Anak Tetangga

Anak Tetangga

Anak Tetangga
Oleh : Reza Agustin

Kepindahan kami dua bulan lalu masih menyisakan sisa-sisa perang dingin. Bahkan bendera putih itu masih terkibar. Lea—putri kami—yang mengawali perang dingin itu. Ia enggan menghabiskan makan, sering menyendiri, dan tentu saja tak sudi berbicara pada kami. Awalnya kami memang abai, tetapi pada akhirnya kami resah. Di usia lima tahun, Lea harusnya mulai masuk TK. Namun, rencana mendaftarkannya ke TK juga juga menemui kendala.

Ia menolak masuk TK karena dipisahkan dengan teman-teman PAUD-nya yang lama. Ia selalu memasang wajah sangar, lengkap dengan bibir yang mengerucut. Tak lupa dengan entakan kaki kesal dan mendengkus seperti orang dewasa. Suamiku sendiri juga sedikit-sedikit memahami “dendam” Lea pada kami, sehingga ia juga tak melakukan tindakan apa pun.

Selama satu setengah bulan, Lea menunjukkan sikap pembangkang dan liar. Namun, beberapa minggu ini ia agak luluh. Kendati malu-malu bercampur dengan ekspresi bersalah, ia akan tersenyum padaku. Setelah itu meminta diambilkan kukis cokelat yang selalu kusimpan dalam stoples. Ia akan mengambil dua keping dan membawanya ke halaman belakang. Melalui dinding bata yang berlubang itu, ia berbicara ceria. Seolah ada teman yang sedang ia ajak mengobrol. Lea akan mengakhiri obrolan hari itu dengan menyerahkan sekeping kukisnya lalu berlari kembali ke rumah.

Mungkinkah itu anak tetangga? Seingatku ada sepasang suami-istri dan tiga anaknya yang menempati rumah sebelah. Lea pun mengiyakan ketika aku bertanya.

“Iya, namanya Aulia. Dia anak Om Andri di rumah sebelah. Orangnya cantik, baik juga, Ma. Makanya Lea suka ngobrol sama dia.”

Oh, ternyata anak tetangga yang baik. Bergaul dengan Aulia membawa perubahan positif pada Lea. Anak baik sepertinya harus mendapat sedikit imbalan. Mungkin dengan begitu, Aulia dapat memperbaiki perilaku Nyonya Irma kepadaku melalui putrinya. Istri kedua Pak Andri itu tak pernah ramah kepada kami selama dua bulan ini padahal rumah kami hanya terhalang tembok.

Maka hari ini aku akan menghadiahkan sepiring kukis cokelat itu pada Aulia. Masih mengenakan celemek dan bau dapur, sepiring kukis hangat kubawa ke rumahnya. Namun, Bu Irma dan Pak Andri sedang pergi ke luar negeri. Hanya pembantunya yang menyambut kedatanganku dengan wajah semringah.

“Ini saya mau titip kukis ini buat Aulia, Bi,” ujarku lembut yang justru dihiadiahi pelototan wanita paruh baya itu.

“Dari mana Ibu tahu Aulia?” tanya wanita itu balik, penuh selidik.

“Dari anak saya, Bi. Tiap hari dia ajak anak saya ngobrol lewat lubang di tembok belakang.”

Wanita itu menatapku tajam. “Bu, Aulia itu sudah meninggal lama. Lima belas tahun yang lalu sejak kedatangan Nyonya Irma ke sini. Tembok belakang itu enggak terhubung sama rumah. Itu gudang penyimpanan buat boneka-boneka porselen Bu Irma.”

Jantungku seakan berhenti berdetak saat itu juga. Aku segera berlari pulang, mendapati Lea terkikik geli di depan tembok berlubang itu.

“Lea, Aulia itu enggak ada! Selama ini kamu bicara sama siapa?”

“Sama Aulia, Ma. Dia selama ini ada di sini, kok. Cuma, tubuhnya itu dilebur buat dijadiin boneka cantik. Di sana juga enggak cuma Aulia doang, kok. Ada Rachel, Martin, Lia, Indira, banyak lagi. Ini aku lagi kenalan sama mereka.”

Tawa melengking anak-anak yang terdengar samar itu membuatku ingin segera pindah lagi.

 

Reza Agustin lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Penggemar Webtoon dan Hallyu yang juga pecinta kucing. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram di @Reza_minnie, dan Wattpad di @reza_summ08.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply