Dua Warna
Oleh: Dede Aah Humairoh
Arlan terpaksa mengurangi kecepatannya saat memasuki Jalan Lenteng Agung. Ia menghela napas panjang melihat antrean kendaraan di hadapannya. Bersabar satu-satunya pilihan. Jakarta … saat jam menunjukkan pukul lima sore, memang selalu begini. Seandainya ia dapat pergi lebih awal, mungkin situasi ini tidak akan dijumpai. Namun pekerjaan menghambatnya untuk cepat keluar kantor.
And the bright emptiness. In a room full of it. Is the cruel mistress who o o.
Alunan ringtone Emptiness Lonely dari Rohan Rathore mengalun dari gawai yang ia letakkan di depan dashboard. Lagu kesukaan pemilik wajah cantik yang sudah dua bulan menjadi kekasihnya. Dalam kondisi mobil yang masih belum bergerak, diterimanya panggilan itu.
“Yang, di mana?”
“LA. Tunggu ya, sebentar lagi sampai.”
Video call berakhir. Kerutan di dahinya terbentuk dengan jelas. Perlahan mobil merayap maju, mengakhiri kemacetan total petang itu.
Di pelataran parkir kafe, lelaki itu turun dari mobil Alphardnya. Lelaki berbadan atletis dengan rambut cepak ala tentara itu terlihat lebih tampan dengan setelan kemeja ala kantoran yang rapi. Lengan kemeja berwarna biru tua digulung sampai ke siku. Ikatan dasi di leher dilonggarkan. Perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga puluh menit membuatnya dongkol.
Di arahkan kakinya masuk kafe Shangrila, kafe terdekat dengan kantor Rina. Sudah menjadi kebiasaannya menunggu di kafe jika Arlan terlambat datang menjemput. Ia duduk di meja nomor 15, dekat dengan jendela. Tempat di mana lalu lalang orang terlihat jelas di balik kaca besar. Dengan langkah tergesa menuju meja, menyunggingkan senyum pada gadis berambut sebahu.
“Maaf, yah, Yang … Mas sangat terlambat. Jalanan macet parah.”
“Gak apa-apa, Yang. Maafkan aku juga, padahal udah tau jam pulang kantor selalu macet parah, tapi aku nelpon kamu terus.”
Dipegangnya telapak tangan lelaki itu, seulas senyum terukir di bibir mungil pemilik gigi kelinci.
Arlan menarik kursi, duduk tepat di depan Rina. Daftar menu dibuka, lantas Arlan memilih makanan yang dapat menghilangkan gemuruh protes cacing di perut sixpack-nya.
“Yang, mau pesan apa?”
“Sudah tadi, Mas aja.”
Arlan memanggil pelayan dan memesan makanan favoritnya.
“Mas, persiapan pernikahan udah selesai. Cape banget, sebulan nyiapin ini itu. Mama mas, tega yah, tanpa tunangan disuruh nikah cepet-cepet.”
“Dimaklum saja, ibu-ibu kan gitu, entar juga kamu jadi ibu, Yang.”
***
Bola basket dilempar tepat pada keranjang. Bobi membuka kaos singletnya dan berlari mengitari lapangan.
“Hebat kan, gue?”
“Gue akui, lu hebat bro.”
Yoga meninju lengan Bobi kemudian berjalan menuju bangku penonton. Bobi mengikuti arah jalan Yoga.
Lapangan basket yang terletak di taman kota, menjadi tempat favorit Bobi dan gengnya. Tidak hanya lapangan basket, di taman kota ini tersedia juga skatepark. Kadang jika mereka bosan bermain basket, skateboard jadi pilihan.
Meskipun malam hari, tapi taman kota ini selalu dipenuhi dengan anak muda yang berolahraga. Memang bukan hanya untuk olahraga, tetapi juga untuk kencan dengan si dia.
“Habis ini, lu ke mana, Bob?”
“Nongkrong. Lu mau ikut bareng gue?” Bobi membuka botol minum, air mineral mengalir ke kerongkongannya.
“Ogah, gue. Kaya gak ada cewek aja jalan bareng lu!”
“Ellahhh, biasanya juga lu suka nebeng sama gue.”
Kaos oblong hitam diambilnya dari dalam tas, tak lupa celana jin sobek yang menjadi kebanggaannya. Penampilannya semakin terlihat gaul dengan banyaknya gelang di tangan.
“Gue duluan yah, Bro!”
Bobi berlalu sambil memakai kaca mata hitam. Jaket Levis yang disimpan di atas motor Kawasakinya dipakai. Motor itu melaju membelah kota Jakarta. Suasana malam membawa angin yang lebih segar, meski kebisingan kendaraan tetap ramai terdengar. Gedung-gedung pencakar langit lebih terlihat indah dengan lampu-lampu yang menyala.
Motor berbelok ke arah Semanggi. Kafe rock and roll, salah satu tempat yang menjadi favorit anak muda ibu kota, sudah semakin dekat. Suasana kafe tersebut memang unik. Musiknya asyik dan makanan yang tersaji di daftar menu sesuai kantong anak muda.
Ketika Bobi sampai di sana, tempat parkir sudah penuh. Malam Sabtu, tapi terasa malam Minggu. Wajar jika kafe dipenuhi pengunjung. Akhirnya, Bobi terpaksa memarkirkan motornya di bahu jalan.
“Baru nyampe, Bro?” tegur Aldo sambil menepuk bahu Bobi yang sedang membuka helm.
“Iya, Bro. Bosen di taman kota, melipir kemari deh.” Bobi beralasan.
“Jadi ikut tanding basket, lu?”
“Jadi, Bro. Nonton, yah.”
“Kalo kagak lupa, hahaha. Gue duluan, Bro. Udah dari tadi gue nongkrong di sini.”
Aldo berjalan bersama kekasihnya. Dia selalu naik angkutan umum jika pacaran karena lebih hemat.
***
Gedung Graha Kencana sudah berganti wajah. Dekorasi yang didominasi warna ungu membius tamu undangan untuk berfoto. Pelaminan yang megah dengan hiasan bunga hidup, terlihat kemewahan pesta pernikahan yang akan segera diselenggarakan. Panggung hiburan berada di sebelah kiri pelaminan. Di atas meja prasmanan, makanan sudah tersaji. Kursi-kursi berjajar rapi dan sebagian sudah terisi kerabat jauh sang pengantin.
Di belakang gedung, pengantin perempuan masih dirias dengan riasan khas Sunda. Rencananya, akad menggunakan adat sunda dan pesta pernikahan berbalut gaun western.
“Mas, angkat telponnya, jangan buat aku cemas!” gerutu Rina.
“Sabar, mbak. Si masnya mau ngasih kejutan kali,” lelaki kemayu menjawab gerutuan Rina.
***
Satu jam lebih sudah berlalu, pengantin pria belum menunjukkan batang hidungnya. Penghulu hampir saja beranjak pergi.
“Maaf, pak. Saya harus pergi, ada pasangan lain yang menanti saya sahkan,” ujar penghulu sambil melihat jam di tangan.
“Sabarlah sebentar, pak. Mungkin pengantin prianya kejebak macet.” Pak Andi meyakinkan penghulu untuk tetap bertahan menunggu kedatangan pengantin pria.
***
Tamu undangan telah memenuhi ruangan acara, tapi sang pengantin pria masih juga belum datang. Padahal, rentang waktu antara akad dan resepsi tiga jam lamanya.
“Katanya mempelai pria, tidak akan datang, jeng. Kabur!” seru ibu berbadan sintal dengan riasan yang super tebal.
“Wah? Pernikahannya gagal berarti yah, Jeng,” sahut ibu-ibu yang lain.
Kasak-kusuk di antara para tamu undangan terus terjadi, tak ayal membuat Bu Andi merasa berang, raut mukanya merah menahan malu dan juga marah. Anak semata wayang yang selalu dijaga terhina karena pembicaraan ibu-ibu yang menyudutkan putrinya.
Mata berkunang-kunang, Bu Andi tak mampu lagi menjaga keseimbangan tubuhnya. Beberapa detik kemudian Bu Andi jatuh pingsan di tengah riuh gosip tak sedap.
“Ibu!” teriak Rena.
Semua pengunjung mengarahkan pandangannya menuju pusat suara. Bukan pertolongan yang didapat, tapi nyinyiran yang semakin pedas semakin menggema.
Pak Andi berlari dari tempat berdirinya dengan sigap ia membopong tubuh istri yang sudah dinikahi selama 27 tahun itu.
Pembicaraan-pembicaraan tak mengenakkan semakin terdengar. Suasana semakin kacau, tamu undangan terpaksa dibubarkan oleh Paman Jo.
“Assalamu’alaikum. Saya selaku anggota keluarga dari Bapak Andi Mahesa ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarnya atas kehadiran para hadirin tamu undangan, sekaligus meminta maaf karena acara tidak berjalan dengan semestinya. Silakan nikmati hidangannya dan setelah selesai boleh undur diri, terima kasih.”
***
Sebuah motor baru saja diparkirkan di garasi. Dengan penuh peluh, Bobi turun dari motornya. Pandangan satpam yang aneh tak dihiraukan. Ia lebih memilih bergegas masuk menyampaikan kabar gembira kemenangan tim basketnya.
“Bunda! Lihat apa yang aku bawa? Medali emas, Bun. Tim aku juara!” Bobi berkata penuh kebahagiaan, memperlihatkan medali yang telah diraihnya.
Bu Ratna terdiam, baju kebaya yang dipakainya belum dilepas. Sisa tangisan di mata masih terlihat jelas.
“Kenapa kamu pergi, Nak?” Tanya Bu Ratna parau.
“Aku maen basket bunda, lihatlah medali yang kudapat!” Seru Bobi masih dengan wajah riangnya.
Tangisan Bu Ratna semakin menjadi, dipeluknya anak yang tidak berdosa itu. Bobi kaget dengan perlakuan ibunya yang tiba-tiba.
Dari arah pintu terdengar suara hardikan dari seorang pria.
“Arlan! Keluar kau! Jangan jadi pengecut!” Suara itu semakin mendekat, Arlan melirik ke arah suara dengan ketakutan.
“Mengapa kau melakukan ini pada anakku? Apa salahnya?” Digenggam kaus singlet Arlan, mengangkat dagunya, ditatap bola mata yang menyiratkan ketakutan.
“Om siapa? Aku tidak kenal,” lirihnya.
“Pura-pura, kau, yah!” Tangan kanannya sudah terangkat, hampir saja mengenai pipi kanan Arlan.
“Ayah! Jangan menamparnya, kumohon ….” Ratna memegang tangan ayahnya.
“Laki-laki seperti ini masih kau bela?” murka ayahnya. “Menyesal ayah pernah mempercayakan engkau padanya.”
“Sayang, kamu tidak apa-apa?” tanya Ratna khawatir.
“Siapa lu? Gue gak kenal, lu. Jangan coba-coba nyentuh gue!” seru Arlan kasar.
“Lihat! Apa yang dilakukan pacarmu?!” Pak Andi mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Arlan.
“Gue gak kenal lu, om ini, dan juga ibu gendut itu!” seru Arlan. “Tolong jangan ganggu gue dan bunda gue, keluarlah!”
“Apa-apaan ini?” Tanya Pak Andi, wajahnya semakin merah menahan amarah, “Ayo kita pulang!” Tangan Rina diseretnya.
Bobi merasakan pusing yang sangat berat setelah pertengkaran dengan keluarga yang tak dikenalnya.
“Aww!” Tangannya memegang kepala, Bobi tak sadarkan diri di kamar tidurnya dengan kaus singlet masih melekat di badannya.
***
Jam menunjukkan pukul tiga sore, Arlan tersadar dari tidurnya.
“Kenapa Mamah tidak membangunkanku?” tanyanya pada diri sendiri sembari melihat jam di dinding.
“Sudah jam tiga!” serunya, “aku sudah sangat terlambat.” Dilihatnya kaus singlet yang melekat di tubuhnya. Mengapa aku memakai kaus seperti ini? heran Arlan.
Arlan berjalan ke arah pintu, mencoba di buka. Tapi, pintu terkunci dari luar.
“Buka, Mah. Hari ini pernikahan Arlan, Mamah lupa?”
Tidak ada sahutan dari luar. Ia pun berbalik arah, ditatapnya cermin di samping kasur.
“Siapa kamu?”
“Kamu Arlan!”
“Bukan, lu Bobi!”
“Kamu Arlan!”
“Bukan, lu Bobi!”
“Kamu Arlan!”
“Bukan, lu Bobi!”
Dipegangnya kepala yang berdenyut semakin keras. Tatapan kembali tertuju pada cermin. Mata melotot, tawa licik keluar dari mulut dan telunjuk di arahkan tepat di wajahnya dalam cermin.
“KAMU, FER-NAN-DES! SI MAFIA! HAHAHA!” (*)
Dede Aah Humairoh anak ke 7 dari 9 bersaudara. Ia lahir dan besar di Tasikmalaya. Bergelut dalam dunia kepenulisan sejak 2019 dan beberapa karyanya telah dibukukan dalam bentuk antologi.
Penulis bisa dihubungi di:
Fb: Dede Aah Humairoh (Dee The Walk)
Ig: @dee_the_walk
Blog: http://deethewalk.blogspot.com/
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata