Yang Datang di Minggu Pagi
Oleh : Evamuzy
Anak yatim piatu, hari Jumat, gratis.
Aku tertegun selesai membaca tulisan ini. Tulisan di papan berwarna putih dengan tinta hitam yang terlihat ditulis apa adanya. Hurufnya malah khas orang tempo dulu. Dipasang di keranjang kayu. Pria di sampingku yang mengambil gambar ini lewat ponselnya sewaktu salat Jumat di masjid dekat kantornya, lalu menunjukkan kepadaku saat ini. Kami tengah duduk di kursi kayu di teras rumahku. Berdampingan, dipisahkan meja kecil dengan tanaman hias di dalam pot. Semilir angin menuju sore hari, mengantarkan hawa sejuk bagi kami.
“Bapaknya jualan apa, A?”
“Balon, Neng. Bukan bapak-bapak lagi malah. Sudah kakek-kakek. Katanya, usianya 70 tahun lebih.”
Aku mengernyit, meletakkan novel berjudul Kembara Rindu karya Kang Abik–yang memang sudah kututup sejak pria ini datang–ke pangkuan demi menyimak ceritanya. “Aa tanya di mana tempat tinggalnya?”
“Beliau menyebutkan satu nama desa. Kampung apa, ya, tadi? Aa lupa. Kalau dari sini, ya, sekitar dua jam perjalanan dengan sepeda.”
“Anak-anaknya sudah berkeluarga semua pasti. Terus beliau tak mau membebani anak-anak, makanya tetap ingin bekerja seperti itu. Biasanya begitu, orangtua memang selalu begitu. Tak enak hati, sampai-sampai di usianya yang sudah renta pun tetap mau berusaha demi bertahan hidup,” kataku, ditutup dengan satu tarikan napas panjang. Merasa iba, tentu saja. Selalu saja sesak hati setiap mendengar kisah-kisah serupa.
“Beliau tidak punya anak, Neng.” Pria berkacamata ini berkata pelan. Jawabannya semakin menarik atensiku. Kutatap wajah pria ini untuk menyimaknya baik-baik. “Iya, kami sempat mengobrol sebentar, sebelum si Kakek lanjut jualan. Katanya, beliau tidak punya anak. Hidupnya cuma berdua dengan istrinya sampai tua. Istrinya masih hidup, tapi sekarang cuma bisa tiduran di ranjang. Beliau jualan balon untuk bertahan hidup dan berobat istrinya. Katanya lagi, daripada mengemis.” Pria ini menjeda sejenak, membetulkan posisi kacamatanya. “Beliau tidak akan melakukan itu selama kakinya masih bisa bergerak dan berjalan mencari rezeki,” sambungnya lagi.
Dadaku semakin sesak mendengarnya. Novel di pangkuan kuletakkan di meja, dekat dua gelas jus jeruk yang tersaji tak lama setelah pria ini duduk. “Lalu Aa beli balonnya, tidak? Atau kasih apa, gitu? ‘Kan, ini hari Jumat juga.”
Pria berlesung pipi yang sedari tadi bermuka serius saat bercerita, seketika meringis. Berubah rupa macam bocah laki-laki yang ketahuan makan permen adiknya. “Lupa, Neng.” Sudah kuduga. “Aa cuma kepikiran ambil gambar tulisannya, terus buru-buru kasih tunjuk ke Neng. Lagi pula, masa iya, Aa beli balon terus bawa sambil nyetir motor sampai sini?”
Geram. Tentu saja aku kesal. Dia sudah ditunjukkan jalan berpahala, malah tidak peka. Dikasih kode terang-terangan, malah disia-siakan. Dasar! “Aa, ‘kan, bisa beli balonnya terus dikasihkan ke anak-anak kecil di sekitar sana, atau kasih sedikit rezeki, gitu.” Aku menghirup udara dalam-dalam demi melerai kesal, lalu mengembuskannya kasar. “Terus setelah kasih tunjuk ke Neng, foto tulisan ini mau diposting ke media sosial demi banjir like, begitu?”
“Ya, tidak begitu, Neng. Aa cuma pengin kasih tunjuk ke Neng.”
“Sia-sia kalau ujungnya Aa tidak sedikit membantunya. Tidak berkesan buat Neng.”
“Jadi?” tanyanya sambil pasang wajah memelas. Jurus level bulu yang dia keluarkan tiap kali melakukan kesalahan. Tidak mempan.
“Jadi, Aa silakan lihatlah langit sudah mulai gelap. Daripada Aa pulang kehujanan, basah kuyup di jalan, berakhir sakit dan tidak bisa masuk kerja, jadi sebaiknya Aa ….”
“Doanya, kok, gitu banget.” Dia manyun kali ini. “Jadi, Neng usir Aa?”
“Neng sudah mengantuk. Terima kasih atas informasinya siang ini. Hati-hati di jalan, Aa.”
***
Aku gadis yang lahir dan besar di keluarga yang sederhana. Sesederhana rumah kami, perabotannya, kendaraannya, juga sederhana pesan yang selalu ditanamkan oleh Ayah dan Ibu.
“Jadi guru, Ibu,” jawabanku dulu. Di malam-malam sebelum kami sama-sama terlelap, saat tangan lembut Ibu mengusap-usap kepalaku supaya kantukku datang lebih cepat, saat lampu kamar sudah temaram, dan wanita ayu itu bertanya: Ingin jadi apa aku setelah besar nanti?
“Cita-cita yang sangat mulia. Jadilah ibu guru baik dan manfaat, Sayang,” begitu pesannya. Lagi-lagi sederhana, tetapi dalam maknanya.
“Jadi apa pun kamu di masa depan, yang terpenting adalah menjadi manfaat bagi yang lainnya. Berikan bahagia untuk orang sekitarmu dengan sekecil apa pun kemampuan yang kamu punya.”
Ini pesan almarhum Ayah. Tak pernah bosan laki-laki berhidung bangir itu mengatakan ini semasa hidupnya. Aku juga jadi berusaha untuk tak bosan mendengarnya. Pesan ini paling sering terdengar saat di ruang keluarga, saat aku tengah membaca buku-buku cerita, sementara dia bicara sambil khusyuk membolak-balik surat kabar harian. Sayangnya, aku menyandang gelar sarjana setelah setahun kepergiannya. Ayah tak sempat melihat gadis kecilnya tampak anggun dengan riasan wajah dan baju toga. Hanya aku, Ibu, dan Kakak yang tersenyum bangga di ruang wisuda saat itu. Sementara Ayah, tentu saja tersenyumnya di surga.
“Jangan ambil pensilku, Radit. Aku juga mau menulis.”
Suara anak perempuan bernama Fatma menyadarkanku dari lamunan. Aku segera melihat ke arahnya. Wajah manisnya cemberut, hampir menangis. Sementara tangannya saling tarik-menarik pensil dengan anak laki-laki berambut ikal di depannya. Radit. Bocah satu ini memang hobi sekali mengganggu teman.
“Ibu guru …,” rengek Fatma kepadaku, matanya mulai berkaca-kaca. Aku segera bangkit, mendekati mereka setelah mengambil satu pensil dari kotak alat tulis.
“Radit, kembalikan ke Fatma. Kalau kamu butuh pensil, ini pakai punya Ibu Guru.”
Tak butuh waktu lama, Radit menyerah. Bocah berkulit gelap dengan banyak bekas koreng di dagu dan sikunya itu meringis, lalu melepas pensil Fatma. Tangannya terulur menerima pensilku.
“Berhenti mengganggu temanmu, Dit. Teman-teman dan Ibu Guru tidak suka kamu begitu. Ya?” pesanku sambil menatap matanya yang sayu. Bocah laki-laki itu hanya meringis lagi, lalu kembali menggerakkan pensilnya di atas kertas. Kelas kembali tenang. Anak-anak lain yang tadi menyaksikan dengan berbagai ekspresi wajah, mulai kembali menyelesaikan tugas yang aku berikan.
Radit dan Fatma adalah dua dari sekian anak-anak yang menjadi siswa didikku di kelas sore. Ya, aku menyebutnya kelas sore karena diadakan di sore hari sepulang aku mengajar dari sekolah formal. Dan di pagi hari di hari Minggu.
Mereka ada dua belas anak, tetapi sore ini kurang dua. Wulan tidak datang, bapaknya yang strok masuk rumah sakit lagi. Satunya lagi Didi, tidak datang sore ini karena tengah menemani ibunya yang melahirkan adik kelima. Benar, dua belas anak itu adalah anak-anak putus sekolah yang aku temukan di lingkungan sekitar rumah dan tetangga desa.
Mereka datang dengan permasalahan yang berbeda, tetapi sewarna. Radit misalnya. Bocah usia kelas empat SD itu putus sekolah setelah ibunya meninggal dunia saat melahirkan adiknya. Ayahnya pergi selepas kematian istrinya, entah ke mana. Sampai sekarang dia tidak pernah kembali setelah pergi tiga tahun lalu. Radit hidup bersama pamannya yang seorang pemulung. Sehari-hari bocah ini juga kerjaannya mencari barang bekas untuk bertahan hidup. Aku bertemu dengannya saat sedang berdiri di depan restoran siap saji. Dia tengah mengorek tempat sampah dengan sebatang besi panjang. Sementara Fatma seorang yatim piatu dari bayi. Tinggal bersama kakek dan neneknya yang sudah renta.
Mereka anak-anak dengan usia yang berbeda. Kami belajar di ruang baca yang dulu selalu menjadi tempat favoritku dan Ayah.
Sebelum Maghrib tiba, dengan kaki-kaki kecilnya, mereka melangkah meninggalkan rumah. Berjalan sambil saling melempar canda khas anak-anak jalanan. Meninggalkanku yang kini memandangi bunga soka aneka warna yang ditanam Ibu di bawah pagar kayu halaman depan. Gerimis yang rajin datang empat hari ini, membuat bunga-bunga itu tumbuh segar dan siap mekar. Terlihat sangat cantik bernaungan warna senja. Menuntun hatiku untuk mengingat kembali dua belas anak yang baru saja pergi, dan tak lupa merapalkan doa terbaik kepada langit untuk mereka. Tak lupa doa untuk Ayah, Ibu yang kini tengah menunggu azan tiba, dan Kakak yang memilih mengabdi sebagai dokter di daerah terpencil sana. Pria tampan kebanggaan Ayah dan Ibu itu akan datang mencium tangan Ibu dan mengelus kepala adik satu-satunya ini setiap dua bulan sekali, bersama istri dan putri kecilnya.
Aku juga … tak lupa mendoakan pria berkacamata dan berlesung pipi itu. Eh, ngomong-ngomong, kok, dia tak ada kabar dua hari ini, ya? Masih mengambekkah? ‘Kan, harusnya aku yang marah ke dia?
***
“Tiga hari lagi Neng ulang tahun. Mau dapat kado apa? Sepatu baru buat berangkat ngajar?” Setelah dua setengah hari tak ada kabar, selepas Isya dia menelepon. Pria itu rindu rupanya, meski aku juga diam-diam menunggu pesannya.
“Sepatu Neng masih bagus,” jawabku sambil memangku sebuah buku baru yang dibeli minggu lalu. Aku tengah duduk di karpet ruang keluarga berhadapan dengan Ibu. Wanita itu sedari tadi tak lepas memperhatikan sambil tersenyum tipis.
“Kalau gitu tasnya yang ganti.” Seseorang di ujung telepon kembali bersuara.
“Tas Neng juga masih ada satu lagi yang belum dipakai. Mubazir.”
“Hmm, baju bagaimana?”
“Neng tidak mau numpuk baju. Tidak baik.”
“Ya udah. Aa nyerah.” Lalu benar, pria itu diam, tak bersuara beberapa detik.
“Bagaimana kalau balon?” usulku.
“Balon?”
“Iya. Balon yang dijual kakek-kakek yang Aa temui di masjid waktu itu.”
“Serius?”
“Neng serius. Neng bakal seneng banget kalau kado ulang tahunnya balon yang dibeli dari kakek itu. Bagaimana? Bisa?”
Tidak ada jawaban. Aku tahu, dia pasti ragu bisa menemukan kakek-kakek itu lagi. Aku tunggu lima menit, tetapi belum sampai selama itu, kudengar dia menjawab yakin. “Baik. Balon yang dibeli dari si Kakek, kado ulang tahun buat Neng.”
Ibu masih senyam-senyum. Pria yang baru saja menelepon bernama Iko. Kakak angkatan waktu kuliah dulu. Sekarang sudah bekerja sebagai pegawai di kantor dinas pemerintahan. Kami bertemu di sebuah organisasi kampus. Lalu di tahun ketiga saling mengenal, kami berkomitmen ke jenjang lebih serius setelah aku lulus dan bekerja.
Jadi, mari kita tunggu kado ulang tahun darinya tiga hari lagi.
***
Esok ulang tahunku. Entah sudah sampai mana usahanya menemukan si Kakek Penjual Balon. Pria berkacamata itu hanya mengisi kotak pesan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keseharian, seperti biasanya.
Tepat di hari ulang tahun, aku menunggunya bersama kado yang sudah dijanjikan. Namun sayangnya, sampai satu hari selesai, tidak ada apa-apa. Dia hanya mengucapkan doa lewat pesan singkat. Baiklah, mungkin pria ini tak seserius itu dengan janjinya. Lupakan.
Minggu pagi. Hujan yang turun sepanjang malam, menyisakan dingin dan bau khas tanah basah. Aku termenung menatap halaman yang indah oleh warna-warni bunga dari jendela kamar. Mengetuk-ngetuk kacanya yang berembun dan dingin. Saat tengah asyik melakukan aktivitas ini, aku melihat seorang pria tua yang berjalan menuntun sepeda, berhenti tepat di depan pagar. Di boncengan sepedanya ada sebuah keranjang kayu dan … tali-tali yang mengikat banyak sekali balon berbagai karakter: binatang-binatang lucu, bunga, sampai tokoh kartun favorit anak-anak.
Aku penasaran. Segera bangkit, lalu menuju keluar. Di pintu depan yang tengah dibuka Ibu, wanita itu juga menatapku dengan pandangan bertanya. Aku hanya mengangkat bahu. Melewat Ibu, lalu berjalan mendekati sang kakek yang kini tengah tersenyum ke arahku. Beliaukah kakek itu?
Tali-tali yang masih terikat di keranjang, dilepasnya, lalu diberikan kepadaku. Bersama dengan sepucuk surat yang dikeluarkan dari kantong baju usangnya.
Surat di tangan kubaca.
Maaf kadonya telat. Aku baru menemukan si kakek semalam. Dan tidak mungkin membawanya kemari untuk bukti saat itu juga. Jadi baru bisa pagi ini. Neng, masih bersedia menerima kadonya, ‘kan?
Aku tersenyum selepas membaca kalimat terakhirnya. Dari tempatku bergeming, terlihat sosok penulis surat yang tengah berdiri di seberang jalan sambil tersenyum dan mengangkat tangan. Kudekati dia, meninggalkan si Kakek yang masih berdiri di depan pagar.
Bukan ucapan terima kasih, apalagi kalimat-kalimat manis dan manja, tetapi … “Habis berapa ini, A?” tanyaku sambil memegang erat tali balon-balon yang jumlahnya sangat banyak. Rasanya seperti mau membawa tubuhku ikut terbang ke langit.
Pria berkulit kuning langsat itu menggaruk tengkuknya yang aku yakin bukan karena digigit nyamuk atau semut. Meringis sedikit lalu berkata, “Tidak sampai mengurangi uang tabungan buat melamar Neng, kok.”
Tentu saja aku tersenyum lagi mendengarnya. Berdehem ringan, kemudian memasang wajah semanis mungkin. “Neng anggap ini cicilan lamaran dari Aa, deh,” kataku malu-malu. Karena sekarang, saat aku meliriknya sekilas, pria di depanku ini tengah menatap dengan senyuman senang.
Radit, Fatma, dan teman-temannya datang. Setiap anak kuberikan satu jatah balon. Mereka menerimanya dengan riang. Seriang dan sebahagia aku saat ini. Saat hal kecil dan sederhana mampu membahagiakan orang sekitar. Sebab, aku setuju bahwa bahagia adalah ketika kita memberi kebahagiaan kepada orang lain.
Setelah ini, kami berencana menyambangi rumah Kakek untuk menjenguk Nenek dan berkenalan dengannya. (*)
Evamuzy, penyuka warna cokelat muda, pesawat terbang dan radio.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata