Lidah Simbok
Oleh : Reza Agustin
Simbok selalu berkata, “Jadilah orang yang jujur. Kamu enggak mau to, nanti lidahmu dipotong-potong di neraka”. Namun, Mbok. Bisakah sekarang kupercayai kata-katamu itu setelah melihat tubuh tuamu lejar di ranjang puskesmas? Dua hari yang lalu, kamu muntah darah, Mbok. Dokter bilang, kanker paru-paru.
“Terus biayanya gimana?” Adnan bertanya dengan raut wajah datar, sementara sebuah rokok terselip di antara jari-jarinya.
“Enggak tahu. Kamu juga tahu sendiri aku enggak punya uang sekarang.”
Beruntung nasibmu, Mbok. Punya anak sepertiku yang hanya guru honorer bayar ikhlas. Bahkan untuk makan setiap hari, harus utang warung di sana dan di sini. Sekarang bagaimana caranya aku bisa menebus obat?
“Aku juga sama, enggak ada duit sendiri.” Adnan mengisap rokoknya lagi, lantas mengembuskan asapnya hingga menyentuh langit-langit.
“Eh, sebenarnya ada. Tapi bukan uang sendiri, sih. Kalau kamu mau, bisa kuambil sedikit. Berapa to, uang buat nebus obat ibumu?” Ia meralat perkataan sendiri. Namun, dari nada bicaranya yang getir, dapat kutahu bahwa ia sendiri juga sama ragunya.
“Itu duit dari mana?”
“Bantuan dana siswa yatim.”
Jawaban Adnan memupuskan niat.
“Aku juga pernah ambil, kok. Terus aku ganti pas honor buat mengisi ekskul cair. Enggak apa-apa, kok. Asal kamu ganti juga. Anggap aja ngutang,” lanjutnya lagi lantas meraba saku seragam. Sekotak rokok ia keluarkan dan diacungkan depan wajahku. Aku menggeleng, juga sebagai jawaban bahwa tawaranya barusan kutolak. Bel masuk panjang memisahkan kami.
***
Sore itu, saat guyuran hujan membilas jejak-jejak darah Simbok di teras, aku mengendarai sepeda motor butut warisan mendiang Bapak. Satu-satunya harta peninggalan milikku yang lantas terparkir di teras indekos Adnan. Ia selalu membunuh waktu dengan membunuh dirinya pelan-pelan. Menyumpal mulut dengan lintingan tembakau yang ujungnya tersulut bara api.
“Uang itu, boleh aku pinjam sebentar?” tanyaku saat dua buah gelas kopi tubruk instan terhidang di tengah-tengah, mencipta jarak di antara kami.
“Boleh, tapi besok. Gimana dengan Simbok?”
Aku menggeleng rendah, lalu ia mengangguk pelan sekali.
“Oke, besok datang ke tempat biasa. Aku kasih uangnya di sana. Tapi, ingat. Harus kamu ganti kalau ada uang. Soalnya itu bukan hakmu.”
Aku mengangguk lemah. Setelah segelas kopi tandas dan langit hanya menyisakan mega kelabu, aku pun kembali memacu motor butut kembali ke rumah. Azan Asar yang berkumandang menjeda niat langsung pulang dan mengecek kondisi Simbok. Sebelum waktu salat habis, aku bergegas mengambil wudu lantas bergabung dengan saf.
Tak ada niat mendengar ceramah sebenarnya. Namun, dengungan namaku yang diserukan imam masjid, menahan langkah keluar masjid. Puluhan mata jemaah masjid membuat langkahku tertahan di lantai dingin masjid. Ketika imam itu menyuruhku duduk, dengan patuhnya kakiku bergerak sendiri kembali ke karpet hijau. Sebuah ruang besar disediakan untukku, sedangkan jemaah lain menyingkir. Mereka duduk di kanan, kiri, dan belakang. Macam saksi dalam sebuah persidangan.
Imam masjid mengetukkan palu pada mimbar. “Kamu saya vonis masuk neraka dan dipotong lidahnya.”
“Loh, Pak. Tapi saya enggak salah apa-apa.”
“Kamu melanggar peraturan!”
“Peraturan apa, Pak?”
“Peraturan simbokmu!”
Dan, beberapa detik setelahnya, tubuhku diseret puluhan jemaah. Diayun-ayunkan bak jemuran karung beras. Jika diayun-ayun, maka seharusnya tubuh ini akan terasa dingin terkena terpaan angin, tetapi panas dari tanah yang terbelah mulai merambati kulit. Begitu tanah telah sepenuhnya terbelah, dengan api neraka yang berkobar-kobar dan dua makhluk besar berwarna merah keluar datang dengan membawa gergaji panjang.
Lidahku ditarik paksa, sementara dua makhluk beringas itu tertawa kencang-kencang. Gergaji itu berputar otomatis, berdesing seperti memiliki mesin. Suaranya menderu membawa ngeri. Apalagi ketika percikan-percikan panas antara terlontar dari mata gergajinya yang berputar. Membayangkan lidah terpotong karena mendustakan wejangan Simbok dan justru hendak melakukan dosa yang dibenci oleh Sang Pencipta, membuat sesal tiada terhitung itu datang.
Simbok pastilah kecewa dengan lelehan tangis di atas dipan reyotnya. Mbok, maafkan anakmu ini yang durhaka. Neraka ini biar aku saja yang terima, daripada Simbok juga mengalami sakit yang sama.
“Berhenti! Biar saya saja. Lepaskan anak saya!” Simbok datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat, dingin, dan napas satu-satu karena paru-paru lemahnya diajak berlari menahan pergerakan gergaji. Satu detik terlambat saja, lidahku akan terjatuh ke tanah panas.
“Kenapa kamu yang mau gantikan? Anakmu yang enggak jujur, biar dia sendiri yang tanggung!” Imam masjid protes.
“Karena dia anak saya, maka saya juga tanggung dosa-dosanya. Itu adalah tanggung jawab saya karena tak benar mengurusnya,” raung Simbok sembari berlutut meminta pengampunan.
Imam masjid mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia menyuruh dua makhluk itu berganti mendekati Simbok.
“Potong lidahnya! Biar sekalian dia enggak sakit lagi.”
Dan, dengan itu, gergaji tersebut memotong lidah Simbok.
“Simbok!”
Dan, sebuah tepukan kencang membuatku tersadar. Aku masih berada di masjid dengan imam masjidnya menatapku dengan tawa tertahan. “Bangun, Mas. Ini udah mau masuk waktu Isya. Kasihan itu motornya di luar. Motor bagus itu, untung enggak ada yang ambil.”
***
“Uangnya enggak jadi?” Adnan bertanya. Asap rokoknya menabrak langit-langit.
“Enggak, ah. Aku masih pingin lidahku utuh.” Jawaban yang meluncur dari mulutku tak membuat Adnan terkesan.
“Ya udah, enggak apa-apa. Buat yang lain aja, soalnya ada guru baru lain yang juga butuh.” Adnan dan asap rokoknya berlalu.
Aku menghela napas berat. Tanpa menyentuh uang bantuan itu, Simbok sudah dapat obat dan perawatan yang cukup di puskesmas. Ah, hari sudah sore. Aku harus balik ke puskesmas. Berjalan kaki. Motor warisan itu telah dibayar kontan dengan segepok uang bernominal luar biasa. Imam masjid kemarin adalah kolektor sepeda motor jadul. Ia tak main-main soal harga.
Tak apa, Mbok. Setidaknya anakmu ini berhasil menjaga lidahmu ini tetap pada tempatnya nanti.
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 2020. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie dan kunjungi pula akun Noveltoon-nya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata