Iblis Pembisik; Tak Ada yang Lebih Dekat dengan Hidup daripada Kematian
Oleh : Vianda Alshafaq
Iblis Pembisik. Sungguh judul yang tak biasa dan sedikit membuat bulu kuduk saya berdiri. Awalnya saya pikir ini adalah sebuah kumpulan cerpen horor, yang jika boleh jujur saya tidak terlalu menyukai genre ini. Kesan horornya bahkan diperkuat dengan sampul buku berwarna hitam dan merah dengan gambar iblis bertanduk.
Penulisnya adalah Ali Mukoddas dan Halimah Banani. Jika ditanya sudah seberapa banyak karya Halimah Banani—yang lebih saya kenal dengan sebutan Kak Lily—yang sudah saya baca, tentu saya tidak tahu harus menjawabnya dengan angka berapa. Dari cerpen-cerpen beliau yang sudah sejak lama saya nikmati—entah dari web lokerkata.com ataupun saya minta langsung pada beliau—saya selalu dibuat terkaget-kaget dengan ceritanya yang selalu menarik dan tentunya tidak pasaran. Sementara untuk Bang Ali Mukoddas, saya mendengar nama beliau ketika menjadi salah satu pemenang di Tantangan Lokit—entah tantangan yang keberapa, saya tidak ingat. Dan sama halnya seperti cerpen-cerpen Kak Lily, beliau merangkainya dengan apik dan sempurna, menurut saya.
Pertama kali yang saya lirik dari buku ini adalah daftar isinya. Saya lihat dua puluh empat judul cerpen tersebut. Judul pertama yang menarik saya untuk segera membacanya adalah “41 Hari Menulis Kiamat” karya Ali Mukoddas. Saya dibuat bertanya-tanya oleh judul ini. “41 Hari Menulis Kiamat”, ini benar-benar gila!
Mencoba mengabaikan rasa penasaran saya yang sudah tumpah ruah, saya mulai membaca buku ini dari cerpen pertama. “Bernegosiasi dengan Kepergian” menyajikan cara tutur yang sangat lengket di kepala saya. Awalnya saya berpikir kisah ini adalah sebuah kisah cengkerama sepasang kekasih. Namun, Bang Ali Mukoddas benar-benar menjungkir-balikkan ekspektasi saya dengan ending yang tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh saya.
“Guru Ngaji” memberikan kesan yang berbeda dari cerpen-cerpen yang saya baca sebelumnya. Cerpen ini membuka mata saya mengenai politik dan ulama. Saya sangat menyukai pengibaratan yang diberikan cerpen ini: kopi yang ditambahkan gula sebagai pengibaratan ulama yang berperang di dunia politik. Sepertinya Bang Ali Mukoddas ini benar-benar ingin membuat saya melongo. Lagi-lagi dengan ending yang menawan, cerpen ini masih terngiang-ngiang di benak saya sampai saat ini.
Akhirnya saya sampai di “41 Hari Menulis Kiamat”, judul pertama yang melambaikan tangan rentanya kepada saya untuk segera dibaca. Seperti pendapat saya saat pertama kali membaca judul ini, cerpen ini benar-benar “gila”. Saya dibuat merinding dengan peristiwa langit yang dikubangi awan selama puluhan hari. Bagaimana para ilmuwan menganggap semua itu adalah sebuah fenomena alam. Dan, seorang penulis yang memilih untuk menuliskan kejadian itu dalam tulisannya—meski tidak tahu apakah ia akan memiliki pembaca tulisan itu atau tidak.
Apa benar akan seperti ini suatu saat nanti? Itu adalah sebuah pertanyaan yang timbul di benak saya setelah membaca cerpen ini. Cerpen ini mengangkat tema yang tidak biasa. Tema ini tidak pernah saya temukan—atau mungkin belum saya temukan—sebelum ini dalam sebuah cerpen. Tema ini malah sering saya dengar ketika menyimak pengajian. Tetapi, Bang Ali Mukoddas benar-benar berhasil menyajikan tema ini dalam cerpennya.
Meninggalkan Bang Ali Mukoddas, saya beralih untuk bermain-main dengan cerpen Kak Lily. Saya lagi-lagi dibuat iri dengan pemikiran Kak Lily dalam “Akhir dari Cerita si Pengarang”. Dia benar-benar berhasil membuat saya mengingat kalimatnya di suatu waktu: Menurutku setiap cerita berhak atas akhirnya (ending) sendiri. Cerpen ini benar-benar membuat saya berpikir bahwa mungkin saja semua tokoh yang saya tulis selama ini menginginkan alur cerita yang lain. Apa saya terlalu menjadi “Tuhan” selama ini dalam tulisan-tulisan saya? Begitulah yang saya pikirkan ketika terjun dalam kisah ini.
“CENICIENTA” menyajikan perpaduan beberapa sudut pandang yang apik. Tidak hanya dari judulnya yang unik, teknik yang digunakan dalam cerpen ini juga sangat unik. Saya sudah pernah membaca cerpen Djenar Maesa Ayu: Jangan Main-main dengan Kelaminmu. Ketika saya membaca tulisan Kak Lily yang satu ini, saya merasa kembali membaca cerpen tersebut, hanya saja dengan tema yang berbeda.
Saya semakin tidak sabaran untuk bertualang lebih jauh dengan buku ini, yang benar-benar berhasil mematahkan ekspektasi awal saya—bahwa buku ini adalah kumpulan cerita horor.
Patah hati adalah dua kata yang sering sekali saya temui. Entah dari buku-buku, sosial media, atau bahkan curhatan teman-teman. Dan, saya juga menemukannya dalam buku ini. “Suatu Hari Kita Akan Patah Hati” memberikan saya keyakinan bagaimana ketika sebuah doa benar-benar terkabulkan. Cerpen ini—meski sudah pernah saya baca sebelum di dalam buku ini—berhasil membuat saya yakin bahwa Tuhan tak pernah tidur. Tuhan memang selalu mendengarkan doa-doa yang dilangitkan oleh hamba-Nya.
Setelah saya merampungkan buku ini, saya benar-benar setuju dengan prolog yang diberikan oleh Bang Berry Budiman di awal buku, bahwa buku ini memang dikaitkan oleh kata kematian. Dalam buku ini saya melihat betul bagaimana kedua pengarang ini bermain-main dengan kematian. Dan jelas, mereka berhasil membuatnya menarik dalam buku ini.
Agam, 30 Desember 2019
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata