Oleh: Uzwah Anna
Bahwa salah jika menganggap teroris merupakan bagian dari Islam karena jubahnya, berkalung salib tak selamanya Kristen, berpakaian biksu tak pasti Budha, mengenakan sorban belum tentu muslim bisa saja dia penganut Sikh, pengemis tak selalu miskin, pemberi sedekah belum tentu kaya, pembuat onar belum tentu bersalah, penegak hukum tak selalu benar dan lain sebagainya. Manusia tak ubahnya bunglon, bisa berkamuflase di mana dan kapan saja.
Ketika membaca judul di atas, kira-kira apa yang terlintas di pikiranmu? Apa kau menganggapku sedang menuju ke jalan para kaum religius dan dalam waktu singkat akan bergabung dengan mereka? Atau kau mengira bahwa ini merupakan pernyataan seorang tak bertuhan yang akan melepaskan ke-ateis-annya?
Ok, agar tak semakin banyak menimbulkan pertanyaan, aku akan segera menjelaskannya.
Sejatinya di sini aku tak berniat membahas agama. Aku justru ingin mengulas sebuah film drama komedi satire yang berjudul PK atau PeeKay. Film yang tayang pada tahun 2014 ini telah menempatkan Aamir Khan sebagai aktor utama. Di sini, Aamir Khan berperan sebagai alien yang bertandang ke Bumi demi melakukan sebuah penelitian.
Film ini dibuka oleh turunnya alien yang bentuknya serupa manusia—sangat berbeda dengan perwujudan alien-alien di film-film lainnya, terutama film Hollywood yang sering menampilkan bahwa alien berbentuk buruk rupa dan menyeramkan. Si alien ini tak mengenakan apa pun kecuali hanya mengalungkan alat transistor sebagai sinyal jika dia ingin kembali ke planetnya. Namun sayang, ternyata transistor tersebut dicuri oleh manusia sehingga si alien tak bisa pulang.
Pelajaran pertama yang dipelajari oleh alien itu adalah manusia tak boleh telanjang. Maka dia mengambil beberapa pakaian milik sepasang pria dan wanita yang sedang bercinta di dalam mobil. Karena dia tak tahu bagaimana komposisi pakaian yang benar, alhasil si alien mengenakan atasan pria dan bawahan wanita. Hal ini tentu saja menjadi bahan tertawaan bagi orang-orang yang melihatnya. Dari situ, dia belajar bahwa dirinya hanya diperbolehkan memakai pakaian pria.
Si alien mengamati dan mengetahui bahwa dia bisa makan jika memiliki kertas bergambar Mahatma Ghandi. Maka dari situ dia mulai mengumpulkan banyak kertas bergambar Mahatma Ghandi dengan berbagai macam ukuran demi bisa ditukar dengan seikat wortel atau benda lain agar bisa dimakan. Karena kertas yang dia julurkan pada penjual wortel banyak yang ditolak, lambat laun dia memahami bahwa hanya kertas tertentu saja yang bisa ditukar dengan wortel tersebut: uang.
Di tengah penyesuaian dirinya pada lingkungan baru, si alien tak putus asa mencari transistornya yang dicuri orang. Hingga suatu ketika dia tertabrak oleh mobil grup tari. Bairon Singh, sebagai pimpinan grup tari tersebut membawa si alien ke klinik. Dokter menyatakan bahwa ketidak mampuan pasiennya berbicara, karena trauma yang didapat dari kecelakaan yang baru saja menimpanya. Padahal sejatinya si alien memang tak bisa berbahasa manusia. Demi rasa tanggung jawabnya, Bairon bersedia merawat pasien itu hingga sembuh.
Di planetnya, si alien berkomunikasi dengan cara memegang tangan lawan bicara. Karena ketidaktahuannya, si alien juga melakukan hal itu di Bumi. Tapi, ternyata perilaku si alien menimbulkan kesalahpahaman. Bairon menganggap bahwa orang yang baru ditabraknya itu sebenarnya hanya ingin menyalurkan hasrat biologisnya pada lawan jenis. Oleh karenanya dia membawa si alien ke lokalisasi dan meminta salah satu pekerja prostitusi melayaninya. Selama enam jam di sana, si alien tak melakukan apa pun kecuali hanya menggenggam tangan wanita di hadapannya. Dia menyerap seluruh ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Dan karena itu pula si alien bisa berbahasa Hindi.
Keluar dari lokalisasi, si alien menceritakan bahwa kalungnya telah dicuri oleh seseorang. Bairon menduga bahwa yang melakukan pencurian tersebut pasti tak lain merupakan penduduk setempat.
“Saat ini kalung tersebut pasti telah dijual ke New Delhi,” terka Bairon.
Maka, karena itulah si alien berangkat ke New Delhi demi menemukan transistornya.
Di New Delhi, si alien selalu bertanya bagaimana cara dia bisa menemukan transistor-nya. Keluguan, kenaifan, mimik wajah serius, dan berbagai macam pertanyaanya yang nyeleneh membuat banyak orang menganggap si alien—orang-orang tak tahu jika dia alien–sedang mabuk. Karena hal tersebut si alien mendapat julukan Peekay (pemabuk) atau PK. Lalu, orang-orang berkata padanya, jika ingin transistornya kembali, maka dia mesti datang ke rumah Tuhan dan meminta (memohon) pada Tuhan agar transistornya dikembalikan.
PK menuruti kata-kata para pemberi saran tersebut. Dia datang ke Kuil dengan membawa sesajen seperti yang banyak orang lakukan, termasuk membawa kelapa. Namun, karena terlalu banyak orang yang berdoa kala itu, PK hanya sempat memohon dengan durasi yang sangat pendek dan dia mesti diusir oleh pemuka agama sebelum Tuhan memberi jawaban di mana transitornya.
Karena tak mendapatkan transistornya, maka PK datang ke rumah Tuhan yang lain (Gereja) dengan membawa sesajen, uang, dan kelapa seperti sebelumnya. Lucunya, dia masuk Gereja dengan melepas sandal terlebih dulu, mirip seperti yang dilakukan di Kuil. Di dalam Gereja, lagi-lagi dia mesti diusir sebab salah melakukan ritual keagamaan: jemaat Gereja tak memberi sesajen pada Tuhan seperti yang biasa dilakukan umat Hindu di Kuil.
Orang-orang menganggap bahwa PK salah masuk rumah ibadah. Di saat itu, dia melihat para jemaat Gereja sedang menuangkan wine (anggur), jadi dia berpikir bahwa kali ini Tuhan sudah tak ingin minum air kelapa, melainkan meneguk wine. PK keluar, mengambil dan mengumpulkan uang dari “mobil bergoyang” dan pengemis untuk membeli dua botol wine, lantas pergi lagi ke rumah Tuhan yang lain: Masjid. Namun sayangnya, sebelum masuk Masjid, PK sudah dikejar-kejar oleh beberapa jamaah Masjid.
Dia melarikan diri dan meloncat ke dalam bus. PK bingung, sebenarnya apa yang diinginkan Tuhan. Mengapa Tuhan sulit sekali mengembalikan transistor miliknya? Lalu kenapa orang-orang juga gampang sekali berubah-ubah?
Di dalam bus, PK menyapa seorang wanita. Beberapa orang mengira bahwa dia sedang menggoda janda yang baru ditinggal mati suaminya. Lalu PK bertanya, “Bagaimana kau tahu bahwa dia seorang janda yang tengah berkabung?”
“Lihat pakaian yang dikenakannya, dia sedang memakai sari putih. Itu artinya dia baru saja berkabung,” jawab salah seorang pria, penumpang salah satu bus, berang.
Tak mau terkena masalah untuk sekian kalinya, PK tergopoh-gopoh turun dari bus dan mendapati seorang pengantin wanita sedang mengenakan gaun putih. Maka dia menghampiri wanita tersebut dan mengucapkan bela sungkawa karena suaminya telah meninggal. Tentu saja si alien itu langsung kena damprat si pengantin wanita. Pengantin itu bilang bahwa warna berkabung bukan putih, melainkan hitam.
PK kebingungan, lagi-lagi … kenapa ucapan manusia selalu berbeda-beda? Tak konsisten!
Di jalan, dia menemukan tiga orang perempuan ber-abaya dan bercadar hitam. PK mendekati mereka dan dengan polosnya dia bertanya, “Apakah suami kalian telah meninggal?”
Sontak saja, seorang pria—suami dari ketiga wanita tersebut–yang muncul dari belakang ketiga istrinya, langsung mengamuk pada PK!
Semenjak saat itu, PK menjadi semakin bingung. Dia kesulitan memahami manusia. Mengapa manusia membentuk kelompok-kelompok dan mesti menganut agama berbeda? Kenapa setiap agama menjalankan ritual yang berbeda? Kenapa setiap agama memiliki Tuhan masing-masing? Sebenarnya di manakah Tuhan yang sejati?
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di benak PK hingga mencapai sebuah kesimpulan bahwa: Tuhan Hilang! Sementara orang-orang terus saja berkata bahwa hanya Tuhan yang dapat membantu menemukan transistor miliknya. Oleh sebab itu si alien yang polos itu membuat dan menyebarkan selebaran yang bertuliskan: Tuhan hilang, jika kau menemukannya, tolong hubungi nomor yang tertera.
Selebaran tersebut diterima oleh salah seorang wartawan yang baru pulang dari Belgia enam bulan lalu karena patah hati: gagal nikah. Wartawan itu tertarik oleh keunikan PK. Demi bisa mengorek informasi tentang PK, Jaggu (Anuskha Sharma)—nama wartawan itu—sampai rela menyogok polisi agar bisa mendengar cerita PK. Perempuan ini adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa PK merupakan alien. Oleh sebab itu di bersedia membantu menemukan transistor itu agar si alien bisa pulang ke planetnya.
Ini hanya sekelumit kisah dari film yang berdurasi 2 jam 33 menit ini. Di film garapan Rajkumar Hirani ini, penonton disuguhkan sudut pandang lain mengenai banyak hal: tak selamanya warna hitam identik dengan suasana berkabung, atau putih yang identik dengan suasana bahagia–karena umumnya pengantin wanita akan mengenakan gaun putih.
Secara tak disadari, si alien menyeru penonton agar open minded dan berpandangan luas. Sebagai makhluk berakal, selayaknya manusia tidak menilai seseorang hanya dari atribut atau penampilan luarnya saja. Semisal yang disinggung pada film ini, bahwa salah jika menganggap teroris merupakan bagian dari Islam karena jubahnya, berkalung salib tak selamanya Kristen, berpakaian biksu tak pasti Budha, mengenakan sorban belum tentu muslim bisa saja dia penganut Sikh, pengemis tak selalu miskin, pemberi sedekah belum tentu kaya, pembuat onar belum tentu bersalah, penegak hukum tak selalu benar dan lain sebagainya. Manusia tak ubahnya bunglon, bisa berkamuflase di mana dan kapan saja.
Intermezo: jika tak ingin seperti bunglon, jangan menjadi manusia. Sebab manusia memiliki kemampuan penyamaran dan mengelabui melebihi bunglon dan semua makhluk di bumi.
Sebenarnya tema cerita ini bukan sesuatu yang istimewa. Sebab, sudah sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari. Namun uniknya, film ini juga tak bisa dipandang sebelah mata. Kejelian, kemahiran, dan kerja sama para pemain, sutradara, produser, dan seluruh tim mampu memproduksi dan menjadikan film ini “sangat mahal” karena pesan moralnya yang sangat kuat.
Meski begitu, PK tak terkesan menggurui. Karena dikemas dengan komedi satire yang sangat segar, ringan, namun juga berbobot.
Pada awalnya penayangannya, film ini menuai banyak kontroversi di negara asalnya karena dianggap menghina agama. Seperti halnya di Indonesia, di India juga sangat sensitif mengenai isu agama. Tak dipungkiri, di sana kerap kali terjadi persinggungan dua agama mayoritas: Hindu dan Islam.
Namun siapa sangka, meski sangat kontroversial ternyata PK juga menjadi film yang fenomenal. Sebab bisa menembus angka USS 54 juta (pendapatan domestik) di pekan keempat setelah rilis dan menjadi film terlaris sepanjang 2014.(*)
Jum’at, 20 Maret 2020
Uzwah Anna lahir tumbuh, dan besar di pelosok kampung, di Kabupaten Malang. Penyuka warna hitam, biru, dan hijau. juga … suka semilir angi, kudapan pemanja lidah, dan wangi mekar bebungaan. satu lagi, fans berat Werkudoro sekaligus ketiga putranya: Ontorejo, Gatotkoco, dan Ontoseno.
Facebook: Uzwah Anna