Api Kesumat

Api Kesumat

Api Kesumat
Oleh : Mulia Ahmad Elkazama

Desa Jerukmacan berselimut duka yang menggegerkan warganya pagi ini. Berita kematian Bapak Kepala Desa sungguh tak disangka-sangka, terjadi begitu saja. Semalam tadi, Rasiman masih terlihat segar bugar, tak ada tanda-tanda bahwa akan ada hal buruk menimpa dirinya. Sebab kematian yang mendadak itu, sebagian warga masih diliputi rasa tak percaya, dan beberapa warga yang sudah membuktikan kebenaran berita itu, berasumsi macam-macam.

“Bu, saya mau pergi melayat. Kamu nggak ikut?” Aku bersiap-siap hendak berangkat melayat.

“Bapak duluan saja, nanti saya menyusul,” jawab istriku, sambil pergi ke ruang penyimpanan beras.

Aku segera bergabung dengan beberapa orang yang hendak memberi penghormatan terakhir pada Rasiman. Selain kaya, Rasiman tergolong kepala desa yang baik hati dan dermawan. Akan tetapi, siapa yang bisa mencegah datangnya kematian?

“Bu Sumiati nggak ikut melayat, Pak?” tanya Sukir, tetangga belakang rumah.

“Nanti menyusul,” jawabku.

“Ya, mungkin terpukul atas kematian Pak Rasiman,” timpal Naryo.

Sebenarnya, hubungan istriku dan Rasiman yang notabene adalah saudara, kurang begitu harmonis. Saat berkesempatan bertemu, selalu saja perang mulut. Terakhir, sekitar sebulan yang lalu, Rasiman datang ke rumah, bermaksud meminang Lestari, putri semata wayang kami. Tentu hal itu membuatku kaget sekaligus kecewa. Bagaimana bisa, keponakannya sendiri mau dinikah? Sumiati pun naik pitam.

“Kamu gila, Mas? Tahu diri, dong!” bentak Sumiati. Matanya membulat bola.

“Aku hanya kasihan pada Lestari, Sum. Masa sudah berumur belum juga dapat jodoh,” kata Rasiman, santai sambil sesekali tersenyum.

“Angkat kaki dari sini sekarang!” Sumiati berdiri dari tempat duduk, dan menggeret tangan Rasiman. “Aku nggak sudi melihat wajahmu lagi!”

Semenjak kejadian itu, hubungan istriku dan Rasiman semakin renggang. Di mana pun mereka bertemu, tak ada tegur sapa atau sekadar salam. Sementara aku, sebagai orangtua Lestari juga kecewa. Tapi apa mau dikata, memelihara permusuhan tidak ada gunanya. Ya, aku tetap berusaha bersikap baik pada Rasiman.

“Bu, apa nggak sebaiknya damai saja,” ucapku beberapa waktu lalu.

“Sama tua bangka tak tahu diri itu?” sahut Sumiati, sinis. “Nggak sudi! Lagian, dia itu bukan saudara kandungku, Mas. Ngapain aku damai sama dia,” lanjutnya.

“Tapi, Rasiman sudah merawatmu sejak kecil, Sum.” Aku mencoba mengingatkan istriku akan kebaikan-kebaikan Rasiman, yang telah mengasuh Sumiati dari kecil sampai dijodohkan denganku. Itu semua, Rasiman yang mengatur.

“Lalu, aku harus menyerahkan Lestari sebagai balas budi? Nggak sudi aku, Mas!” ucap ketus Sumiati.

“Kau lihat nasib Wahyuni, Mas. Hidupnya sengsara akibat perbuatan Rasiman. Setelah kawin dengan Sulastri, tua bangka itu menelantarkan Wahyuni. Kamu mau anak kita bernasib sama? He?” lanjut Sumiati, geram.

 Ah, sudah berulang kali aku menasihati Sumiati agar mereda amarahnya pada Rasiman, namun tak digubris. Meskipun begitu, ia sangat terpukul mendengar kematian kakak tirinya itu. Terlihat dari air matanya yang jatuh berderai saat aku berpamitan tadi. Sepertinya ia menyesal karena belum sempat meminta maaf.

Setiba di rumah duka, kepalaku pusing tujuh keliling. Ternyata tidak hanya aku, Sukir dan Naryo pun merasakan hal yang sama, saat hidung kami mengendus bau tak sedap dari dalam rumah. Tak hanya kami, para pelayat pun menyumbat hidung mereka.

“Bau telur busuk,” ucap Sukir sambil menyumbat hidungnya.

“Lebih busuk lagi, Kir.” Naryo menimpali.

Aku pun hanya terdiam, tak berani berkomentar macam-macam. Meskipun dalam hati sarat akan pertanyaan-pertanyaan.

“Matinya tak wajar.” Seorang lelaki tak kukenal berbisik di telinga. Aku sempat terlonjak kaget.

“Kok, Bapak tahu?” selidikku.

“Sebelum meregang nyawa, aku ada di sampingnya. Dari dalam perutnya keluar belatung dan kalajengking. Urat-urat tubuhnya pun melepuh, lalu keluar nanah bercampur darah. Mirip gunung meletus.” Lelaki setengah baya itu menceritakan kronologi detik-detik menjelang kematian Rasiman.

Aku mengernyitkan dahi, belum sepenuhnya percaya ucapan lelaki yang tiba-tiba muncul di belakangku.

“Lihat!”

Sukir menyenggol tubuhku dan menunjuk ke arah seorang perempuan. Aku pun mengikuti isyarat jari telunjuknya. Seorang perempuan seumuran istriku berdiri tak jauh dari tempat para pelayat perempuan. Dengan pakaian dan kerudung serba hitam, ia terlihat biasa saja. Tak terlukis gurat kesedihan di wajahnya.

“Bukankah itu Wahyuni, mantan istri Pak Rasiman?” tanya Sukir.

“Ya, benar.”

Jangan-jangan, Rasiman memang diteluh. Ah, nggak mungkin.

Pikiranku semakin kacau. Terlebih, saat membayangkan perasaan istriku ketika mendengar kabar kematian tak wajar ini. Ia pasti akan menyesal dan mengutuk diri.

“Pak San, jangan-jangan kematian Pak Rasiman ada hubungannya dengan Bu Wahyuni,” bisik Sukir.

“Jangan berburuk sangka dulu, Kir.” Naryo menyahut.

“Bisa jadi, kan? Pak Rasiman, kan, pernah mengkhianati Bu Wahyuni, tentu sakit hati dong,” jelas Sukir. Naryo manggut-manggut.

Memang, apa yang dikatakan Sukir ada benarnya juga. Dalam hati, aku juga berpikir begitu. Wahyuni, bisa jadi karena sakit hati, ia nekat melakukan hal ini. Mengingat kejadian yang pernah dialaminya dulu, saat Rasiman mengusirnya dari rumah gara-gara Wahyuni tidak mau dimadu. Bukankah seorang wanita jika sakit hati dapat melakukan hal-hal di luar kendali? Aku bangkit dari tempat duduk, dan bersiap-siap masuk ke dalam rumah untuk mengikuti salat jenazah.

Selesai salat jenazah, aku berpamitan pulang pada Sulastri. Ia sempat menanyakan kabar Sumiati kepadaku, dan aku bilang, “Sumiati kurang enak badan.” Sepertinya Sulastri tahu dan memaklumi apa yang sebenarnya terjadi antara istriku dan suaminya.

Sebelum aku meninggalkan rumah duka, Wahyuni menghampiriku.

“Kenapa istrimu nggak ikut?” tanya Wahyuni, penuh selidik.

“Ia terpukul dengan kejadian ini, Mbakyu,” jelasku.

“Terpukul? Buat apa? Rasiman memang pantas mati!”

Tubuhku seperti disambar petir mendengar kalimat yang diucapkan oleh Wahyuni. Begitu dendamkah ia pada Rasiman? Aku masih diam membisu saat perempuan di hadapanku ini pergi, membawa senyum kemenangan yang tak dapat kujelas-terangkan. Bagaimana reaksi istriku mendengar kabar buruk ini? Ah, tega sekali Wahyuni berkata seperti itu.

Sesampai di rumah, aku mencari-cari Sumiati. Berkali-kali kupanggil, tak ada jawaban. Setiap sudut ruang kulihat, aku tidak menemukannya. Aku pun cemas bila terjadi hal buruk padanya.

“Bu, kamu di mana?”

Aku menuju gubuk belakang rumah, tempat kami menyimpan barang-barang rongsokan. Tidak ada siapa-siapa. Tapi, lensa mataku menangkap sebuah peti hitam berukuran sedang yang belum pernah kulihat sebelumnya, tergeletak di balik tumpukan kardus mi instan. Tanpa basa-basi, kuambil peti hitam itu dan membukanya.

Alangkah terkejutnya aku saat melihat isi dalam kotak. Sebuah boneka kain berwarna putih tulang, bertuliskan nama Rasiman, lengkap dengan hari, tanggal lahir, dan weton. Beberapa helai rambut, kemenyan, foto, paku, pisau, semua ada di situ. Pada beberapa bagian tubuh boneka pun, jarum-jarum tajam tertancap begitu dalam.

“Sumiati ….”

 

Pati, 19 Februari 2020.

Mulia Ahmad Elkazama, lahir di kota kecil Pati, Jawa Tengah. Penggemar serial anime Naruto ini suka membaca dan menulis. Aktif belajar di beberapa grup kepenulisan dunia maya. Akun FB: Mulia Ahmad Elkazama. IG: @ahmadmulia247

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply