Gadis Berhati Pekat

Gadis Berhati Pekat

Gadis Berhati Pekat
Oleh : Erlyna

Rua, begitulah orang-orang memanggilnya. Gadis bertubuh tinggi semampai itu cantik bukan buatan. Matanya besar, senyumnya lebar dengan barisan gigi putih yang aduhai. Satu-satunya hal buruk yang ada padanya adalah hatinya. Gadis itu memiliki hati yang pekat. Lebih pekat dari genangan ampas kopi kepala desa yang sering pidato sambil bermimpi.

Pagi itu Rua berjalan sendiri menuju pasar. Di tengah perjalanan, ia berhenti sejenak. Dilihatnya seorang wanita hamil berjalan ke arahnya dengan wajah pucat. Kentara betul jika wanita itu sedang sekuat tenaga menahan sakit.

Sepi. Rua mengernyitkan dahi, lalu melanjutkan langkah seperti tidak pernah melihat apa-apa.

“Dik ….”
Wanita hamil itu memanggilnya dengan suara parau.

“Ya?”
Rua membalikkan badan, menatap wanita hamil di hadapan dengan pandangan datar.

“Bolehkah saya minta tolong? Tolong ….”

“Tidak! Maaf, saya sedang sibuk.”
Rua membalas cepat lalu bergegas pergi. Gadis jelita itu tidak peduli sama sekali saat matanya sekilas menatap darah merembes di antara kedua kaki sang wanita hamil.

“Tunggu, Dik ….”

Rua mempercepat langkah, berlari sambil menutup telinga. Gadis itu berlari menuju pohon beringin besar yang dijadikan pembatas antara kampung tempat tinggalnya dengan kampung sebelah. Gadis itu bersandar, tak lama lututnya lemas. Ia lalu berjongkok sambil terisak. Isak yang selalu membawanya pada kenangan paling jahanam yang selalu diingatnya.
***
Gelap. Ruangan ini benar-benar gelap. Seorang wanita terisak sambil memeluk bocah berkepang dua yang begitu tenang. Entah tidur, entah pingsan. Di luar, terdengar musik serta suara orang lalu-lalang dan bercakap-cakap. Mereka terdengar bersemangat, entah membicarakan apa.

“Bu ….”
Bocah dalam pelukan wanita itu tiba-tiba terjaga. Tangannya menggenggam erat saat menyadari sekitar yang gelap.

“Kita di mana, Bu?”

“Ssttt! Jangan berisik, Nak! Jangan sampai tamu undangan tahu kita di sini. Nanti Ayah marah. Pesta kelahiran adik tirimu bisa berantakan.”

“Kenapa kita harus bersembunyi di sini, Bu? Ini di mana?”

“Kita di dalam salah satu lemari, Nak.”

“Kenapa kita di sini?”

“Karena di sinilah tempat kita.”

Bocah itu tersentak. Telinga kecilnya bergetar pelan. Ada nada sedih bercampur kecewa yang baru saja didengarnya. Tiba-tiba gadis itu meraba saku celana, menggenggam gunting yang ada di sana.

Dengan tanpa dosa, gadis itu keluar dari tempat yang mengurungnya, lalu berjalan mendekati satu-satunya bayi yang ada di ruangan itu.

Ia hampir saja menghunuskan gunting dalam genggaman saat sebuah tangan menahannya erat-erat.

“Jangan, Nak. Ibu mohon ….”

***
“Aaa!”
Rua menjerit keras. Suaranya seolah-olah menyentuh langit, seperti berusaha membalas dendam masa lalu.

Sambil merogoh tasnya, Rua bangkit. Ditatapnya wanita hamil dari kejauhan. Tidak lama Rua berjalan mendekat, mulutnya menyunggingkan senyum penuh arti, sementara tangannya menggenggam sebuah benda tajam yang berkilauan.

 

Purworejo, 01 November 2019

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply