya.
Ibu tidak usah ngomentarin Ais mau pake cadar atau nggak. Jangan tanya-tanya. Ibu aja gak pake cadar, terus ngapain nyuruh-nyuruh muridnya pake cadar?
Semakin nyeri terasa dadaku. Jadi, dia menganggap aku ada di balik Ais pertama kali pakai cadar? Sepertinya penting juga aku balas.
Mohon maaf, siapa pun ini, saya tidak ada di balik Ais pertama kali pake cadar. Saya termasuk orang yang kaget oleh perubahan Ais yang tiba-tiba. Tapi saya support, sebab orang yang ingin berusaha menjadi baik itu perlu dukungan. Saya tidak ikut campur. Saya tetap dukung Ais apa pun yang jadi pilihannya selama itu baik. Terima kasih.
Kemudian kuklik perintah “blokir”.
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana yang punya hobi membaca sastra lama. Suka menulis apa saja yang disebut sebagai puisi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata