Luka dalam Diam (Episode 1)
Oleh: Cici Ramadhani
Cukup jauh Nina mengayuh sepedanya, hingga akhirnya sampai juga. Namun, hatinya terusik melihat pemandangan di depan mata. Seorang laki-laki tidur di pangkuan seorang perempuan, di depan pintu rumah yang terbuka lebar. Mereka adalah bapak Nina dan istri mudanya.
Nina memarkirkan sepeda di halaman rumah, berjalan mendekati pintu.
“Assalamualaikum,” ucapnya mendekat.
Sontak keduanya menoleh ke arah Nina. “Waalaikumsalam.”
“Masuk, Na,” Tante Ira, istri muda bapaknya mencoba ramah. Nina melangkahkan kaki ke dalam rumah kemudian duduk di kursi yang ada di ruang tamu.
“Pak, aku mau ambil uang buat berobat Ibu,” ucap Nina to the point karena merasa malas melihat kemesraan mereka. Wajahnya pun tak dapat ditutupi bahwa Nina marah dan nadanya juga terdengar jelas tidak senang. Nina hanya anak kecil kelas 5 SD. Anak seusia itu seharusnya berperilaku sebening hati anak-anak seusianya. Namun, cukup banyak kepedihan yang dirasakannya sejak dini, sehingga Nina agak dewasa sebelum waktunya.
Mata bapaknya menyala tajam melihat Nina, rahangnya mengeras, giginya beradu.
“Enggak ada uang!” jawabnya Pak Brata, marah.
Ada embun di mata Nina yang siap jatuh, namun ditahan. “Jadi kayak mana Ibu mau berobat, Pak? Ibu sudah pendarahan dan harus dikuret. Bapak udah janji mau kasih uangnya, makanya aku jauh-jauh datang ke sini naek sepeda!”
Ada kemarahan pada nada suaranya, ada kepedihan jauh di lubuk hatinya, membayangkan ibunya yang terbaring sakit di rumah. Sementara laki-laki ini asyik tertawa dengan istri mudanya.
Brak!
Gadis itu tersungkur ke depan. Saat pikirannya meracau, sang bapak telah menunjang kursi yang dia duduki dan hampir saja mengenai kakinya. Gadis kecil itu menangis, menahan perihnya luka di hati akibat perlakuan kasar sang bapak.
“Udah, Mas.” Tante Ira menahan amarah suaminya.
“Anak ini enggak tahu sopan santun! Ngomong sama orangtua enggak ada lembutnya!” ucap Pak Brata berang.
Gadis itu menangis, menatap tajam ke mata bapaknya. Siapa yang membuatku seperti ini, hah? batinnya. Ingin sekali dia melawan, namun dia tahan mengingat dia harus segera pulang membawa uang.
“Pergi sana kau pulang, enggak ada uang sepeser pun untuk kalian!” usir sang bapak sambil mendorong tubuh kecil itu keluar pintu.
“Tapi Bapak udah janji mau kasih uang buat berobat Ibu. Kesian Ibu, Pak. Ibu sedang sakit di rumah. Harus cepat dibawa ke rumah sakit, “ ucapnya meraung. “Aku enggak akan pulang sebelum Bapak kasih uangnya. Enggak mungkin Bapak enggak ada uang!” teriaknya disertai tangis yang belum berhenti.
Pak Brata menyadari beberapa tetangga keluar melihat Nina dari depan rumah masing-masing. Gadis kecil itu tak peduli, dia tetap mematung di depan pintu sambil sesekali menyeka air matanya.
“Dik, ambil duit Mas di kamar lima ratus!” teriaknya pada Tante Ira. Dengan cepat si istri memberi uang pada suaminya.
“Alhamdulillah,” ucap syukur si gadis di dalam hati. Dia berjalan mendekati pintu, tangannya terulur ingin meraih uang dari bapaknya. Namun, bapaknya menjatuhkan uang itu ke lantai.
“Ambil itu, dan cepat pergi! Jangan pernah minta uang lagi ke sini”
Dengan hati yang hancur gadis kecil itu menunduk, berurai air mata memungut lembar demi lembar uang yang berserakan di lantai. Setelah semua dipungut, dia pun pergi mendayung sepedanya jauh meninggalkan rumah itu.
Sepanjang jalan air matanya terus berjatuhan, dan angin menyekanya.
“Aku harus kuat. Aku enggak boleh nangis depan Ibu. Ibu tidak perlu tahu kalau aku pulang dengan uang serta luka yang teramat dalam.”
Bersambung ….
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata