DangHyang
Oleh: Sekar Rahayu
Narawitri mendongak lalu menoleh. Ia menatap langit di sebelah utara yang menggelap dari atas gapura. Perlahan, awan-awan hitam di sana merayap sampai ke langit yang menaunginya. Ketika guntur terdengar, sosok perempuan berkemban putih bersih itu bangkit dari posisi bersilanya. Selendang merah mudanya berkibar diterpa angin, begitu pun dengan sisa kain yang disampirkan ke pundak. Rambut hitamnya digelung rapi. Satu kalung emas dengan bandul biru berkilauan menghiasi leher jenjangnya.
Perempuan itu menjura saat guntur kedua terdengar. Mata dengan bulu lentiknya terpejam. Bibir penuhnya yang terlihat lembut, berkecumik.
“Jadi, akan hujan lagi, ya?”
Satu suara laki-laki tak membuat konsentrasi Narawitri buyar. Laki-laki itu pun tak lagi bersuara sampai yang ditunggunya selesai.
“Dia memerintahkan kepada saya untuk menerima hujan di sini.” Narawitri akhirnya membalas. Ia kembali bersila di atas gapura. “Seseorang dari bangsa Anda memohon pengalihan.”
“Oh. Mungkin ada hajatan di desa lain.”
Narawitri tak menyahut. Ia masih bersila dengan tenang menghadap arah barat, sementara guruh terdengar beberapa kali. Langit di atas dua makhluk beda dunia itu telah menggelap dengan sempurna. Kemudian, titik-titik air mulai turun darinya. Awalnya hanya berupa gerimis lalu menderas sampai menutupi jarak pandang jalan setapak yang diapit persawahan.
Si pemuda bergeming ketika bulir-bulir air itu mulai membasahi pakaiannya, selaras dengan Narawitri. Tetapi, perempuan itu terlindung dari hujan, sebab memiliki kemampuan untuk membuat perisai. Suatu kemampuan sebagai pembeda dengan si pemuda yang hanya manusia biasa.
Tak berapa lama, terlihat satu laki-laki paruh baya melintas dengan sepeda tuanya. Laki-laki bercaping itu menatap heran pada satu pemuda yang berdiri di samping perbatasan. Rasa penasaran menggelayuti benaknya. Tentang tujuan si pemuda hujan-hujanan di samping gapura tanpa melakukan apa pun, misalnya. Akan tetapi, akhirnya ia bawa rasa itu bersamanya tanpa jawaban. Derasnya hujan membuatnya ingin segera sampai tujuan.
“Apakah besok akan hujan lagi?” tanya pemuda itu. Suaranya tertelan hujan, tetapi nyatanya Narawitri mampu mendengar.
“Itu bukanlah wewenang saya untuk memberitahukannya kepada bangsa manusia.” Narawitri menjawab.
“Oh. Tapi, jika terus-terusan hujan seperti ini, warga akan gagal panen. Tidakkah Dia, yang memerintahkanmu, memikirkan hal itu?”
Bibir penuh milik Narawitri melengkung naik. “Dia telah memikirkan semuanya, lebih jauh dari apa yang telah Anda pikirkan,” jawabnya dengan nada tenang.
“Oh, tentu saja.” Si pemuda menyahut. “Dia yang Maha Mengetahui dan Bijaksana.”
Narawitri bergeming. Kiranya ia merasa ada ejekan pada kalimat penuh pujian dari pemuda tersebut.
Terdiam cukup lama, Narawitri melirik. Pemuda yang merupakan pendatang baru itu sempat mengejutkannya di perjumpaan pertama, dua bulan lalu. Selama ini, tak ada yang mampu melihat wujudnya. Sesepuh desa setempat pun hanya diberikannya wujud bayangan berupa sosok harimau raksasa. Akan tetapi, pemuda itu mampu melihat dirinya secara nyata. Narawitri yang selama ratusan tahun menjadi penjaga desa tersebut tentu saja tak menyangka. Akan tetapi, jawaban dari Dia yang menjadi pemilik segala rahasia membuat Narawitri maklum.
Pemuda itu diberikan sebuah pemberian istimewa oleh-Nya. Kecelakaan yang menimpanya menjadi titik awal dari pemberian tersebut. Narawitri tak lagi menyimpan tanya sekalipun ia masih tak memahami mengapa Dia yang dipujanya memberikan pemberian istimewa itu secara mendadak. Cukup Dia saja yang mengetahui segala rahasia di bumi.
“Mengapa Dia menerima permintaan dari bangsaku untuk menurunkan hujan di sini?” Pemuda itu bertanya lagi.
“Itu adalah wewenang-Nya.”
“Jadi, siapa yang sebenarnya berkuasa jika Dia selalu mengabulkan permintaan manusia?”
“Dia lebih mengetahui, permintaan apa dan siapa yang layak dikabulkan.”
“Oh. Ini seperti omong kosong.” Pemuda itu berdecak-decak. Ia berkacak pinggang sembari mendongak, menatap Narawitri yang anteng di tempat. “Jika Dia bisa dengan mudah mengabulkan permintaan dan doa-doa, mengapa tidak denganku? Mengapa Dia tidak menjawab pertanyaanku?”
“Itu bukan wewenang saya untuk menjawab.”
Terdengar sumpah serapah dari mulut si pemuda.
“Bilang saja kau tidak tahu!” cercanya.
Narawitri menghela napas. Ia memejamkan mata ketika guruh terdengar lagi. Kedua tangannya kembali menjura di atas kepala lalu bibirnya berkecumik. Sebentar kemudian, hujan mereda, meninggalkan titik-titik air bervolume kecil hingga akhirnya menghilang sama sekali. Awan hitam yang bergelung berangsur menghilang, berganti langit terang.
“Wan!”
Panggilan itu mengalihkan perhatian si pemuda. Dari arah pemukiman, terlihat sosok laki-laki dewasa yang mendekat. Ia berjalan terburu-buru. Wajahnya cemas. Itu adalah sang paman.
“Hei, lagi-lagi kau di sini. Sebenarnya apa yang kaulakukan di sini? Ayolah, kembali ke rumah, Wan.” Laki-laki dewasa itu membujuk. Ia rangkul pundak si pemuda, tetapi segera saja rangkulan itu ditepis.
“Berhentilah bersikap seolah-olah aku ini orang gila, Pakde. Aku tidak gila! Aku hanya bisa mendengar apa yang ada di dalam pikiran manusia lainnya. Salah Pakde dan orang-orang yang tidak percaya padaku. Padahal aku sudah berulang kali membuktikannya.”
“Iya, iya, Pakde percaya, tetapi sekarang kita pulang dulu.”
“Untuk apa?” Si pemuda buru-buru menyela. “Untuk disembur mulut bau dukun abal-abal itu lagi? Dia hanya penipu, Pakde. Ah! Dasar orang-orang bodoh!”
Sebelum racauan si pemuda semakin menjadi, laki-laki dewasa itu segera merangkul kemudian menggiringnya untuk kembali.
“Kau!” seru si pemuda ketika baru lima langkah menjauh. Telunjuknya menuding gapura. “Aku akan ke sini lagi besok. Aku tetap akan meminta jawaban. Sampaikan itu pada-Nya. Kau mengerti, hei, Danyang!”
“Eh, sudah, sudah. Kau ini bicara sama siapa? Bangun dari koma, kok, semakin ngelantur. Ngomong sama gapura. Gitu katanya enggak gila. Sudah! Ayo, kita pulang!” Laki-laki dewasa itu meninggi nada suaranya, sepertinya mulai kesal dengan ulah si pemuda. Ia kemudian menyeret paksa keponakannya tersebut.
Narawitri memandang tanpa ekspresi ke arah si pemuda dan laki-laki dewasa itu berjalan. Sesekali ia masih melihat si pemuda beradu argumen dengan pamannya tersebut. Narawitri menghela napas panjang. Ia benarkan posisi bersilanya kemudian menengadah. Awan di atas sana berbentuk seperti kelinci lalu perlahan memudar. Narawitri tersenyum. Kembali ia memejamkan mata.
Jalan setapak di dekatnya mulai ramai dilalui. Tampak beberapa warga bergotong royong membenahi tanaman tebu yang sebagian ambruk karena hujan tadi. Sesekali mereka saling sapa dengan warga lain yang melintas. Bau manis tebu yang matang tercium oleh Narawitri. Sepertinya, para warga akan panen raya pekan depan. (*)
Sekar Rahayu adalah nama pena penulis yang menyukai bunga. Saat ini sedang bersemangat belajar untuk membuat cerpen.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata