Ingin Pulang

Ingin Pulang

Menjadi seseorang yang mencintaimu ternyata cukup sulit. Aku harus selalu jadi penyabar yang setegar batu karang demi menahan rindu yang setiap hari kian bergejolak. Kadang-kadang, aku harus selalu jadi pelupa, demi mengabaikan semua kenangan yang mendatangkan banjir air mata. Aku benar-benar ingin bertemu. Sungguh, aku ingin segera pulang. Pulang dan kembali bersua denganmu. Seperti dulu.

***

Petang telah berlalu dan malam menjelang. Aku berusaha terpejam dan siap-siap untuk menemuimu di dalam semu, semoga.

Ya, akhir-akhir ini, kita sering berbicara lewat mimpi. Namun, entah kenapa, yang kita bicarakan hampir selalu berujung pertengkaran. Tentu saja itu bukan salahmu, karena segala sesuatu yang muncul lewat bunga tidur dan jika isinya sesuatu hal yang buruk, maka, tentu saja itu salahku.

Aku terlalu lelah berkutat dengan pekerjaan yang kulakukan dan hal-hal yang tidak penting lainnya. Aku terlalu lelah dan berharap dapat mendapat sebuah pencerahan darimu, tapi yang kudapat darimu hanyalah amarah. Omelan-omelan cerewet yang membuat gatal telinga. Sama seperti dulu.

“Kenapa tadi tidak pakai jaket? Kamu kedinginan!”

Aku hanya bisa diam.

“Kalau lapar, kamu harus makan. Jangan ditahan.”

Aku masih diam.

“Kamu ini dengar atau tidak?”

Aku mengangguk. “Iya, aku dengar. Aku tidak tuli.”

Percakapan semacam itu selalu terjadi jika aku benar-benar mengabaikan perhatianmu seharian tadi. Pembicaraan yang seperti itu, diam-diam memang juga selalu kuinginkan tercipta. Jadi, sebenarnya, aku memang sengaja membiarkan diri ini kehujanan, hehe.

Aku sampai menggigil dalam tidurku sendiri. Melihatmu, menggenggam tanganmu, mendengar setiap kata-katamu. Sungguh, aku berharap hari itu akan tiba. Hari di mana kepulanganku akan menuai suka cita karena pada akhirnya akan bertemu.

Dini hari, mata ini terbuka. Aku bingung antara salat malam atau merokok. Ya, lelaki sepertiku, katamu sedikit bengal. Aku selalu mencuri kesempatan.

Kuputuskan untuk salat malam demi membuat senyummu mengembang. Aku yakin, jika setelah salat dan aku kembali tertidur, maka aku akan kembali berbincang dengamu. Dan tentunya, diri ini akan mendapat pujian serta belaian darimu. Sebuah apresiasi karena telah melakukan sesuatu yang bagus.

***

Ada saat di mana aku akan melakukan pekerjaanku dengan bersemangat. Ketika aku ingat tentang betapa berharganya sebuah kepulangan. Ketika aku yakin, dirimu sedang menanti dengan senyum hangat.

Pernah suatu waktu, dulu, aku bekerja keras, siang dan malam. Beberapa hal pada akhirnya membuat diri ini lupa akan rumah. Tempat kita selalu mengukir cita dan cinta.

Aku menemukan perempuan lain. Perempuan yang tiba-tiba saja terasa sama berartinya seperti dirimu. Sama menyenangkannya, sama mencintaiku dengan tulus, sama memberikan perhatian begitu banyak. Pada saat itu, aku mulai melupakan rencana kembali padamu. Pulang selalu identik dengan kata nanti dan nanti.

Pernah, di sebuah malam yang kusesalkan, aku menelponmu. Aku membatalkan niat untuk pulang.

“Kamu sudah janji.”

“Maaf.”

Dan hanya terdengar isak tangis yang memilukan. Aku tahu, aku memahami. Pasti itu sakit. Aku bodoh, uang untuk ongkos pulang, sudah kubelikan hadiah untuk perempuan yang baru kukenal itu.

Di malam tersebut, aku jadi tidak bisa tidur. Aku jadi merasa sangat bersalah dan kemudian dengan hati menahan gengsi, aku kembali menelponmu. Pukul dua dini hari tepatnya.

“Maafkan aku.”

“Tidak apa-apa, kamu tidak bisa tidur, ya?”

Ah, kamu selalu tahu. Aku selalu malu.

“Iya.”

“Kembalilah. Paksakan untuk terpejam. Nanti, kamu bisa rencanakan hari lain untuk pulang.”

Setelahnya, aku jadi tenang. Aku akan kembali tertidur lelap seperti bayi. Sambil membayangkan senyumanmu.

Benar, semua kegundahan, kegelisahan, selalu dapat dipunahkan olehmu. Aku si pembuat kekacauan, pembuat hal-hal konyol, dan dirimu pelebur keburukan. Aku selalu menginginkan kebersamaan kita, sungguh.

***

Tidak ada yang bisa menghentikan segala sesuatu yang menyenangkan di saat masa muda tengah berlangsung. Aku tertawan oleh banyak perempuan selain dirimu. Juga saat pertama kali aku merokok, timbul sedikit rasa bersalah. Namun, selalu saja ada kalimat-kalimat pembenaran yang membela kesalahan yang kulakukan.

Puncaknya adalah pada sebuah keadaan yang benar-benar menjatuhkanku ….

Aku menyesal. Aku kebingungan. Aku ketakutan. Aku tidak percaya dengan apa yang telah kuperbuat. Dirimu juga sama tidak percayanya. Akan tetapi, ternyata aku memang harus menelan buah dari kesalahanku sendiri. Aku yang seharusnya menikmati kepahitan itu sendirian, tapi dirimu malah menelannya lebih banyak.

Maaf ….

Malam itu, aku tidak tahu tengah dirasuki oleh setan dari mana. Sungguh, kejadian itu adalah buntut dari kenakalan-kenakalanku sebelumnya. Aku mengabaikan petuahmu.

“Bu, maafkan aku.”

Dirimu terisak. Ya, sepertinya sangat sesak. Aku menunduk dalam-dalam. Sudah dapat dipastikan, setelah malam itu, aku tidak akan pulang ke rumah dalam waktu dekat.

“Tidak apa-apa, setiap manusia adalah murid sepanjang hidupnya. Jangan takut, teruslah belajar dari kesalahan. Jangan cemas, ibu akan menemuimu beberapa bulan sekali.”

Kalimat yang sedikit melegakan. Benar, itu sudah cukup bagiku. Saat itu, aku sedang tidak berpikir jernih. Namun, kalimatmu membuatku berupaya tetap berdiri dengan sisa kekuatan yang ada. Aku memang salah, tapi tidak seharusnya aku menyerah.

Katamu, kunjungan itu akan tiba beberapa bulan sekali. Nyatanya, hampir setiap bulan, bahkan pernah dua minggu sekali, dirimu datang.

Kunjungan pertama, dirimu masih sulit mengendalikan air mata. Aku juga. Kita saling menggenggam tangan sambil menangis. Entah menangisi apa. Mungkin keadaan yang menyedihkan? Atau karena kekecewaanmu yang besar terhadap diriku? Aku selalu bertanya-tanya dan tentu saja menyalahkan diri sendiri. Namun, lagi-lagi, dirimu, selalu menenangkanku.

“Tidak apa-apa. Jadilah anak yang baik. Lakukan semuanya dengan baik. Sabar dan jangan lupa salat malam.”

Aku mengangguk. Merasakan nyeri di tenggorokan karena menahan agar tangis ini tidak pecah lagi.

Kemudian, dirimu mengeluarkan beberapa buku, ada novel, buku agama, dan buku tulis serta pulpen. Aku tidak mengerti.

“Bacalah, kamu pasti akan sangat bosan. Dan ini, tulislah. Tuliskan apa saja. Perasaanmu, atau apapun. Pokoknya, kamu harus selalu ingat pada Tuhan dan harus selalu menjaga agar hati tetap kuat.”

Ah, betapa romantisnya dirimu, Bu. Bukan hanya makanan yang dikirim padaku. Bukan hanya fisikku yang diperhatikan. Akan tetapi, jiwa dan keyakinanku juga.

Segala sesuatunya terasa semakin membaik. Meskipun aku tidak bisa terus berada di sisimu, meskipun aku harus kehilangan banyak hal dan menerima banyak cacian, tapi dirimu tak pernah alpa mencintai, menyemangati, memberikan banyak upaya agar aku tetap mampu dan percaya bahwa semua ini ada hikmahnya.

Kunjungan kedua, ketiga, dan seterusnya, dirimu tampak lebih tegar. Aku lega. Aku juga sudah terbiasa dengan kegiatan dan pekerjaan di tempat itu. Meskipun kerap ada perselisihan dengan temanku yang lain, tapi tak apa. Semua sudah jadi bagian hari-hariku.

***

Di suatu malam ….

Sebuah pukulan mendarat di pipiku. Lelaki besar yang baru saja datang itu, tak henti memukul. Aku kewalahan meskipun mencoba melawan. Aku tidak takut padanya. Aku hanya takut, karena besoknya adalah hari di mana dirimu jadwal berkunjung. Aku takut dan bingung harus mengatakan apa padamu. Pasti, dirimu akan kembali menangis. Bagaimana ini?

Malam itu, aku menggigil. Memikirkan dirimu, merasakan luka, merasakan dingin. Segala sesuatu yang buruk di masa lalu kembali muncul dalam ingatan. Aku ingin menangis, tapi tertahan di tenggorokan.

“Jangan berisik!” teriak lelaki bertubuh besar itu. Aku menahan nyeri di sekujur tubuh. Menahan tangis yang yang terus saja mendesak ingin keluar.

Oh iya. Aku ingat kata-katamu.

“Tidak apa-apa. Jadilah anak yang baik. Lakukan semuanya dengan baik. Sabar dan jangan lupa salat malam.”

Maka aku memutuskan untuk meminta ijin, melakukan salat malam dan menangis dalam setiap ayat. Tuhan pasti memberiku kesempatan untuk jadi lebih baik. Benar, apapun yang terjadi, seperti katamu, keyakinan ini tidak boleh goyah.

Setelah selesai, aku bersandar. Duduk dan anganku melambung, menciptakan satu hari yang mungkin akan terjadi nanti. Hari di mana aku bisa pulang ke rumah dan menikmati waktu bersamamu sepuasnya.

Aku terlelap. Semakin jelas senyumanmu dalam bayangan. Rasanya, aku tidak ingin terbangun.

***

Seseorang yang kuharapkan, yaitu dirimu, tidak datang hari itu. Padahal aku sudah merangkai banyak alasan untuk menyamarkan perkelahianku dengan tahanan lain. Petugas berkali-kali mengatakan padaku bahwa ibu memang tidak membesuk. Aku memikirkan hal-hal yang lucu. Mungkin, Tuhan sedang baik padaku dan padamu. Karena jika dirimu melihat semua luka tubuhku, maka sudah dapat dipastikan kita akan menangis lagi. Seperti saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kantor polisi. Seperti saat pertama kali dirimu meraung-raung di depan banyak orang. Mengatakan aku pasti bukan pelakunya, memohon agar aku dibebaskan dan dirimu bahkan dengan mudahnya ingin menggantikanku menjalani hukuman.

Ah, semua kejadian itu membuat dada ini sesak. Aku mencoba berpikir positif. Mungkin, dirimu belum punya cukup uang untuk membeli makanan kesukaanku atau, dirimu memang sengaja ingin membuat rindu ini semakin menggunung. Iya, kan?

Aku kembali ke sel dan berkumpul bersama teman lain. Mereka melihatku dengan tatapan seperti mengejek.

“Dasar anak mama! Hahaha.”

Aku tak peduli dengan ucapannya dan lebih memilih tidur. Aku memang anakmu. Lalu, apa yang salah? Mereka hanya iri.

Mungkin, besok dirimu datang, pikirku saat itu. Ya, aku harus tidur lebih awal agar dapat terbangun dengan wajah segar.

Namun, ternyata, keesokan paginya adalah pagi yang sangat buruk dalam hidupku. Pukul sembilan, ada kunjungan untukku. Akan tetapi, yang datang bukanlah dirimu. Itu adalah Mbak Wulan. Seseorang yang hampir tak pernah menemuiku lagi sejak aku dihukum.

Ia datang dengan isak tangis dan caci maki. Aku sungguh tak ingin mendengar semua kata-katanya. Aku ingin berteriak kencang dan lari seperti orang gila.

“Ibu jatuh di kamar mandi! Ibu sekarang stroke dan tidak bisa berjalan!”

Aku diam. Seluruh tubuhku bergetar. Ini semua pasti tidaklah benar!

“Ini semua gara-gara kamu! Sebaiknya, kamu dipenjara saja selamanya. Kamu tidak usah pulang!”

Mbak Wulan pergi. Aku diam di tempat. Tidak tahu harus bagaimana. Sementara tangis ini sudah tak bisa dibendung lagi. Mulai hari itu, aku tidak mendapat kunjungan darimu lagi. Tidak ada kiriman masakan kesukaan dan novel atau buku agama lagi. Selama berbulan-bulan kemudian, bahkan hampir setahun, tidak ada yang datang berkunjung lagi. Bahkan seseorang yang kuharapkan datang, meskipun akan memarahiku habis-habisan, Mbak Wulan, tidak pernah muncul.

Aku tidak tahu kabarmu sama sekali. Aku seperti orang buta di tengah cahaya kepalsuan dunia.

Aku banyak melamun, sesekali membaca novel atau buku agama yang hampir kuhapal kalimat-kalimatnya. Aku sudah membacanya puluhan kali, Bu!

Setiap pekerjaan yang diberikan sipir, seperti mengepel lantai, membersihkan halaman, atau apa saja, tak lagi kulakukan dengan baik. Aku merasa hampa, tidak bisa bernapas. Aku ingin mati!

Aku ingin betemu denganmu. Meskipun rasanya tak akan sanggup melihatmu. Tak bisa berjalan? Itu kata Mbak Wulan. Benarkah itu gara-gara aku? Aku ingin dirimu yang menjawab pertanyaanku itu. Aku ingin jawaban!

