Ada dua sahabat lama yang tak pernah saya temui. Saya hanya mengenal mereka dari bisik-bisik. Bisik-bisik yang selalu mengusik. Bisik-bisik yang mengaduk-aduk isi hati dan kepala saya. Jika sahabat yang pertama terlalu alim, dan berbicara penuh kelembutan. Sahabat yang kedua sebaliknya, ia sangat nakal dan liar. Jika sahabat yang satu terlalu sering menjejali otak saya dengan dogma-dogma surga, sahabat yang satu lagi selalu menggoda dengan logika-logikanya yang menyesatkan namun terdengar menyakinkan. Jika yang satu berkata, “jangan!” Dan yang kedua dengan penuh semangat mengatakan, “ayo!”
Memang, keduanya selalu bergantian menyapa dan hadir begitu saja. Kadang di pagi hari, kadang saat malam baru bergulir. Namun kadang-kadang juga muncul tanpa diduga-duga, selalu mau tahu dan mengurusi urusan saya meski tak pernah saya suruh berbicara. Namun lucunya, mereka berdua yang cerewet, tidak pernah terdengar bercakap-cakap langsung dan itu membuat saya heran sekaligus bertanya-tanya. Namun pada akhirnya saya juga tahu, bahwa sebenarnya mereka saling mengenal, hanya saja tapi mau menyapa: Mungkin karena mereka sama-sama pandai.
Hubungan pertemanan kami memang boleh dibilang aneh. Saya, ia dan dia yang hanya mengenal lewat suara, tanpa pernah mengetahui bentuk wajah dan rupa. Namun jujur saya menyukainya, sebab ini sebuah bentuk persahabatan yang tulus dan unik. Tak ada yang pernah marah, tak pernah pula ada yang ngambek. Juga tak ada di antara kami yang pernah merasa kehilangan, saling membutuhkan, atau dibutuhkan (saya menyukai bentuk persahabatan seperti ini karena saya gampang tersinggung). Dan satu lagi yang membuat saya kagum: mereka berdua adalah pendebat ulung yang tidak pernah mau saling mengalah. Masing-masing saling memberi argumentasi yang menarik dan terbaik (tentu saja kebenaran-kebenaran versi mereka).
*
Pada sebuah malam tenang, di bawah cahaya bulan sedang yang bersinar keperakan, saat saya sedang bersama kekasih saya yang menawan. Tiba-tiba ada yang membisikkan sesuatu:
“Gadis itu cantik juga, ya … Beruntung banget kamu. Coba deh, kamu genggam hatinya dan buat ia percaya. Pasti ia akan memberikan apapun yang kamu pinta. Apapun. Apapun ….” ini ucapan teman saya si Nakal.
Hmm … hidung saya mendadak kembang kempis dan jantung berdegup lebih kencang, membayangkan sesuatu yang asyik-asyik.
Namun teman saya yang satu lagi, tiba-tiba “comel” membuyarkan hayalan saya.
“Sungguh malang gadis ini. Di balik kecantikannya, ada tersimpan kesepian, juga kesedihan yang mendalam. Sunting dia dalam sebuah ikatan yang suci. Aku pikir dia mau diajak berumah-tangga. Buatlah ia bahagia. Apa kamu juga tidak ingin bahagia?”
Saya diam. Saya mempunyai pendapat yang berbeda. Tidak perlu mendengar ucapan ia, atau juga dia ….
Kemudian saya mendekati gadis itu dan mengeluarkan rayuan-rayuan memabukkan yang sederas hujan, dan mencoba melihat reaksinya dengan cara menatap kedua bola matanya yang indah. Hmmh, ada sesuatu di sana … Lalu saya mencoba mencium bibirnya. Ia diam; tidak menolak, tidak juga melarang, hanya matanya yang memejam dalam, seolah mengatakan: “Ayo, cium aku. Cium aku ….” Namun tiba-tiba kembali ada yang “nimbrung” dan menyemangati:
“ Ayo, Bro … hajar. Enak kan!” Saya menelan ludah sambil memandang ke sekitar untuk memastikan, tak akan ada orang yang melihat. Saya mulai menciumi bibirnya kembali, dan terus memberikan hujan ciuman, seolah esok tak pernah datang lagi.
Sebagai lelaki yang sering jatuh bangun dalam cinta, saya tahu: berciuman dan bercumbu dengan seorang perempuan adalah saat-saat terbaik yang selalu diingat, suatu hari kelak. Lain waktu cinta memang bisa berubah, dan lain waktu cinta rasanya tak akan pernah sama. Jadi nikmati saja cinta yang sedang singgah. Anggap saja itu sebuah kebaikan dan keajaiban yang sedang diberikan Tuhan dengan cuma-cuma.
Ternyata benar juga kata si Alim, gadis itu memang terlalu mudah percaya. Ia bahkan tidak pernah melarang tangan saya yang bergerak lincah, membuka seluruh kancing bajunya ….
***
Esok hari di lain waktu (lupakan soal gadis itu, ternyata kami memang tidak berjodoh, lagipula saya sedang malas menjelaskan sebab-musababnya), mendadak saya mempunyai uang yang nilainya lumayan besar untuk sebulan makan. Mungkin Tuhan-sekali lagi-sedang berbaik-hati kepada saya. Tiba-tiba, datanglah seorang sahabat baik. Sahabat yang selalu bermurah hati meminjamkan uangnya kala sedang kesusahan. Kali ini ia datang dengan wajahnya yang sangat muram.
“Leo, kamu punya uang nggak? Istriku mau melahirkan. Kata dokter, persalinan bayi kami terlalu beresiko, jadi harus diambil “tindakan” segera. Uangku nggak cukup. Tolong aku. dong, tolong banget ….” Ia memohon dengan wajah yang sangat memelas.
Ya, wajahnya memang terlihat sangat memelas, menyedihkan malah …. Mungkin ia kurang tidur karena banyak pikiran. Hati kecil saya terenyuh, sebagai orang kecil yang pernah tahu bagaimana rasanya ditimpa kesusahan.
“Berapa banyak kau butuh?” tanya saya. Ini ada sedikit rejeki. Barangkali bisa meringankan bebanmu ….”
“Tujuh jutaan, siang ini harus dibayar segera. Kalau tidak …” ia menundukkan kepala, menatap tanah sebelum menyelesaikan kata-katanya. Saya rasa ia sedang berpikir yang tidak-tidak. Betapa gugupnya ia.
Tiba-tiba ada yang “nyeletuk!”
“Ah, air mata buaya itu … Besok juga dia pasti lupa. Bukankah begitu kalau urusan “duit” kalau sama teman. Mending kamu beli handphone baru yang keren!”
Jujur, sebenarnya saya masih sedikit sakit hati. Pernah suatu hari saya melihatnya sedang berada di sebuah gerai ATM. Dari kejauhan, ia terlihat sedang memasukkan beberapa lembar uang berwarna merah muda ke dalam dompet. Dan di sore harinya saya pergi ke rumahnya untuk meminjam. Tidak banyak sih sebenarnya, hanya untuk membeli sebungkus rokok kretek. Namun jawabannya membuka kesal. “Enggak ada!” katanya. Tidakkah ia melihat bibir saya yang sebentar-sebentar “monyong” sebab belum mengisap sebatang rokok sedari pagi.
Awas kau, lain kali saya balas kepelitanmu ….
Ada seseorang yang menepuk-nepuk relung hati saya dengan lembut. Lalu ia mulai berbicara, suaranya terdengar sejuk. Ternyata ia, sahabat saya yang satunya: si Alim.
“Janganlah kamu suka berburuk sangka dengan temanmu. Mana tahu dia sedang kesusahan … atau mungkin ia juga sedang punya keperluan yang mendesak hingga tak dapat memberimu pinjaman. Apalagi kamu juga sering lupa membayar hutang-hutangmu kepadanya?
“Masih bagus, ia mengingat kamu sebagai temannya.”
Saya diam, saya rasa si Alim sangat benar. Jangan suka melihat dari kacamata milikmu sendiri, belum tentu benar, itu kesimpulan saya. Saya segera meraih pundak teman saya dan berkata, “Bangunlah, cepat habiskan kopimu. Ayo kita ambil uang. Bayarlah kapan-kapan, mungkin setelah kau punya kelebihan uang.
“Ayo, cepatlah! Istrimu sedang menunggu di sana dengan cemas.”
Teman baik tersebut segera memeluk tubuh saya dengan sangat erat. Ia sungguh tidak menyangka, saya yang biasanya selalu menderita kantong kering, saya yang biasanya selalu meminjam uang kepadanya, justru malah saya yang menjadi dewa penyelamatnya di hari ini.
“Terima kasih. Terima kasih. Kau telah menolongku. Kamu sebenar-benarnya seorang kawan. Mudah-mudahan Tuhan yang akan membalas semua kebaikanmu.”
Tetapi ada yang “ngedumel” di samping saya, dan jelas ini bukan si Alim.
“Aaaah, lugu sekali kau!” Jangan percaya air-matanya, besok-besok dia pasti lupa membayarnya.
“Jangan terlalu baik jadi orang.
“Jangan naif. Hidup itu keras!”
Saya diam dan berpura-pura tidak mendengarkan. Namun ia terus menyerocos:
“Hei, dengar kawan.
“Hei, dengar orang bodoh, eh—orang pintar.
“Hei …. Hei …. “
Dia terus mengingatkan, menggedor-gedor sisi hati saya yang lain.
Ah, masa bodoh, dalam hati saya. Biarlah Tuhan yang membayarnya. Tuhan tidak pernah ingkar janji dan saya percaya akan hal itu.
Pinggir Jakarta, 21-20-2020.
KarnaJayaTarigan, seorang penulis pemula yang sedang giat dengan cita-citanya: menjadi orang kaya.