Sepotong Kisah Busuk
Oleh : Dyah Diputri
Bersama sekeping hati, aku pergi membawa namamu
Degupnya masih bisa merasakan ngilu, jua rindu tatap temu
Jika kamu ingat pernah menulis kisah asmara, kala dulu
Panggil saja! Rasa ini lelah menunggu
Kami saling memandang, tetapi masih tertegun dalam diam. Dua pasang mata berserobok selama hampir lima menit. Riuh rendah suasana temu kangen alumni SMA Harapan 2 tidak sedikit pun menggoyahkan perasaanku untuk mengakhiri tatapan pada Arjasa. Entah, mungkinkah pria itu memiliki debar yang sama?
“Aurel!” seru seorang wanita dari arah belakang. Dia tidak asing bagiku.
Michika, teman sekelas delapan tahun yang lalu. Kehadirannya sontak memutuskan tautan pandangan antara aku dan Arjasa. Aura anggun tecermin dari penampilannya. Long dress berkerah V warna putih membalut tubuh langsing, berpadu dengan high-heels setinggi 10 sentimeter. Rambut pirang Michika yang bergelombang dibiarkan tergerai ke samping. Dia hanya menjepit rambut bagian atas telinga kiri, sehingga tampak leher jenjang putih susu yang menambah kesan seksi.
Aku tidak kaget, sebab sejak zaman sekolah Michika yang ter-wah di sekolah ini. Justru yang membuatku tercengang adalah kedatangan wanita itu bersama Arjasa malam ini.
“Ini Arjasa, suamiku.” Michika mengenalkan pria dengan mata sipit itu kepadaku.
Arjasa menyodorkan tangan, dan aku menanggapi jabat tangannya sekilas. Ada yang berdesir dalam dada, hingga seketika tubuhku merinding. Bagaimana bisa pria berjas hitam di hadapanku bisa senetral ini menghadapi pertemuan ini? Ya, pertemuan … pertama kalinya setelah perpisahan kami, empat tahun yang lalu.
Aku masih ingat, masa di mana kami saling menautkan jemari di sepanjang jalan kampus. Dia kekasihku, yang kucintai setengah mati saat itu. Bersama-sama, kami menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi. Ikatan indah yang terjalin bukan tanpa sebab. Banyak kecocokan dan rasa saling tergantung satu sama lain.
Impian itu ada, bahkan menjadi pengait perasaanku dan Arjasa. Kami pernah berangan-angan mendirikan sebuah perusahaan atas dasar ide-ide yang bercokol di kepala, juga berandai-andai memimpin perusahaan itu bersama-sama. Kemudian, kesuksesan dan kemapanan akan menjadi awal yang baik untuk kami membina rumah tangga.
“Jangan punya anak perempuan, nanti perusahaan mainan kita akan dikuasainya, Rel!” Arjasa tergelak ketika mengatakan itu. Aku tahu dia bercanda dan sekadar menggodaku yang ingin memiliki seorang putri darinya. Maka, aku pun tertawa sambil mencubit pinggangnya.
Arjasa berusaha menghindar, tetapi akhirnya aku yang berhenti menyerang. Tawa kami sudah keterlaluan, sampai-sampai perutku kram dibuatnya.
“Tunggu saja, Rel! Besok malam aku akan melamarmu,” ucap Arjasa dengan penuh penjiwaan.
Sungguh, aku menantinya! Namun, mengapa ia tidak pernah datang malam itu?
Jam dinding besar itu berdentang tiga kali. Tepat pukul dua belas malam. Kupilin-pilin ujung kerudung, perasaan sudah awut-awutan, tak keruan. Aku duduk bersandar di meja rias dalam kamar, sendirian. Sempat terdengar olehku suara denting-denting piring yang beradu dari arah dapur. Kemudian Ayah dan Ibu bersahut-sahutan, saling melempar argumen.
“Harusnya kamu pastikan dulu, Bu, siapa dan dari mana asal pria itu! Kamu yang selalu di rumah, masa gak bisa menilai bagaimana perangai lelaki itu!” Tengah malam bukanlah halangan bagi Ayah mengungkapkan kekesalannya.
“Ya Allah, Pak. Arjasa itu baik, sopan, ndak pernah kelihatan main-main sama Aurel. Apalagi, dia bilang mau melamar anak kita.”
“Ya, tapi mana buktinya? Sampai jam segini, baik lelaki itu maupun keluarganya ndak nongol kemari! Sama sekali ndak ada kabar.”
“Ya, Ibu mana tahu? Dipikir, cuma Bapak yang kecewa? Ibu juga, Aurel juga pasti.”
Hatiku menjerit, napas tercekat di tenggorokan. Bibit cinta yang tersemai telah tumbuh dengan subur, terpupuk setiap hari, berbunga dengan indah, mendadak harus layu sebab hujan yang tak kunjung datang. Bukan Arjasa tidak memberi kabar seperti kata Ayah. Sebaliknya, dia mengirimi pesan yang isinya bak petir menggelegak dalam kesunyian.
Keluargaku masih tidak memberi restu, Rel. Jika aku tidak boleh memeluk agamamu, bagaimana kita bisa bersama?
Selama beberapa hari perasaanku hancur. Aku tidak tahu, apa dan siapa yang bisa kupersalahkan? Pun, seperti tidak ada jalan terbuka lebar untuk kelangsungan hubungan ini. Dia sudah berusaha, aku tahu itu. Namun, aku rindu … selalu rindu Arjasa. Harapan itu masih melekat dalam setiap langkah. Setiap kali kami bertemu—setelah lamaran yang gagal itu—setiap kali itu pula kami tersenyum, sekadar meyakinkan diri masing-masing bahwa akan ada kesempatan.
Bersama sekeping hati, aku pergi membawa namamu
Degupnya masih bisa merasakan ngilu, jua rindu tatap temu
Jika kamu ingat pernah menulis kisah asmara, kala dulu
Panggil saja! Rasa ini lelah menunggu
Tidak ada kemajuan yang terlihat sampai hari wisuda, yang ada hanya pergolakan batin sendiri-sendiri yang terkunci dalam diam. Aku terpaksa menerima tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaan temannya yang berada di Jayapura. Hanya selarik pesan di kertas lipat warna biru yang kutinggalkan untuk Arjasa. Kuletakkan lipatan kertas itu di ritsleting depan tas punggung hitam miliknya. Biasanya, pria itu sering mencari buku memo di bagian tersebut. Aku pergi selama beberapa tahun, tanpa sedikit pun mendengar kabar tentang dia. Komunikasi elektronik juga terputus, sebab Ibu memang terang-terangan memintaku menjauh dari orang yang kucintai.
“Bagaimana kabarmu sekarang, Rel?”
Arjasa menepuk bahuku, menyadarkan akan ingatan masa lalu. Aku tergemap, dengan segera merapikan kerudung untuk mengalihkan debar yang tak kunjung reda. Sekali lagi, kutatap binar iris kecokelatan Arjasa. Lalu, kujawab pertanyaan dengan berpura-pura tenang. Padahal, hasrat di hati meronta-ronta, mengharap pelukan.
“Aku akan selalu baik-baik saja. Denganmu, ataupun tanpamu,” ujarku dengan lengkung senyum selebar-lebarnya. Penampilanku tidak buruk, tunik warna emas dengan kerudung bahan silk warna senada memang membuat beberapa teman hampir tidak mengenali sosok Aurel. Percaya diri saja, walau kenyataannya hati sedang dipatah-remukkan oleh keadaan.
Arjasa pun mengulum senyum menanggapi jawabanku. Sesekali, dia menatap jauh ke arah Michika yang sedang berswafoto dengan anggota gengnya dahulu. Arjasa melambaikan tangan, membalas kecupan jauh sang istri. Kugigit bibir bawah dengan perasaan mual. Aneh! Jika beberapa menit yang lalu aku dirundung cemburu, sekarang yang ada hanya perasaan jengah!
“Btw, kenal sama Michika di mana? Kok, bisa menikah sama dia? Ehm, maksudku … bagaimana kisah kalian?” Lagi, kulebarkan sudut bibir bergincu merah, kemudian memasukkan sepotong fruit pastry ke dalam mulut. Aku mengunyah penuh kenikmatan seakan-akan tengah mengunyah renyah-renyah sajian peletup cemburu.
Pria itu sempat tersedak, berpura-pura tertawa—yang tidak lucu—lantas dengan entengnya menjawab, “Daddy yang menjodohkanku dengan putri relasinya, ya … Michika itu!”
Kutelan sekali lagi sepotong fruit pastry. Kali ini, seolah-olah kugilas segala rasa rindu, cinta, benci, harapan, serta sekawanannya di dalam lambung dan usus halus. Biar nanti busuk kisah ini berakhir di usus besar dan terkubur dalam jamban dalam bentuk feses.
Michika seorang beragama Islam, sama sepertiku. Lalu, mengapa keluarganya setuju? Sementara aku, terombang-ambing di riak kerinduan dan asa yang paling kejam. Sungguh, ini penantian terkonyol sepanjang hidup!
Malang, 12 Februari 2020.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata