Jangan Suka Ngeluh!

Jangan Suka Ngeluh!

Jangan Suka Ngeluh!
Oleh : Asih Saraswati

Tiada kata libur untuk Sabtu kali ini, rencana untuk liburan harus dipendam dalam-dalam karena acara yang terdengar begitu membosankan. Berpetualang di alam, tiga kata itu yang masih terngiang dalam otak seluruh siswa-siswi kelas sepuluh yang akan mengikuti salah satu kegiatan rutin dari organisasi pecinta alam.

“Setiap kelompok wajib membawa tas untuk membawa perlengkapan. Yang wajib dibawa adalah alat tulis, botol minum yang nanti akan dibagikan dari panitia, dan makanan yang akan diberikan ketika di perjalanan nanti, paham?”

“Siap, paham!” Semua kelompok menjawab dengan keras dan tegas. Hal itu adalah sebagai salah satu cara agar mereka tidak terkena omelan dari kakak kelas yang selalu menganggap mereka lemah.

“Salah satu anggota dari masing-masing kelompok mengambil tas dalam waktu puluh detik, dimulai dari sekarang! Satu … dua ….” Tak sedikit anggota kelompok yang saling tunjuk hanya untuk mengambil tas. Untung saja hal itu tak berlaku untuk Kelompok Jati, yang diketuai oleh Azzah.

Sepuluh detik berlalu, semua anak yang mengambil tas pun sudah berada bersama kelompoknya kembali.

“Seluruhnya, ambil sikap duduk!”

“Siap, ambil sikap duduk!”

“Kerjakan!”

“Siap kerjakan, Rimba.” Semua kelompok langsung duduk dengan tertib di atas tanah tanpa alas. Hal itu harus menjadi kebiasaan karena di dalam organisasi pecinta alam, tak akan mengenal apa itu bersih dan apa itu kotor.

Kakak kelas mulai membagikan nasi rames yang berukuran cukup besar kepada masing-masing kelompok. Tanpa menolak, semua anggota harus menerima nasi itu tanpa bantahan yang disertai alasan-alasan apa pun.

“Silakan, sebelum kita berangkat, isi perut terlebih dahulu agar memiliki tenaga yang cukup!” Teriakan salah satu kakak kelas yang memiliki jabatan tertinggi dalam organisasi itu tak terlalu digubris oleh adik kelasnya yang sudah bersiap menyantap makanan.

“Saya beri waktu sepuluh menit untuk makan, dimulai dari sekarang!”

Semua pasang mata langsung terbuka lebar-lebar dan dengan segera membuka bungkus makanannya kemudian melahap isinya dengan tergesa-gesa.

Sebuah senyuman terbit dari bibir sang ketua pecinta alam kala melihat adik kelasnya makan dengan begitu rakus. Ia kembali teringat dengan masa-masa itu, masa-masa di mana dirinyalah yang ada di posisi mereka.

Matanya melirik ke arah jam tangan yang menunjukan waktu makan adik kelasnya sudah melewati sepuluh menit. Dengan segera ia berteriak, “Setop! Waktu makan sudah habis!”

Gadis yang duduk di barisan paling depan kini mengalihkan pandangannya ke belakang untuk mengecek anggotanya. Ia tak mau dihukum jika ada makanan anggotanya yang belum habis.

“Ada yang belum habis?” Setengah dari jumlah adik kelas mengangkat tangannya dengan ragu-ragu karena cemas dan takut.

Azzah yang sedari tadi memperhatikan siapa saja anggota kelompoknya yang makanannya belum habis, dikagetkan dengan deheman yang terdengar seperti suara laki-laki. Azzah menoleh dan langsung memberikan senyum kikuknya kepada sang kakak kelas yang ternyata sudah berjongkok di hadapannya.

“Lagi ngapain? Pemimpin organisasinya ada di belakang?” tanya laki-laki itu dengan suara dingin.

“Maaf, Kak. Saya hanya ingin mengecek siapa saja yang—”

“Belum habis makanannya? Memang sudah disuruh?” Azzah langsung menunduk dan menggigit bibir bawahnya karena takut.

“Jangan suka seenaknya sendiri jadi anak!”

Azzah langsung tertegun dengan ucapan itu. Sederhana memang, tetapi cukup menusuk.

Dengan perlahan, Azzah kembali mengangkat kepalanya menghadap ke depan. Tatapannya hanya tertuju pada sang ketua organisasi yang masih terus memberi wejangan karena adik kelasnya cukup sulit diatur, bahkan makan sepuluh menit saja tak bisa.

“Makanannya kita rolling! Nyanyikan lagi balonku sambil memutar makanannya ke teman yang lain, saat lagu selesai, makan makanan yang kalian dapat, tanpa mengeluh apalagi membantah!”

Usai berujar demikian, lagu balonku pun mulai terdengar ramai dinyanyikan oleh anak kelas sepuluh yang jumlahnya tak sedikit. Saat lagu selesai, tak jarang anak yang mendesah pasrah mendapati makanannya yang bisa dibilang sebagai makanan yang layak diberikan kepada kucing.

Meskipun sedikit terpaksa, semua anak memakan makanan yang mereka terima dengan senang hati. Namun ada saja yang terus mengeluh, tak terkecuali Lia, salah satu anggota Azzah.

“Enggak enak, ini kayak buat makanan kucing.” Lia berujar dengan begitu lesu. Azzah yang posisinya ada di depannya hanya menggelengkan kepalanya.

“Jangan ngeluh di depan makanan, enggak baik,” ujar Azzah menatap makanannya sendiri. Ia memang berusaha mengingatkan Lia, namun tanpa menatap wajahnya.

“Tapi ini makanannya enggak enak, Azzah.” Entah kenapa suara Lia berubah menjadi naik beberapa oktaf, membuat salah satu kakak kelas laki-laki yang berada tak jauh darinya langsung mendekat.

“Kena lagi, kan,” gumam Azzah. Ia mendesah, pasrah.

“Mau makanannya enak ataupun enggak, kalian harus makan. Setidaknya syukuri apa yang telah Tuhan beri, bukan terus-terusan ngeluh! Sesekali lihat orang yang enggak bisa makan enak kayak kalian! Jangan apa-apa ngeluh hanya karena makanannya enggak enak!”

Azzah membuang napas lega, ia kira yang akan kena omel adalah dirinya karena salah satu anggotanya terus mengeluh, padahal sudah tahu jika kakak kelas pecinta alam itu tidak menyukai apa pun bentuk keluhannya.

“Hei! Ngelamun lagi, itu habiskan makananmu.”

Azzah tersentak kala seorang kakak kelas menghampirinya dan berucap demikian, ia segera memakan makanan di hadapannya dengan cepat hingga tak tersisa.

 

Asih Saraswati, gadis yang berusaha menciptakan karya-karya berbentuk cerita. Meskipun dalam segi ilmu kepenulisan saya masih banyak kekurangan, tetapi saya akan terus berusaha agar semakin bisa menguasai semua itu. Temui saya dalam cerita yang saya upload dalam aplikasi wattpad, Ashsrswt.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply