Sampai detik ini, entah mengapa setiap kali melihat seorang ayah yang menggendong, memeluk, bersedia direcoki, atau sedang bergurau dengan anaknya, selalu bikin aku baper. Bawaannya jadi ingin ikutan dipeluk, dipeluk bapaknya si bocah itu. Ehem!
Hal ini mengingatkanku pada kenangan beberapa tahun silam, ketika aku masih akrab dengan ingus dan debu. Kala itu, aku—sebagai satu-satunya perempuan dari sekian banyak saudara—menjadi anak kesayangan Bapak. Ini sih, kata Mas dan Adikku. Entah benar atau tidak, cuma mereka yang bisa menilai. Toh buktinya, betisku tak pernah luput dari sabetan ranting-ranting pagar tanaman ketika aku kedapatan berhujan-hujan ria di emperan rumah atau rame-rame menyumbat selokan bareng Mas dan Adik. Kadang juga dijewer ketika masuk semak-semak dan kebun tebu hanya untuk mencari jamur ketika musim penghujan. Tak jarang mesti dicencang(1) atau dikurung dalam kamar ketika kakiku tak pernah bisa berhenti keluyuran kala terik matahari menyengat. Dan yang paling parah, Bapak pernah mengancam tidak akan pernah lagi memberiku uang jajan, serta tidak mengizinkanku bersekolah dan mengaji ketika kedapatan merokok secara diam-diam pas kelas empat SD. Itu pun ambil rokok kobot(2) milik Bapak.
Sebagai bocah berusia sekitar sepuluh tahunan, kala itu aku tak takut dengan ancaman Bapak, justru sangat bersyukur jika memang iya, aku harus berhenti sekolah dan mengaji.
Maklum, bocah seumuran itu belum terlalu paham dengan manfaat pendidikan. Saat itu aku berpikir, sekolah dan mengaji hanya sebuah rutinitas yang terlalu banyak menyita waktu dan sangat membosankan. Mending aku ke sawah cari belut atau ke kali, jeguran.
Eh, di luar dugaan, ketika aku menyetujui untuk berhenti sekolah dan mengaji, Bapak justru marah besar.
Pertanyaannya: berhenti sekolah dan mengaji itu usulan siapa? Bapak, toh? Terus kenapa Bapak mesti marah ketika aku menyetujui usulannya?
Orang dewasa memang aneh, bukan?
Ketika aku beranjak remaja, aku menemukan jawaban tersebut dengan sendirinya. Coba saja kalau waktu itu Bapak benar-benar membiarkanku berhenti sekolah ketika kelas empat SD, bakal jadi apa aku sekarang? Nangkepin belut di sawah atau masih rutin jeguran di kali?
Jika itu terjadi, barangkali sekarang aku sudah menjadi ratu kepiting atau mermaid di kali. pemikiran yang sangat konyol, bukan? Iya, sangat-sangat konyol. Sekonyol kenapa waktu itu aku mesti mengendap-endap mencuri rokok kobot Bapak?
Sejatinya, aku mendapat porsi hukuman yang sama dengan Mas dan Adikku. Tapi, ya begitulah, mereka masih saja menganggapku sebagai anak emas, sementara Mas dan Adik tak lebih dari anak perak dan perunggu.
Cara pikir yang out of the box.
Anak emas, anak perak, anak perunggu … kenapa menyamakan manusia dengan piala?
Duh, Gusti … matur nuwun panjengan sampun meluruskan cara pikir Mas dan Adikku, sekarang. Jadi, ketika mereka sudah menjadi dewasa seperti saat ini, tak ada lagi istilah anak emas, anak perak, dan anak perunggu. Yang ada cuma anak Bapak-Ibuk. Titik!
Aku ingat, dulu, ketika badanku belum seberat sekarang—please, jangan tanya berapa berat badanku, yang pasti lebih berat daripada setengah kuintal beras–dan sebelum Bapak sesepuh saat ini, aku sering kali bergelantungan di punggung Bapak–seperti marsupilami–ketika beliau sembahyang. Meski sering dimarahi, tapi tak pernah merasa kapok. Saat Bapak sembahyang, merupakan momen yang paling ditunggu oleh kami—anak-anaknya. Tak jarang salah satu dari kami harus menangis karena berebut bergelantungan di punggung Bapak. Dalam hal ini, Adikku sudah pasti langganan menangis. Karena dia selalu kalah dengan Mas dan Mbaknya.
Sering aku njulungup(3) ketika Bapak sembahyang dan melakukan gerakan sujud. Bukannya jera, aku justru sesegera mungkin berdiri dan menunggangi punggung Bapak sebelum beliau kembali berdiri tegap. Ketika selesai sembahyang, kami langsung berebut duduk di pangkuan Bapak–beliau bersila, sedikit merapal wiridan dan do’a.
Entah kenapa, berebut seolah menjadi sesuatu yang sangat menggairahkan bagi kami. Padahal jika di luar ritual sembahyang, kami menjauh dari Bapak dan lebih memilih bermain bersama teman-teman, kucing atau cempe-cempe–anak-anak kambing. Bapak sengaja memelihara banyak anak kambing dan kucing demi menukar permintaan kami yang sampai kapan pun tak akan pernah beliau turuti, meski bisa: memelihara anak anjing. Sepertinya lucu jika memiliki anak anjing di rumah. Ah, tapi itu tak akan pernah terkabul hingga sekarang.
Karena panggilannya sering diabaikan, Bapak kesal, sehingga kerap terlontar kata-kata dari Bapak, “Nggak duwe kuping? Diceluk bolak-balik kok ra ngrungokne?”(4)
Punya kuping saja jarang menuruti wejangan Bapak, ndilalah … bagaimana kalau tak punya kuping? kami bisa lepas kendali.
Jarak rumah kami dan kebun Bapak sangat jauh. Sehingga tak jarang ketika panen tiba, Bapak mesti membawa dua bajong(5) untuk mengangkut hasil panen ke rumah. beliau memanggul sebuah tongkat di pundak yang masing-masing ujungnya diganduli bajong. Bajong bagian kiri terisi jagung atau singkong, sementara yang kanan terisi kami, anak-anaknya.
Sepanjang jalan menuju rumah yang menanjak dan lumayan jauh itu—terik pula–kami cekakak-cekikik karena girang bukan kepalang bisa naik bajong. Setiap Bapak melangkah, bajong naik turun seirama tambang pengaitnya, di pundak beliau. Kami sama sekali tak merasa prihatin pada penderitaan Bapak yang sudah ngos-ngosan sembari mengusap keringat menggunakan punggung tangannya.
Kurang durhaka apa aku dan saudara-saudaraku pada Bapak?
Benar-benar tak berperasaan, bukan?
Beruntung tak pernah terlontar kutukan dari ucapan beliau. Jika itu terjadi, arca kami bisa melengkapi Candi Sewu, berjajar dengan arca Roro Jonggrang.
Tapi ternyata kala itu banyak orang yang memaklumi perilaku kami karena menganggap kami masih bocah dan terlalu polos. Aku yakin, hal ini pula yang menyebabkan beberapa koruptor yang tertangkap tangan bertindak sok polos. Agar mereka bisa dimaklumi dan dimaafkan kesalahannya tanpa menjalani hukuman yang setimpal. Amazing!
“Maklum masih bocah. Cara pikirnya masih cetek. Yang mereka tahu hanya bersenang-senang. Entar kalo sudah dewasa, pasti akan mengerti dengan apa yang telah dilakukan bapaknya,” ucap para tetangga membesarkan hati Bapak.
Lantas bagaimana dengan sikap Bapak?
Tak perlu ditanya, tentu beliau sangat berbesar hati menerima keisengan para anaknya. Karena beliau yakin kelak ketika menua, tak ada tempat lain yang akan dituju, kecuali anak-anaknya. Lagi pula rasa sayang beliau pada kami yang terlalu besar, tak sampai hati Bapak membiarkan kami nangis kejer jika tak dituruti naik bajong.
Ketika berkunjung ke rumah Mbah—dari Ibuk—kami mesti berjalan kaki. Sebab, kala itu Bapak belum memiliki kendaraan kecuali sepeda jengki tinggalan masa Jepang. Sepeda itu maksimal bisa ditumpangi dua orang dewasa dan seorang bocah. Tentu saja kendaraan beroda dua itu tak akan muat untuk mengangkut kami sekeluarga sekaligus. Jadi, jalan kaki merupakan pilihan mutlak agar kami semua bisa sampai ke rumah Mbah sacara simultan. Lagi-lagi, jarak yang cukup jauh membuat Mas, aku, Adik tak mau jalan, lelah. Jalan tengahnya, adik mesti digendong Ibuk. Sementara aku dipanggul Bapak dan Mas bergelayut di punggungnya.
Aku berpikir, seandainya aku jadi Bapak, sepertinya aku akan memilih tak berkunjung ke rumah Mbah. Mending tidur di rumah daripada badan pegal-pegal karena mesti menggendong dua bocah dengan jarak sejauh hampir dua kilo meter. Boyok tugel, Rek!(6)
Dulu, ketika menjadi blantik(7) sapi, Bapak tak pernah lupa selalu membawa pulang cokelat dan anggur. Kenapa? Karena beliau tahu, bahwa aku doyan banget dengan cokelat dan anggur. Tapi ketika menginjak usia dewasa, aku malah suka duren. Apalagi durennya berberewok, beuh … bikin mata kelilipan. Pasti legit. Selegit cokelat. Uhuk!
Mengingat semua itu, kadang aku merasa terlalu kejam pada Bapak. Sebab di usia beliau yang semakin sepuh, aku malah menjauh. Kerap kali Bapak meminta agar aku pulang barang sejenak, sekadar melihat keadaan beliau, Ibuk, dan Mbah di kampung.
“Kalau masih ingin kerja, ntar balik lagi, Nduk. Asal sekarang temui bapak-ibuk dulu. Kami kangen.”
Tapi berkali-kali aku menolak dan mengulur waktu pulang dengan alasan ini-itu. Bukan apa-apa, sebab aku tahu bahwa keadaan di kampung tak memungkinkan bagiku untuk menghasilkan uang tanpa modal yang mencukupi.
Kadang juga aku terharu sekaligus terheran-heran melihat sikap Masku yang sekarang. Masku yang susah diatur, semaunya sendiri, kerap kali bikin onar dan selalu silang pendapat dengan Bapak, kini menjadi kalem dan anteng di rumah semenjak dirinya menjadi seorang Bapak. Hebat bukan main kan, Keponakan sulungku itu? Dia bisa menjinakkan keliaran Masku—yang bahkan Bapak pun hampir angkat tangan karena ulahnya. Aku jadi teringat kata-kata Mbah. Beliau pernah berujar bahwa ketika belum menikah dulu, Bapak juga seliar Masku. Tapi keliarannya mengikis seiring lahirnya sang putra pertama dan seterusnya.
Di lain cerita, tetanggaku dulu–dia seumuran Masku–pernah menjadi anak punk. kalian tahu ‘kan anak punk itu seperti apa? Bukan bermaksud mendeskreditkan mereka, tapi pada kenyataannya, para orangtua bakal geram jika anak-anaknya bergabung dalam kelompok-kelompok seperti itu. Karena memang tak jarang hidup mereka hanya luntang-lantung tanpa tujuan yang jelas, seolah tak memiliki masa depan. Anehnya, ketika dia menikah dan memiliki seorang putri, hidupnya berubah dong. dia tak lagi mengecat rambutnya dengan warna pink atau warna-warna mencolok lainnya. Juga melepas beberapa anting-anting yang bergelantungan di telinga, alis, hidung, lidah, dan bibirnya. Dia kini tak sungkan sembahyang di langgar. Alasan dia merubah kebiasaan lamanya sederhana: tak ingin sang putri kelak mengikuti jejak Bapaknya. Hanya itu!
Well, bisa disimpulkan bahwa kelahiran seorang anak bisa mengubah sikap liar dan keras seorang lelaki—meski tak semuanya, tapi mayoritas begitu. Tak jarang seorang pria yang dulunya sangat angkuh bisa berubah menjadi humanis ketika memiliki anak. Juga sebaliknya, pria yang sangat cuek, tiba-tiba menjadi sangat manis, hangat, dan perhatian jika itu menyangkut dengan putra-putrinya. Bahkan, mereka rela mengesampingkan dirinya dan memperioritaskan anak-ankanya demi melihat mereka bahagia.
Mengagumkan, bukan?
Cewek mana yang enggak baper melihat sikap cowok-cowok seperti ini?
Aku, sebagai perempuan … sangat menikmati pemandangan ketika seorang pria bersedia direcoki oleh anak-anaknya, serius. Bagiku, ini merupakan tontonan yang sangat unik, eksotis, dan legit. Setara dengan menonton para aktor berberewok sedang berlaga menjadi pemeran utama. Aku yakin, sangat-sangat yakin, akan banyak perempuan yang mengamini bahwa pesona cowok tak hanya dilihat dari lengannya yang kekar, bahunya yang lebar, dadanya yang bidang, perutnya yang six pack atau juga wajahnya yang tampan. Sebab sejatinya, pria yang bisa akrab dengan anak kecil, bersedia meluangkan waktu dan merendahkan egonya demi sang anak juga merupakan pesona tersendiri bagi para perempuan. Jika bukan karena fisiknya, kharisma seorang pria pasti bakal memancar dari sikapnya.(*)
Catatan kaki:
1. Dicencang: diikat kakinya. Para orangtua jaman dulu kerap menggunakan hukuman ini—selain dicekoki jamu—agar anaknya jera.
2. Kobot: kulit jagung. Yang dimaksud dengan rokok kobot adalah tembakau yang dilinting atau digulung menggunakan kulit jagung pilihan yang telah dikeringkan. Rokok semacam ini kerap ditemukan di desa-desa yang dekat dengan lahan pertanian, terutama para petani yang menanam jagung. Biasanya, yang masih setia dengan rokok semacam ini adalah orang-orang yang sudah sepuh. Bukan tak mengikuti perkembangan jaman, tetapi menurut mereka rokok semacam ini (rokok kobot) lebih nikmat daripada rokok yang dijual di toko-toko.
3. Njlungup: jatuh dengan pendaratan kepala terlebih dahulu.
4. Nggak duwe kuping, dicelok bolak-balik kok ra ngrungokne?: tak punya kuping, di panggil bolak balik kok enggak dengar?
5. Bajong: keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, hampir mirip dengan kemarang, tapi berbeda cara penggunaanya. Bisa difungsikan dengan cara dipukul dengan menyematkan tali atau tambang di sisi-sisinya. Dulu, sebelum semuanya serba menggunakan mesin seperti sekarang, para petani sering menggunakannya untuk menganggkut hasil panen. Terutama di daerah yang sulit di jangkau dengan alat pengangkut beroda seperti geledekan atau becak.
6. Boyok tugel, Rek!: punggung patah, Rek!
7. Blantik: pedagang rojo koyo (sapi,kerbau, kambing).
Uzwah Anna
Lahir, tumbuh, dan besar di pelosok kampung, di kabupaten Malang. Penyuka warna hitam, biru, dan hijau. Penikmat semilir angin, kudapan pemanja lidah, dan harum mekar bebungaan. Satu lagi, fans berat Werkudoro dan ketiga putranya: Ontorejo, Gatotkoco, dan Ontoseno.
Facebook: Uzwah Anna