Pemuda yang Jatuh Cinta
Oleh : Sekar Rahayu
Pagi ini, aku akan menemui Mbak Anna. Aku telah bersiap sebaik mungkin. Kaus berkerah abu-abu yang dipadukan dengan celana denim hitam, membuat aku semakin percaya diri. Itu memang perpaduan warna kesukaanku. Tidak lupa, kupakai jaket yang menggantung di belakang pintu kamar ditambah sedikit semprotan parfum andalan. Aku senyum-senyum di depan cermin.
Aku sudah tampan dan keren.
Kuraih kunci motor di atas nakas, kemudian melangkah menuju teras. Di sana, kuda besiku telah siap. Siulan terdengar sepanjang jalan. Hal-hal menyenangkan selalu terlihat selama perjalanan menuju tempat pertemuan dengan Mbak Anna. Pengemudi di depanku, misalnya. Enak sekali jika aku bisa berboncengan dengan seseorang seperti itu nanti, perempuan maksudku. Lalu, tiba-tiba saja wajah Mbak Anna terbayang. Aku tersenyum malu. Aku sendiri tidak habis pikir, bagaimana bisa paras ayu perempuan itu mendadak muncul?
Kubelokkan laju motor matik setelah melewati perempatan. Tidak berapa lama, aku telah sampai di depan sebuah taman indah dengan banyak pohon palem dan bunga-bunga. Muda-mudi berseliweran di jalan setapak buatan. Ada pula satu keluarga yang menikmati kebersamaan di area gazebo. Aku tersenyum, itu adalah pemandangan yang indah. Bagaimana rasanya jika aku yang berjalan-jalan seperti itu dengan Mbak Anna nanti? Memikirkannya saja sudah membuatku gemetar.
Usai menerima karcis dari seorang tukang parkir, aku berjalan menuju halaman utama. Satu pohon beringin besar berada di tengah-tengah, menaungi kursi-kursi besi minimalis yang mengelilinginya. Kuedarkan pandangan guna mencari sosok Mbak Anna. Aku mengambil ponsel dari saku saat tidak juga kutemukan sosoknya. Kubuka pesan terakhir dari perempuan yang akhir-akhir ini sedang kudekati.
[Kalau begitu, sampai jumpa besok di taman.]
Aku menghela napas dalam-dalam. Mungkin dia memang belum datang, hingga suara lembut nan merdu itu tidak kunjung terdengar.
“Ken.”
Aku segera menoleh dan mendapati dirinya tersenyum manis, manis sekali. Rasanya ingin kucubit pipi berisi itu.
“Mbak Anna,” balasku.
“Maaf, kalau menunggu lama.”
Aku menggeleng singkat. “Tak apa. Aku juga baru datang.”
Dia hanya membalas singkat. ‘Oh‘, saja. Perempuan itu memalingkan wajah ketika mata ini tak bisa berpaling darinya.
“Kita jalan dulu?” katanya yang menarik lamunanku dari pesonanya.
Aku mengangguk cepat, sedikit salah tingkah. Kupikir dia akan menganggapku tak sopan atau genit karena terus-menerus menatapnya.
“Ya, kita bisa keliling taman dulu.”
Dia tersenyum lagi, kemudian memulai langkah. Detik berikutnya aku menyusul. Kami pun berjalan berdampingan sambil menikmati suasana hangat taman di pagi hari yang sangat cerah itu. Sesekali, kulirik Mbak Anna yang entah kenapa hari ini diam saja. Padahal aku sangat ingin mendengat suaranya. Mungkin memang belum ingin bicara.
Tentang Mbak Anna, aku bertemu dengannya di perpustakaan kota. Waktu itu, aku membantu mengambilkan buku di deretan yang sulit dijangkau tubuh mungilnya walau sudah berjinjit. Karena buku yang dia pilih cukup menarik perhatian, aku pun berbincang sejenak dengannya. Beruntung Mbak Anna adalah perempuan yang supel. Ringan saja dia mengemukakan alasan memilih buku tersebut.
“Aku suka sejarah. Aku penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu. Dari sejarah pula, aku belajar banyak hal, salah satunya bersyukur. Bersyukur bahwa kita hidup di dunia yang lebih mudah dari mereka yang hidup di masa lampau. Dari mereka pula aku belajar untuk tidak mengeluh.”
Aku terkesima. Memang usianya telah matang untuk membuat pernyataan berisi seperti itu. Namun, tetap saja memukau bagiku yang hanya mahasiswa tak lulus skripsi ini. Dia bukanlah mahasiswi jurusan sejarah atau sastra. Bukan pula seorang guru. Mbak Anna mengaku hanya seorang perempuan yang suka keluyuran. Kupikir maksudnya adalah wartawan, surveyor, atau semacamnya. Setelah itu, kami membicarakan berbagai macam topik, mulai dari kisah sejarah yang menjadi kesukaannya, kaitannya dengan peristiwa yang sedang terjadi saat itu, sampai ketertarikannya pada ilmu ekonomi yang sedang kugeluti. Rupanya dia perempuan yang selalu penasaran. Aku semakin kagum dibuatnya.
Sayangnya, kami tak bertemu lagi setelah momen mengesankan tersebut. Selama itu pula ada rasa ingin berjumpa hingga Tuhan memberikan satu kesempatan lagi padaku. Pada bulan berikutnya setelah perjumpaan terakhir, aku kembali menemukannya sedang memilih-milih buku. Kepalanya sering mendongak sebab mungkin buku yang dia suka diletakkan oleh sang pustakawan di atas sana. Momen itu pun tidak aku sia-siakan. Dia bahkan membalas dengan hangat saat aku menyapa. Kami mengobrol cukup lama. Saat itulah kuberanikan diri untuk meminta nomor ponselnya.
Kupikir, dia akan enggan menerimaku, nyatanya Mbak Anna menyambut permintaan itu. Hari-hari setelahnya lebih banyak kuhabiskan untuk berbalas pesan atau sekadar menelepon singkat guna menanyakan hal-hal remeh dengannya.
Akhirnya, hari ini aku memantapkan diri untuk menyatakan perasaan itu. Walau awalnya ada ragu karena usia kami terpaut cukup jauh, tetapi aku akhirnya memantapkan hati. Aku juga akan paham jika Mbak Anna tak yakin atas pernyataanku nanti. Di matanya yang telah menginjak kepala empat, itu mungkin akan dianggap lelucon. Tidak mengapa, aku memang masih ingusan, belum punya pekerjaan tetap. Namun, aku akan berusaha sebaik mungkin.
“Semalam, Mas Heri menghubungiku. Dia bilang ingin kembali demi Keisya,” ucapnya tiba-tiba yang berhasil menghentikan langkahku.
Mbak Anna menoleh. Wajahnya sarat keheranan. Pikiranku terhenti. Ada rasa yang bercampur di benak, sepertinya aku juga kesulitan mengatur degup jantung.
Apa yang tadi dia bilang?
“Ken?” panggilnya.
Aku terkesiap. Kupaksakan senyum, entah bagaimana hasil senyumku di matanya.
“Kamu enggak apa-apa?”
Aku menggeleng cepat, senyum masih terus kutorehkan. Mbak Anna menghela napas panjang. Dia terlihat bimbang lalu meneruskan langkah menuju pagar pembatas. Aku mengikutinya. Kuletakkan kedua tangan di atas pagar putih yang sedikit mengelupas tersebut. Kami sama-sama terdiam menikmati aliran sungai.
“Mas Heri bilang, Keisya sering menanyakan keberadaanku ketika tak bersama mereka. Sebenarnya itu juga terjadi saat dia bersamaku. Mungkin dia iri dengan teman-temannya yang lain. Tentang kebersamaan keluarga. Rasanya aku sudah pernah menyiapkan diri sebelum benar-benar berpisah dengan Mas Heri, nyatanya sangat sulit dipraktikkan. Ternyata, berteori memang lebih mudah.”
Mbak Anna tertawa lirih. Bisa kurasakan ada kegetiran dalam tawa itu. Aku mencoba bersimpati. Aku memang tidak tahu apa penyebab rumah tangganya berakhir. Waktu itu, aku sama sekali tidak tertarik. Kini, kurasa keingintahuanku sedikit terlambat atau malah terlambat sekali. Aku bahkan tidak memikirkan Keisya, putri Mbak Anna yang bahkan jarang disinggung. Harusnya aku belajar menarik simpati bocah yang katanya baru masuk SD tersebut. Bisa jadi, dia bisa melupakan sosok ayah kandungnya.
Aku berdecak, kesal lantaran mendadak merasa egois. Kualihkan pandangan dari sungai di depan sana ke sisi yang lain.
“Menurutmu, aku mesti bagaimana, Ken?”
Pertanyaan itu ringan saja akan kujawab bila isi hatinya sudah kuketahui. Aku bahkan tidak bisa menebak, apakah Mbak Anna masih mencintai mantan suaminya atau tidak? Membuat dugaan seperti itu membuatku tak nyaman. Rasanya ingin kusebutkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan mantan suaminya itu, andai saja aku tahu. Ah, berandai-andai lagi. Sekarang aku benci berkhayal.
“Apa aku seharusnya menerima ajakan Mas Heri? Demi Keisya?”
“Apa Mbak Anna masih ada rasa sama dia?”
Pertanyaan itu akhirnya meluncur. Ada perasaan lega namun juga was-was. Pikiranku benar-benar tak tenang atas jawabannya nanti. Sanggupkah aku mendengar isi hatinya?
Kutoleh Mbak Anna yang masih memandang ke sungai. Wajah tenang dengan senyum simpul itu tiba-tiba saja membuat hatiku berdesir. Aku tidak berani memikirkan apa-apa lagi, kecuali menundukkan kepala. Pasrah.
Negeri Gemah Ripah, 18 Maret 2020
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata