Tapi Aku Bukan  Orang Baik

Tapi Aku Bukan Orang Baik

Perkenalkan, aku Oba. Aku bukan orang baik. Akan tetapi, hampir semua orang di sekitar, selalu berkata bahwa aku adalah orang baik.

“Oba memang baik, dia jarang pergi main dan sering di rumah.”

“Oba itu, baik sekali. Ia jarang marah dan selalu membantu yang susah.”

“Oba itu baik. Dia tidak pernah mengeluh.”

“Oba itu bertanggung jawab orangnya. Buktinya, dia kerja keras sekali.”

“Ah, saya sangat kenal dengan Oba. Dia orang baik.”

Jujur saja, aku selalu ingin tertawa keras kalau orang-orang sudah membicarakan tentang diriku. Namun, aku hanya bisa terus tertawa dalam hati. Sementara wajah ini selalu mengulum senyum.

Mereka, yang selalu mengatakan aku ini orang baik tidak tahu saja seperti apa aku sebenarnya. Aku selalu bersikap baik, pun tidak selalu tulus. Kadang-kadang, aku mengharapkan balasan, pujian, bahkan pernah berharap bisa melakukan sebuah kenakalan agar orang-orang berhenti berpikir kalau aku ini orang baik.

Terdengar aneh memang. Di saat orang lain mungkin selalu berpikir kalau aku ini orang baik, aku sendiri merasa bahwa aku adalah orang yang buruk. Seandainya mereka tahu orang seperti apa aku ini ….

Mereka tidak tahu. Mungkin, tidak akan pernah tahu.

Dosa-dosa yang pernah kulakukan di masa lalu, kata-kata buruk dan kasar yang pernah terlontar dari mulut ini, kotoran-kotoran yang melekat di tubuh ini, tak pernah ada yang menyadari. Aku merasa orang-orang mulai berlebihan. Apakah aku harus membuat papan pengumuman atau tulisan di kening, bahwa aku bukan orang baik? Bahwa Oba ini, bukan orang baik!

“Oba, kamu melamun?”

Aku cukup terkejut. Perempuan bernama Yani itu tersenyum, mungkin terlihat lucu ketika aku sedang kaget.

“Yani, apa kamu merasa orang-orang di kantor itu berlebihan?” tanyaku to the point.

“Maksudmu?”

“Ya, bagaimana tentang promosiku jadi manajer, apa bos terlalu mengistimewakan? Apa nantinya orang-orang kantor akan iri?”

Yani tertawa terbahak, padahal yang kukatakan tadi itu adalah kekhawatiran. Bukan sebuah lelucon.

“Oba, kamu ini. Semua orang di kantor mendukungmu. Memangnya siapa yang mengajukan promosimu? Kita semua yang selalu mendesak bos untuk melakukan itu, hihi. Ya, meskipun kadang keinginan kami ini hanya diselipkan pada gurauan-gurauan saja, tapi toh, nyatanya berhasil.”

“Tapi, Yan, aku merasa tak enak.”

“Sudahlah, rejeki itu, jangan ditolak. Orang lain mah susah mau diangkat jadi manajer. Mesti usaha berdarah-darah. Kamu loh, gak lama, langsung naik.”

Aku tersenyum, seperti biasanya. Meskipun di dalam hati, aku terus-menerus merasa tak enak.

“Makasih, Yan.”

“Sama-sama.”

Begitulah, sama halnya dengan Bu Devi, tetanggaku. Aku masih sangat ingat kejadian sebulan yang lalu. Aku tak sengaja menjatuhkan pot bunganya yang kutahu, harganya sampai dua juta. Katanya, pot bunga itu antik. Kalian tahu kalimat pertama yang ia lontarkan saat melihat pot bunga mahal kesayangannya jatuh ke lantai akibat senggolanku?

“Oba, apa kamu terluka? Ada yang tergores?”

Aku menggeleng cepat saat itu. Kemudian, jongkok, berusaha membereskan pecahan pot dan berkali-kali meminta maaf. Tak lupa, sebuah kalimat lain, kulontarkan.

“Bu Devi, saya akan ganti potnya. Saya tahu, ini pot kesayangan Ibu.”

Bu Devi menggeleng. “Tidak, Oba. Tidak perlu. Pot ini tidak penting jika dibandingkan dengan tangan dan kakimu itu. Benar tidak apa-apa, kan?”

Aku benar-benar heran!

“Tidak, Bu. Saya baik-baik saja.”

Setelah itu, Bu Devi malah menawariku makan. Ia sungguh baik dan aku masih merasa sangat bersalah. Sampai saat ini.

Selain Yani, orang-orang kantor dan Bu Devi, masih banyak lagi yang modelnya seperti mereka. Ada Wawan, penjual sayur, Mang Japri, tukang ojek, dan masih banyak lagi. Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Mereka sudah salah.

Kalau aku sudah merasa seperti ini, aku akan menelpon ibu. Sosok yang kutinggalkan jauh di kampung halaman. Kepadanya, aku sering bercerita perihal kebimbangan. Dan dia, selalu punya cara atau kata-kata yang membuatku kembali tenang.

“Halo, Bu.”

“Iya, Oba. Ada apa?”

“Oba tidak mengerti, Bu.”

“Tentang apa, Nak?”

“Tentang semua orang. Mereka, orang-orang di sekitar Oba selalu menganggap Oba ini orang baik.”

“Memang kamu orang baik, Oba. Kamu anak yang baik, anak ibu yang baik.”

“Seandainya mereka tahu, Bu.”

“Tahu tentang apa?”

Aku menarik napas panjang. Berjalan menuju cermin. Kulihat pantulan diri yang hanya mengenakan kaos dalam yang pendek. Beberapa tato terlihat di lengan kiri atas. Di punggungku, juga ada banyak.

“Oba?”

“Iya, Bu. Seandainya mereka tahu, dulu Oba ini seperti apa, mereka akan takut. Mereka akan menyebut Oba orang paling buruk. Mereka tidak tahu, Bu. Bahwa Oba pernah masuk penjara, bahwa Oba pernah jadi orang jahat.”

“Tidak, Sayang. Tidak begitu.”

“Pasti begitu, Bu.”

“Tidak. Mereka akan tetap menerimamu, Nak. Mereka akan tetap baik padamu.”

Aku bingung, tapi ibu tidak mungkin bohong.

“Kenapa begitu?”

“Karena, mereka tidak hidup di masa lalumu. Mereka hidup hari ini dan memikirkan kehidupan besoknya lagi. Mereka baik padamu, karena kamu sudah berubah, Oba. Maka tetaplah berbuat baik, tetaplah jadi orang baik. Kalau kamu mau ceritakan masa lalumu, silakan saja. Ibu yakin, mereka akan tetap menyebutmu orang baik.”

Percakapan kami berakhir setelah ibu mengalihkan pembicaraan. Ibu kemudian malah berbicara soal semur daging dan hal lainnya. Menggodaku untuk pulang.

Ah, jadi, apa benar aku ini orang baik? Tapi, aku bukan orang baik. Sungguh, bukan.

Tasikmalaya, 2020

Imas Hanifah N. Penyuka kucing, kelinci, jus alpukat, dan lagu galau. Kenal lebih dekat dengannya di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.

*gambar: pixabay

Leave a Reply