wanita Bunting di Pekarangan
Oleh: Mega Yohana
Tahukah kamu wanita bunting di pekarangan?
Semestinya ini adalah rahasia, tetapi untukmu akan kuceritakan. Sebelum itu, mari pergi ke sebuah kota.
Kota ini adalah kota yang hiruk pikuk. Segala macam manusia maupun peranakan bercampur menjadi satu. Di antara gedung-gedung tinggi yang dindingnya banyak ditempeli ulat penjilat dan tikus pengerat, para manusia dan peranakan menjalani hari-hari mereka. Sedikit saja manusia yang benar-benar manusia di kota ini. Kebanyakan dari mereka adalah manusia-manusia bermuka dua, manusia-manusia bermuka masam, juga manusia-manusia bermuka binatang—yang kemudian disebut peranakan. Mereka berjalan di seluruh celah kota: di pasar-pasar, di gedung-gedung pencakar langit, di jalan-jalan becek, bahkan dalam pemerintahan. Dan, tempat yang kita tuju ada di tepiannya.
Rumah itu sederhana saja. Terletak di pinggir kota, bentuknya seperti rumah-rumah pinggiran lainnya: berdinding papan kayu, beratap anyaman daun palem, serta jendela berjeruji. Di halaman rumah, terdapat pot-pot berisi tanaman. Lalu, mengelilinginya, adalah pagar dari pasak-pasak bambu. Seorang pria sedang bekerja di sana, berlutut dan mengisi salah satu pot dengan tanah merah. Satu bibit pohon dia letakkan di pot, lalu dia tambahkan potongan-potongan arang. Dia mengenakan sarung tangan kulit berwarna kuning—yang warnanya kini sulit dibedakan dari tanah, sepasang bot biru yang membungkus kakinya hingga bawah lutut, serta kemeja kotak-kotak dan celana kodok selutut. Dia juga memakai topi bundar seperti dalam lagu kanak-kanak.
Sore ini terik, setidaknya itulah yang dirasakan si pria yang sedang menanam bibit pohon di halaman. Padahal, semestinya matahari segera tenggelam di balik gedung-gedung pencakar langit. Nyatanya, pancaran panas dari bola api raksasa itu masih begitu menyengat. Si pria menggerakkan tangan untuk menyeka keringat di pelipis dengan lengan bajunya. Benar-benar penghujung hari yang terik, pikirnya.
Selesai menanam, pria itu berdiri. Hidungnya mengendus-endus, lidah terjulur. Dia menuju keran air dan minum dari sana. Air tumpah, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin melegakan kerongkongannya yang kering. Dari sudut mata, dia lihat seorang wanita berjalan tersaruk-saruk di jalanan yang berdebu menuju rumahnya. Perut wanita itu buncit, sangat besar sampai-sampai dia tampak kesulitan berjalan.
“Oh, Tuan, bisakah aku meminta sedikit air?” Wanita itu memelas.
Si pria bermuka anjing mengangguk. “Mampirlah, Nyonya,” panggilnya.
Si wanita berperut buncit tertatih-tatih melintasi halaman rumah pria peranakan itu, lalu duduk di kursi teras. Itu kursi anyaman yang terbuat dari rotan dan dicat putih. Di sampingnya, terdapat meja kecil dengan vas dan bunga yang telah kering.
“Apa kau tidak masalah meminum air dari keran?” tanya si pria peranakan. Setelah melihat tamunya mengangguk, dia mengambil gayung untuk menadah air dari keran.
“Apa yang membuatmu berjalan sendirian di hari yang terik ini, Nyonya?” Pria itu kembali bertanya seraya menganjurkan gayung berisi air. Wanita berperut buncit menerima gayung itu dan menenggak isinya dengan rakus sebelum menjawab.
“Orang tuaku mengusirku.”
Si pria mengerutkan alis ke arah tamunya. “Bagaimana dengan suamimu?”
“Aku tidak memiliki suami.”
Oh, pria itu paham. Wanita ini telah bunting tanpa suami.
“Kalau pria yang membuntingimu?” tanyanya hati-hati
Wanita di hadapannya menggeleng. “Kau tahu, Tuan?” celetuknya tiba-tiba. “Pada satu malam, aku pulang dari bekerja dan berpapasan dengan seorang pria. Dia berjalan sempoyongan dengan muka memerah dan aroma tuak menguar dari mulut. Kau tahu, Tuan, kejadian selanjutnya. Dia menggagahiku.”
Si pria bermuka anjing mengeratkan rahang. “Lalu?” tuntutnya, tak sabar mendengar kelanjutan cerita wanita malang di hadapannya.
Wanita itu mengangkat bahu. “Orang tuaku tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa aku bunting karena seorang pria menggagahiku di jalanan.”
“Kurang ajar!” seru si pria tiba-tiba, merasa geram. “Kenapa kau tidak melapor ke polisi?” Pertanyaan itu dihadiahi tawa sinis oleh tamunya.
“Tuan, kau punya banyak kenalan di pemerintahan, kan?” tukas wanita itu sembari melirik foto-foto yang terpajang di dinding dalam rumah dari jendela yang terbuka.
“Ya. Apa kau ingin aku menghubungi mereka, Nyonya?” tawar si pria.
Tawa sinis si wanita kembali. “Jika Tuan memiliki pengaruh sebesar itu, kenapa Tuan tinggal di pinggiran seperti ini? Menyibukkan diri dengan tanaman.”
Si pria mengangkat bahu. “Aku senang di sini. Lagi pula, untuk apa repot-repot pergi ke pusat kota jika bisa melakukan banyak hal dari sini?”
Si wanita berperut buncit mengangguk lalu bangkit dari kursi. “Kurasa, aku akan pergi sekarang, Tuan.”
“Tapi—”
“Tuan,” potong wanita itu, “malam kedua puluh tiga pada bulan September tahun lalu, di mana kau saat pukul sebelas malam?”
Si pria bermuka anjing tercenung, merasa heran dengan pertanyaan wanita di hadapannya yang tiba-tiba. “Aku tidak terlalu ingat,” ujarnya kemudian, menyadari tatapan tidak biasa wanita itu. “Temanku berkata dia menemukanku tertidur di jalanan dan membawaku pulang. Setelahnya, temanku itu sangat sibuk hingga aku lupa menanyakan bagaimana dia bisa menemukanku.”
Dan, begitulah, asal muasal wanita bunting di pekarangan. Aku harus menyimpan beberapa hal agar tetap menjadi misteri. Sebab, sedari awal semestinya ini memang rahasia.
Di belakang rumah si pria, terdapat pekarangan yang cukup luas. Berbagai pohon dan bunga ada di sana. Tanahnya tertutup rumput hijau yang subur dan terlihat seperti karpet, membentang menyelimuti tanah pekarangan. Terdapat kursi dan meja yang terbuat dari adukan semen dan pasir serta beberapa patung di beberapa titik pekarangan.
Pada satu sudut pekarangan, terdapat kolam ikan. Bunga teratai merah jambu tampak mengembang di permukaan airnya. Ikan beraneka rupa berenang-renang dengan cekatan. Dan, di tepi kolam itu terdapat patung dua ekor bangau.
Di sudut yang lain, tampak sebuah patung yang tidak biasa: patung wanita berperut buncit.(*)
Kaki Gunung Kelud, 14 Maret 2020
Mega Yohana, sesekali menulis, sesekali menyunting naskah.