Jangan Main-Main dengan Saya!

Jangan Main-Main dengan Saya!

Jangan Main-Main dengan Saya!
Oleh: Aisyahir

Nama saya Nipo. Saya baru saja menebas leher selingkuhan istri saya. Sedang istri saya, dia hanya terganga saat melihat semburan cairan merah serta kepala yang terjatuh begitu saja ke lantai dasar dengan mata terbuka lebar. Rupanya mereka melupakan satu hal tentang saya, padahal sudah saya katakan sebelumnya: jangan pernah main-main dengan saya!

***
Ketika malam telah beranjak larut. Saya baru pulang dari toko. Kucing dan tikus saling berlarian saat saya berjalan menyusuri gang. Suasana sunyi tak berpenghuni. Selain cahaya lampu, ada juga cahaya bulan yang membantu penerangan. Saya berjalan seorang diri, menembus dingin serta heningnya malam.

“Uang belanja bulan ini sudah habis. Cepatlah berikan saya uang. Jika mau makan, makan saja di luar, saya malas masak. İsi kulkas serta kelengkapan dapur lainnya kosong sama sekali. Entah lelaki macam apa yang saya nikahi ini, sudah pelit, mandul pula!” Baru satu langkah memasuki rumah. Telinga saya sudah dipekakkan oleh omelan Niyah–istri saya–yang sukses membuat saya naik darah. Berulang kali Niyah seperti ini, bukannya memberi segelas air, dia malah memberi saya segudang makian.
“Setidaknya ambilkan dulu saya air. Saya baru pulang, saya capek. Jangan malah kamu sambut begini. Lelaki manapun pasti akan kabur.”

“Alah. Saya tahu itu hanya akal-akalanmu saja. Jika tak betah, pastinya kamu sudah kabur dari dulu-dulu. Tapi nyatanya tidak, kamu tetap tinggal walau saya maki tiap hari. Selain pelit dan mandul, sepertinya kamu patut dikatakan lelaki bodoh dan tak berguna juga!” Adu cekcok berhenti di sini. Saya pergi tanpa menanggapi. Meletakkan uang ratusan ribu di depan Niyah lalu masuk ke kamar.

“Mana cukup jika hanya segini! Kamu sebenarnya pergi cari uang atau cari selingkuhan hah?! Jika begini terus, bisa-bisa saya cari suami baru saja!” Lagi-lagi saya tak menanggapi, pintu kamar sudah saya kunci rapat-rapat.

Saya kira Niyah akan tetap demikian hingga kami menua bersama. Berharap semua akan tetap sama walau sayalah yang harus selalu mengalah. Jujur saja, saya betah saja menanggapi Niyah, sebab itu memang karakternya sejak lama. Namun, entah kata-kata kemarin benar-benar dia buktikan atau bagaimana, dia berubah.

Pagi ini saya lumayan terlambat bangun. Saat membuka mata, sudah tak ada Niyah yang berbaring di sisi saya. Dari arah kamar mandi, saya bisa mendengar suara percikan air yang disertai suara orang yang sedang mual-mual. Eh?

Sentak saya berlari mendekati pintu, menempelkan kuping untuk menguping.

“Kamu baik-baik saja kan, Niyah?” Tak ada jawaban serta suara percikan air lagi. Perlahan pintu terbuka, menampakkan sosok Niyah dengan wajah pucat pasi.

Sentak kening saya berkerut, merasa kurang paham. Sedang Niyah sendiri, dia diam saja. Menatap saya sesaat lalu berlalu begitu saja.

Saya mulai memikirkan sesuatu yang mungkin sangat “mustahil” bakal terjadi. Apakah istri saya hamil? Tapi Bukankah saya mandul. Lantas kenapa Niyah bisa hamil? Apakah saya sudah sembuh dari kemandulan, setelah mendapat mukjizat dari Tuhan? Atau bagaimana? Atau barangkali Niyah memiliki hubungan khusus dengan yang lain?

“Saya rasa kamu tak perlu mencemaskan itu semua. Kamu terlalu jadi manusia pemikir. Sudah jelas dia istrimu. Dan jika dia beneran hamil, berarti sudah pasti juga kalau yang ada dalam kandungannya itu adalah anakmu. Kamu ada-ada saja,” kata Nav, sahabat saya setelah saya tumpahkan semua unek-unek yang mengerogoti pikiran serta hati saya.

“Iya sih. Tapi kan kamu juga tahu kalau saya ini mandul, Nav. Mana bisa punya anak. Jika ini memang benar dan anak yang dikadung Niyah bukanlah anak saya. Saya pastikan akan menghancurkan siapa pun yang telah menjalin hubungan gelap dengan istri saya!”

“Kamu ingatkan saat kita masih kecil dulu? Saat mainan saya direbut orang lain, saya tak segan-segan mematahkan tangan anak itu lalu mengambil mainan saya kembali. Tentu saja saya tak suka hal semacam ini; saya tak suka jika ada yang main-main dengan saya!”

“Kamu memang terlalu berlebihan, Nip. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Kamunya saja yang terlalu pemikir. Saya sarankan, lebih baik kamu fokus cari uang yang banyak, jangan sampai istrimu malah berpaling ke yang lain.” Nav pergi begitu saja setelah menyampaikan saran terakhirnya. Yang dikatakan Nav memang benar. Walau bagaimanapun, Niyah adalah istri saya, dan otomatis anak itu juga adalah anak saya.

Semenjak kehamilan Niyah–yang akhirnya dia akui juga beberapa hari yang lalu. Kesibukan saya makin bertambah. Bahkan tak bisa sepenuhnya mengurus toko tekstil saya. Omelan Niyah juga ikut bertambah. Entah bagaimana nasib anak saya nanti. Apakah akan mengikuti sifat cerewet ibunya atau malah mengikuti sikap saya yang selalu dikatai bodoh oleh istri sendiri.

Pernah suatu ketika. Saat saya pulang dari tempat kerja. Tak sengaja saya melihat Niyah sangat asik mengobrol dengan seseorang yang tak saya kenal. Mereka tampak akrab dan sangat serasi, namun sukses membuat saya terbakar oleh api cemburu. Mereka tampak teramat dekat. Bahkan saya sampai curiga, barangkali dialah orang yang selalu Niyah hubungi secara sembunyi-sembunyi. Ataukah dia yang selalu Niyah kirimkan uang secara sembunyi-sembunyi pula? Aih, siapakah dia sebenarnya? Saya teramat penasaran ingin tahu. Terlebih saat melihat Niyah pasrah saja saat dipeluk oleh lelaki berwajah teduh itu.

“Sebenarnya dia siapa?”

“Sahabat saya saat sekolah dulu.”

“Lantas kenapa bisa sedekat itu? Ingat, kamu sudah bersuami, sudah hamil pula!”

“Diamlah, dasar menyebalkan! Lama-lama saya beneran muak sama kamu!”

“Katakan saya kalau kamu memang berselingkuh dengannya. Dan anak itu adalah hasil dari hubungan percintaan kalian. Iya, kan?!”

“Terserah padamu saja!”

“Saya yakin itu memang benar. Ingatlah satu hal ini: jika kamu berani bertemu dia lagi, saya pasti akan membunuhnya! Kamu lihat parang yang ada di balik pintu itu? Parang itulah yang akan menebas leher siapa saja yang berniat merebut istri saya! Dan ingatlah selalu, saya tak pernah main-main!” Niyah membanting pintu, tak peduli. Momen ini adalah momen yang kesekian kali kami saling membentak.

Saya tak berhenti sampai di situ. Sikap Niyah semakin berubah. Dia bahkan sering keluar rumah tanpa izin terlebih dahulu. Bahkan selalu berdandan semenarik mungkin. Saya merasa makin curiga, terlebih lagi saat hasil tes ulang mengenai kemandulan saya yang telah keluar.

Kemarahan serta rasa jengkel mulai memenuhi hati dan pikiran saya. Saya tak sebodoh yang Niyah pikirkan. Dan anak itu, saya tahu itu bulanlah anak saya. Saya tahu ada orang lain di antara kami, walau saya belum tahu siapa dia sebenarnya.

“Aih, kamu ini sangat berlebihan, Nip. Begitu saja sudah kamu tuduh selingkuh. Saya berani menjamin, Niyah bukanlah gadis yang seperti itu.”

“Tapi saya sudah sangat yakin dengan hal ini, Nav. Saya tahu Niyah sudah selingkuh!”

“Kamu tidak punya bukti, lantas bagaimana kamu bisa tahu dia selingkuh?”

“Sebab saya mandul. Dan orang mandul mana bisa punya bayi! Bahkan kami jarang melakukannya. Sebenarnya apa yang diinginkan wanita itu?!” Nav tak menanggapi lagi. Lebih memilih berdiam diri. Dan pembicaraan pun berhenti sampai disitu.

Hari ini, saya terpaksa harus berkemas untuk pergi keluar kota. Ada acara keluarga yang perlu saya hadiri. Dan Niyah, dia tidak ikut. Katanya ingin banyak istirahat saja di rumah. Saya tak mempermasalahkan hal itu. Bukan karena apa, saya hanya tak ingin membuatnya merasa tak nyaman.

“Saya hanya pergi selama tiga hari. Jaga dirimu. Kamu tak perlu khawatir, saya akan menyuruh Nav untuk sesekali datang mengunjungimu selagi saya ada di luar kota.”

“Oke. Saya harap kamu tidak menghabiskan banyak uang di sana. Pengeluaran kita semakin banyak saja, mana pemasukan semakin menipis pula.” Saya tak menangapi. Lebih memilih berjalan pergi meninggalkan rumah.

Namun, tanpa saya duga sebelumnya. Tiket pesawat saya malah ketinggalan di rumah. Padahal saya baru sampai di bandara. Saya menggaruk pipi saya yang tak gatal sama sekali. Merasa bingung dengan keadaan. Antara kembali dan memesan tiket lagi, dua-duanya membutuhkan pengeluaran.

Setelah cukup lama menimbang-nimbang. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali. Namun, apa yang tak sepantasnya saya lihat terlihat juga pada akhirnya.

Ketika knop pintu saya putar. Pintu perlahan membuka dan menampakkan dua sosok manusia yang tengah bercumbu mesrah. Api amarah langsung menguasai saya. Terlebih lagi saat tahu siapa yang sedang bersama Niyah saat ini.

“Saya bisa jelaskan. İni hanya salah paham.”

“Kamulah yang telah membuat saya salah paham terus sejak awal. Dari awal kamu selalu membelanya, dan ternyata inilah alasan di balik itu semua. Sebetulnya teman macam apa kamu ini?”

“Seharusnya sayalah yang bertanya: teman macam apa kamu ini hah? Apakah kamu tidak pernah sadar, kalau yang kamu nikahi itu adalah kekasih saya! Andai saya mau, sudah pasti saya sudah membalasmu. Tapi, ya, sudahlah. Lagipula saya tetap bisa memiliki Niyah seutuhnya. Jangankan memberi uang, memberikan anak saja kamu tak mampu! Dasar tak berguna! Dasar mandul!” Amarah saya kian menggebu. Niyah hanya diam tak ikut campur. Kakinya gemetar, tangannya hanya bisa memengangi perutnya sendiri.

“Kamu itu bukan teman, tapi lawan, Nav!”

“Ya, betu sekali. Dari awal saya memang tak suka padamu, hanya saja, saya tetap bertahan karena kamulah satu-satunya manusia terbodoh yang paling bisa saya andalkan!” Nav tertawa, tepatnya menertertawai saya. Karena kelewat jengkel dan benci, saya meraih parang yang tergantung di balik pintu. Nav langsung berjalan mundur, ketakutan. Niyah tak kalah takut, dia bahkan berteriak histeris. Namun semuanya telah terlambat. Saat amarah sudah sepenuhnya menyelimuti, saat itu jugalah leher Nav terlepas. Percikan darahnya tepat mengenai wajah saya, pun dengan Niyah. Kejadian yang berlangsung sekitar satu menit itu berakhir dengan kematian. Walau ada dua perlawanan, kemarahan saya jauh lebih kuat lagi untuk menebas.

Nama saya Nipo. Saya baru saja menebas leher selingkuhan istri saya yang masih berusia kepala dua. Sedang istri saya. Dia hanya terganga melihat semburan cairan merah serta kepala yang terjatuh begitu saja ke lantai dasar dengan mata terbuka lebar. Saat Nav tak lagi melakukan pergerakan seperti ayam yang lehernya baru habis dipotong, saat itulah saya tertawa puas. Tentu saja saya menertertawakan dua hal: kebodohan saya, serta kepuasaan yang saya rasakan.

Tak lama waktu berselang. Polisi datang menangkap saya. Rumah kami jadi tempat kunjungan yang paling ramai. Bahkan sampai dijaga ketat oleh polisi agar tak sembarang orang yang bisa masuk. Ketika ditanyai kenapa saya menebas leher Nav. Maka saya pun menjawab,” Karena bagian leher selaku penghubung semuanya: telinga yang selalu mendengarkan curhatan saya, mata yang selalu melihat kepedihan saya, serta mulut yang selalu memberi saya masukan tak berguna. Sekali saya memotong leher Nav, maka terputus pula fungsi yang lainnya. Termasuk hubungan serta kenangan yang ada! Karena saya, tak suka main-main!”*

Makassar, 19 Maret 2020.

Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang sangat mengemari dunia literasi. Sekarang tinggal dan bekerja di Makassar. İg: Aisyahir_25.

Leave a Reply