Kepala ini pusing. Aku terduduk. Aku melihat buku tulis yang pernah ibu berikan. Benar, mungkin aku harus menulis agar bisa tetap teguh pada keyakinan. Agar bisa tetap berdiri menghadapi hari.

Aku menulis. Aku benar-benar menulis:

Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal. Maaf, aku menyesal.

Entah di kalimat ke berapa, aku mulai menangis. Benar, katamu. Setiap manusia adalah murid sepanjang hidup. Jadi, aku akan belajar dari kesalahan dan jadi anak yang baik. Aku akan menulis kalimat penyesalan dan tidak akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.

Aku terisak. Menarik napas panjang dan mulai menulis kalimat lain:

Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.

Aku semakin keras menangis. Dan tahanan satu selku merasa terganggu. Ia berteriak mengancam agar aku berhenti berisik atau dia akan memukulku. Aku tak peduli dan tetap menangis sambil menulis. Terus menangis dan kemudian tahanan itu mulai melayangkan pukulan. Sekali, dua kali, puluhan kali. Temanku yang lain melakukannya juga. Mereka memukul sambil mencaci maki dan tertawa. Aku mati rasa, Bu. Sebab perih ini, tak sebanding dengan perih menahan kerinduanku padamu. Aku bersumpah!

Penyiksaan itu berakhir saat dua petugas turun tangan. Aku dimasukkan ke dalam sel lain. Sendirian.

Sambil menahan perih di sekujur tubuh, aku kembali melanjutkan tangisan. Kumohon, datanglah, Bu. Kumohon ….

Dan pagi harinya, merupakan pagi yang membuatku benar-benar ingin meminum pembersih lantai atau meminta dua tahanan lain untuk mencekik leherku. Dirimu benar-benar tak akan pernah bisa kutemui lagi.

Mbak Wulan tidak datang. Pak RT yang datang. Ia menepuk pundakku pelan, sambil berucap, “Yang tabah, ibumu sudah pulang pada Yang Mahakuasa.”

Dengan segenap kesadaran yang tersisa, aku meraung memanggilmu. Mulai saat itu, pulang adalah lelucon mengerikan. Aku ingin pulang padamu, tapi dirimu memilih pulang pada Tuhan.

Aku merasa dikhianati oleh harapan dan rindu yang kutabung jauh-jauh hari. Berkali-kali dicabik takdir yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Namun, setiap kali aku mengatakan ingin mati, senyumu, bayangmu, kalimat-kalimatmu, selalu menarikku kembali untuk tetap bertahan.

“Manusia adalah murid sepanjang hidup.”

“Jadilah anak baik dan laksanakan salat malam.”

****

Pada akhirnya aku memang pulang ke rumah. Merasakan lantai dingin dan menatap meja makan. Meringkuk di kamar dan setiap pagi melihat kalender. Umurku semakin bertambah.

Aku masih selalu menggigil menahan rindu setiap malam. Dan kini, kerinduan itu semakin tumpah saja karena tak kunjung mendapat temu. Kerinduan itu mungkin sudah menggenangi seluruh jalan di muka bumi ini. Ibu pasti tahu itu. Iya, kan?

Tunggu aku, Bu. Tuhan akan memanggilku di waktu yang tepat. Dan ibu, akan mendapatiku sebagai anak baik. Semesta mungkin tidak menerimaku sebagai manusia, tapi dirimu akan selalu menyambutku seperti bayi yang tanpa dosa. Aku yakin!

~

Saat-saat seperti ini ….
Pintu t’lah terkunci
Lampu t’lah mati
Kuingin pulang
Tuk segera berjumpa
Denganmu ….

Waktu-waktu seperti ini ….
Di dalam selimut
Harapkan mimpi
Bayangan pulang
Tuk segera berjumpa
Denganmu ….

Kuingin kau tahu ….
Ku bergetar merindukanmu
Hingga pagi menjelang

Aaaa …

Sesaat mata terpejam
Tirai imaji membuka
Semakin ku terlelap
Semakin jelas hangat senyuman
Tak ingin terjaga sampai aku pulang

Sesaat mata terpejam
Bintang-bintang menari indah
Iringi langkahku rangkai mimpi yang semakin dalam
Tak ingin terjaga sampai aku pulang ….

(Ingin Pulang- Sheila On 7)

~

Tasik, 2019

Imas Hanifah Nurhasanah. Penyuka kelinci, kucing, dan jus alpukat. Penulis buku ‘Immortal Souls’ dan ‘SMA’ ini, suka jika dipanggil ‘Honey’. Kenal lebih dekat dengannya, di instagram: @hanifah_bidam atau akun facebooknya: Imas Hanifah N.

*gambar: pixabay

Leave a Reply