Bertahan di Balik Kegelapan

Bertahan di Balik Kegelapan

Bertahan di Balik Kegelapan
Oleh : Freky Mudjiono

Dinginnya malam ini, membuat udara hangat yang keluar dari mulutku membeku di atmosfer dan membentuk uap putih.

“Tunggulah sebentar lagi, sabar,” ujarku menguatkan diri. Menempelkan tubuh ke tembok yang tak terlihat warnanya sebab gelap yang mencekam. Berharap dingin berhenti menusuk tulang. Hitungan beberapa menit berlalu dalam balutan hening, hingga kemudian angin berembus sepoi-sepoi membawa kabar kehadirannya.

Dari kejauhan, sepasang mata terlihat menyala bagai pelita kecil yang menerobos kelam. Kutegakkan tubuh penuh hasrat bergelora. Dia telah tiba!

Sejak penyatuan kami pada purnama yang lalu, aku tak sanggup memikirkan hal lain sebagai pengobat lara, selain dirinya. Saat yang lain abai dan tak peduli pada jiwaku yang rapuh sebab kehilangan anak buat pertama kalinya, ia hadir. Sosok tengil yang awalnya muncul sebagai pengganggu, mengusik sedikit ketenangan yang aku peroleh di antara celah lembap yang kujadikan tempat bersembunyi dari hiruk pikuk dunia.

“Hei, bangun!” Keras suaranya saat itu menyentakkan aku dari lelap yang sejenak menjemput. Kusipitkan mata, mencoba mengenali pemilik mata sinis yang baru saja menghardik.

“Kamu tuli?” ujarnya lagi, membuatku sedikit mengumpat dalam hati. Tidak sopan! Malas meladeni sosok yang tak dikenal itu, aku membalikkan tubuh membelakanginya. Dengusan napas terdengar cukup keras dari arah belakang, membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti kesal, rasakan!

Hei, apa ini? Aku merasakan tubuhku sedikit bergeser. Hangat. Ada sensasi liar yang timbul dari sisi tubuhku berdempetan dengannya.

“Kurang ajar!” seruku sembari bangkit dari tidur. Mataku melotot maksimal, memindai dia, si pengganggu.

Tubuh gelap dengan postur kekar. Mata yang menyorot tajam, serta senyum angkuh. Ditambah aroma maskulin yang menguar, ia cukup jantan. Namun, sayang sekali. Saat ini aku sedang tidak tertarik. Hatiku masih penuh luka.

“Pergilah,” ujarku datar, tenagaku tak cukup untuk memulai pertengkaran.

“Aku sudah memperhatikanmu beberapa hari ini. Kau hampir tidak makan sama sekali.” Ia berkata dengan santai, menghiraukan ucapanku barusan.

“Apa kau mau mati?” Pertanyaannya terdengar seperti tuduhan.

Aku tertawa sinis mendengar kata-katanya. Mati? Ya, rasanya aku ingin mati. Hanya saja rasanya sedikit aneh mendengar hal itu darinya. Siapa dia? Tidak, aku tak ingin dihakimi oleh ia yang bukan siapa-siapa. Kuputuskan beranjak pergi. Tempat ini tak nyaman lagi untuk bersembunyi.

“Pergi? Hei, kau tidak akan bisa menghindar dariku!”

Tidak tahu, apakah yang tertangkap oleh indra pendengaranku yang tajam saat itu. Pernyataan, atau ancaman? Yang kutahu, sejak itu, ia selalu berhasil membuktikan ucapannya. Hampir setiap malam, ia menyibak tabir gelap … lalu menemukanku. Seperti saat ini.

Saat terkurung kesendirian, orang asing adalah teman. Itulah yang terjadi di antara kami. Kutatap lamat sorot mata menghunjam miliknya. Ia yang kunanti, kini hadir di hadapan, penuh arti memandang engahan napasku, menahan dinginnya malam. Kemudian, tanpa basa-basi ia meletakkan makanan yang dibawanya. Ia menghampiri, lalu menularkan hangat tubuhnya padaku. Seperti yang biasa ia lakukan beberapa malam terakhir. Semua terjadi begitu cepat, di celah sempit yang telah ditandainya sebagai peraduan kami. Aku tidak tahu apa yang membuatku berubah pikiran. Tidak hanya mencuri untuk hidup, ia juga mencuri kesempatan untuk menyalurkan hasrat.

Aku benci, tapi terhanyut, larut, tak kuasa menolak. Apa daya, menyatu dengannya membuatku candu, melayang tinggi hingga sejenak melupakan sakitnya hati. Pelukan dan gigitannya, bagai pengait yang melepaskan bebatan belenggu di dada, membuatku bisa bernapas lega untuk sesaat. Terkutuk! Ibu seperti apakah aku ini? Adakah makhluk yang lebih keji dariku? Berusaha menghapus luka atas ketiadaan buah hati yang dilahirkan sendiri dengan susah payah, lari ke dalam pelukan sosok asing.

“Anak-anakku sangat lucu, dan menggemaskan,” ujarku suatu malam padanya. Malam pertama ketika ia berhasil membujukku menyatu dengannya. Puting susuku masih sering terasa sakit. Aku hafal tanda ini, mereka pasti sedang kehausan jauh di sana. Air mataku menitik.

“Kenapa kalian tidak bersembunyi?”

“Sudah!” sanggahku keras, kemudian terisak. Aku telah berusaha untuk bersembunyi. Namun, makhluk durjana itu sungguh pintar. Ia berhasil menemukan kami.

“Kau tidak berusaha melawan?”

“Ia tidak sendirian. Kaki tangannya berhasil melukaiku,” jelasku, lalu tanpa diminta menunjukkan sebuah luka yang cukup dalam di sisi kiri tubuh. Andai saja bisa, ingin kukeluarkan kepingan hatiku yang hancur untuk ditunjukkan juga padanya.

Anak-anakku masih terlalu muda, tidakkah para makhluk kejam itu bisa melihat? Mereka masih membutuhkan ibunya! Entah demi apa, mereka diambil dariku. Tangisku kembali pecah, tapi tak lama. Kesedihanku menghilang dalam dekapan menggelora, cara yang aneh, tapi berhasil membungkam lara.

Aku mengerjapkan mata. Ia, si Pengganggu, tersenyum, melepaskan dekapannya lalu beranjak ke sisi lain.

“Kamu sudah makan? Makanlah! Aku tidak ingin kehilanganmu, dan calon anak kita.” Ia menyodorkan potongan dada ayam yang masih utuh, yang kemudian kukunyah perlahan. Ya, aku telah memiliki alasan baru untuk hidup.

“Besok, aku harus mengambil dari tempat lain. Sepertinya, pemilik kandang sudah curiga,” ujarnya datar. Aku terkesiap. Memori buruk di masa lalu yang dimulai dengan kata-kata yang sama, hadir tanpa diminta.

“Haruskah kita pindah?” tanyaku pada ayah anak-anak, saat malam sedang beranjak pergi kala itu. Resah, kutangkap dari sorot matanya ketika menatap lama pada dua buah hati kami yang sedang terlelap. Seolah tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Luwak! Luwak!” Beberapa makhluk berkaki dua tiba-tiba muncul dari balik kegelapan, berseru mengulangi kata yang tak kutahu artinya. Mereka mengelilingi kami yang berusaha menyembunyikan anak-anak di balik tubuh.  Mereka menyeringai, menggiring hingga ke sudut. Buntu. Kami tak bisa ke mana-mana lagi. Anak-anakku menangis ketakutan, cakar mereka mencengkeram erat padaku.

“Pergi! Jangan ganggu kami!” usirku, dipertegas oleh geraman ayah anak-anak. Bagai kilat, bayangan buruk itu menyambar ingatanku berkali-kali. Seringai, teriakan, tangisan, sabetan parang, dan pentungan, mencerai-beraikan kami. Makhluk durjana itu, menghukum kami sedemikian rupa hanya karena mencuri beberapa ekor ayam untuk bertahan hidup.

Kukatupkan kelopak mata, menahan bening yang semakin berat oleh kenangan, agar tak jatuh. “Kita pergi sekarang,” putusku. Aku tak ingin terlibat dengan makhluk kejam itu lagi. Kami harus segera pergi.

Medan, 28 Desember 2019

Freky Mudjiono. Banyak orang salah mengira bahwa ia adalah seorang pria. Wanita kelahiran tahun 1980 ini memang memiliki nama yang sedikit ‘macho’. Menulis adalah aktivitas yang ia sukai selain memasak dan mengurus rumah. Sejak serius menekuni literasi pada pertengahan tahun 2019 yang lalu, beberapa karyanya telah diterbitkan dalam bentuk antologi bersama penulis-penulis lain. Penulis dapat dihubungi lewat akun facebooknya: Freky Mudjiono

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply