Kaki Pengganti

Kaki Pengganti

Kaki Pengganti

Oleh : Cahaya Fadillah

 

Aku sadar, kecantikan bukan segalanya untuk mengalahkan sebuah hal bernama perselingkuhan. Menurutku, kenyamanan adalah hal nomor satu yang mungkin saja tidak didapat dari pasangan.

Hal pertama yang kulakukan saat mengetahui Mas Gibran selingkuh adalah diam. Aku bisa apa, jika dia memang sudah mulai tidak nyaman dengan keadaanku yang menggunakan kursi roda.

Bukan salahnya meminta perhatian lebih pada wanita lain yang bisa memberikan dia perhatian penuh tanpa dihalangi kursi roda sepertiku.

“Sudah makan, Mas?” Dengan cepat aku memutar kursi rodaku agar bisa menghadap Mas Gibran dengan sempurna saat ia memasuki rumah setelah lembur semalaman.

Aku tidak yakin kalau Mas Gibran lembur hingga pulang pagi seperti ini, hatiku mengatakan kalau ia menginap di luar. Tapi, aku masih mencoba pura-pura tidak tahu dan menganggap hal ini adalah benar-benar rutinitas kerja tanpa penyimpangan.

“Sudah,” jawabnya datar dan masuk kamar.

Seketika hatiku kosong saat itu juga. Tidak ada lagi kata mesra apalagi ciuman di kening seperti biasa. Lagi dan lagi aku hanya bisa menyalahkan takdir yang terlalu pintar mempermainkan diri, juga kedua kaki yang beku diam ditempatnya.

***

“Aku kehilangan kakiku, Mas. Keduanya sudah tidak ada.” Tangisku pecah saat mendapati kedua kakiku diam tidak bisa digerakkan.

Ruangan serba putih khas rumah sakit berhasil membuatku stres dan menangis sepanjang hari. Hatiku hancur berkeping saat mengingat hidupku yang seakan berhenti sampai di sini. Tidak ada lagi harapan untuk kembali bisa berjalan apalagi harapan untuk menjadi istri yang baik untuk suamiku sendiri.

Awalnya aku hanya bisa menangis dan Mas Gibran selalu memelukku tanpa berkata satu kata pun. Tapi, dengan pelukannya aku paham kalau hatinya juga sama hancurnya denganku. Dia tidak menangis, dia terlihat sangat tegar. Hal itu juga yang membuatku mampu bertahan hingga sekarang.

Kejadian dua tahun lalu memang membuat aku dan Mas Gibran shock berat. Salahku berlari menerjang keramaian demi menyelamatkan bocah kecil berusia satu tahun yang kurang pengawasan. Ibunya berterima kasih sambil berlinang air mata melihat anaknya kembali kepangkuan dengan selamat tidak kurang apa-apa. Sedangkan aku, harus kehilangan kedua kaki dan janin di dalam perutku. Rasanya menyakitkan, aku mampu menyelamatkan anak lain sedangkan anakku sendiri malah tidak bisa kuselamatkan.

“Mas kerja dulu, Ai. Assalamualaikum.” Suamiku berjalan menjauhi pintu depan tanpa ucapan selamat tinggal dan pelukan serta kecupan seperti dulu.

“Waalaikumsalam,” jawabku berlinang air mata.

Mungkin aku memang harus mengikhlaskan Mas Gibran bersama wanita lain. Jika mengurus diriku sendiri saja aku tidak bisa, bagaimana  bisa aku mengurus suamiku.

Pagi ini ia berangkat kerja tanpa setetes pun air membasahi tenggorokannya apalagi sarapan nasi goreng kesukaannya.

Berkali-kali mereka dari keluarga dan teman malah memojokkanku untuk segera berpisah. Mereka dengan sangat yakin Mas Gibran tidak akan lagi bisa mencintaiku seperti sedia kala dengan kekurangan yang kumiliki sekarang.

“Menjadi direktur bank dengan gaji di atas rata-rata untuk seorang wanita tidak akan bisa membuat suamimu bahagia, Ai. Saranku lepaskan saja Mas Gibran jika kamu benar mencintainya.” Arini sahabatku memberikan pendapat tentang pernikahan saat melihat tidak lagi ada kemesraan di rumah tanggaku.

“Tapi, Rin. Bukankah aku harus mempertahankan pernikahanku dengan sekuat tenaga? Aku masih bisa melayani Mas Gibran walaupun tidak bisa secepat dan sekuat dulu.” Sanggahku dengan berlinangan air mata.

“Apalagi yang mau kau hebatkan dalam hidupmu, Ai? Kau harus keluar dari pekerjaanmu dengan kondisi seperti ini. Lalu, hanya bisa diam di rumah menambah repot suamimu yang jelas-jelas sudah sibuk dengan pekerjaannya. Apa kau tidak merasa berdosa?”

Pendapat Arini memang ada benarnya. Kini aku hanyalah beban buat Mas Gibran. Tiga bulan sejak kejadian yang menimpaku, keluarga kecil ini merasa sangat hambar. Kukuatkan hati memohon agar diberi keikhlasan dari Allah untuk melepaskan Mas Gibran karena aku sangat mencintai suamiku.

Kumantapkan diri untuk bicara agar kami lebih baik berpisah walau sakit, hidupku sudah selsai. Tidak mungkin aku harus mengakhiri hidup Mas Gibran yang masih panjang.

Hingga saat itu tiba, kini kami duduk berhadapan dengan mata Mas Gibran yang masih saja sibuk dengan ponselnya.

“Mas, aku ingin bicara,” ucapku sambil merapal doa di dalam hati, agar kuat dan tidak menitikkan air mata lagi.

“Ya, bicara saja. Aku sambil balas email, ya.” Mas Gibran masih fokus pada pekerjaannya tanpa melihatku sedikit pun.

“Aku ingin kita pisah,” cicitku menahan perasaan.

Mas Gibran langsung berhenti dari kegiatannya dan memandangku dengan ekspresi terkejut.

“Kenapa? Apa ada yang salah?” Pertanyaan Mas Gibran seakan menutup mata pada pernikahan kami yang terasa hambar akhir-akhir ini.

“Aku tahu Mas sudah dekat dengan wanita lain sejak kaki mati. Tapi, hatiku tidak mati, Mas. Aku istrimu, aku paham kebutuhanmu yang tidak bisa kulakukan.”

“Apa maksudmu, Ai?” Wajah Mas Gibran nampak gusar kali ini.

“Mas miliki wanita lain bukan? Aku paham kondisiku, sudah kucoba untuk menjadi istri yang baik, tapi….”

“Tapi apa? Kamu menyerah dengan hubungan kita?”

Aku tidak menjawab, anggukanku yang kaku kurasa sudah membuat Mas Gibran paham akan maksudku.

Dengan sigap Mas Gibran memelukku. Tangisku pecah, aku meraung sejadi-jadinya.

“Aku mencintaimu, Mas. Sangat. Tapi kalau kekurangan yang aku miliki ini tidak mampu membuatmu bahagia aku pasrah. Aku rela melepasmu dengan dia agar kamu bahagia.”

“Siapa yang merasuki kepalamu agar kita berpisah?” Suara Mas Gibran meninggi.

“Sikapmu yang menjelaskan segalanya, aku … aku.” Tangisku memonopoli keadaan kali ini.

“Arini? Apa dia? Aku mencoba menahan karena dia sahabatmu, Ai. Tapi, kali ini aku sudah tidak bisa lagi. Dia selalu menyuruhku menceraikanmu, dia sahabatmu seakan musuh untuk keluarga kita. Aku tidak bisa keras karena dia wanita, terlebih dia sahabatmu. Tapi kali ini aku tidak bisa. Jangan sesekali pun kau berhubungan dengannya lagi. Ia mencoba menghancurkan kita. Ini perintah suami pada istrinya.” Dada Mas Gibran naik turun menahan amarah yang dipendam selama ini.

“Jadi?” Aku tergagap tidak mengerti keadaan ini.

“Ya, dia mencoba merayuku. Mungkin kamu menemukan pesan-pesannya di ponselku. Tapi, demi Allah, Ai. Aku tidak berselingkuh. Aku mencintaimu. Aku berusaha keras bekerja untuk mencarikanmu kaki yang baru.”

Bagai berada di mesin waktu. Tubuhku seperti kaku, tidak menyangka sahabat yang kusayangi berusaha mengambil suamiku dan memberi dukungan agar aku berpisah.

“Astaghfirullah, maafkan aku, Mas.” Isakku dalam pelukan suamiku.

“Jangan pernah ucapkan kata pisah. Aku berubah bukan tidak sayang padamu. Tapi, hingga saat ini aku hanya mencoba memahami cobaan Allah untukku. Mengambil calon anak kita dan mengambil kedua kaki istriku. Aku hanya tidak ingin terlihat lemah dan menangis di depanmu, Ai. Maafkan aku.” (*)

Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017.

Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply