Percakapan di Kursi Taman
Oleh : Erlyna
“Bagaimana kalau kita bertemu lagi di sini minggu depan?”
Yuan mengingat kembali obrolan dengan sahabat barunya, beberapa hari yang lalu. Sambil berkeliling, dipandanginya tiap sudut yang terlihat ramai. Hari Minggu sore, memang banyak sekali yang memutuskan untuk bersantai di satu-satunya taman kota kecil ini.
Yuan melangkah mendekati kursi berwarna cokelat yang menghadap tepat ke jalan raya. Senyumnya mengembang, teringat sosok yang akan segera ditemuinya.
Ketika baru saja menghempaskan pantat ke kursi besi itu, Yuan mendengar suara tangisan. Tidak jauh dari tempatnya, seorang anak kecil berkepang dua sedang merengek sambil menunjuk-nunjuk penjual balon. Sementara wanita yang bersamanya, berusaha keras membujuk dan mengajak bocah itu pergi.
“Kasihan. Dia pasti sangat menginginkan balon itu,” gumam Yuan pelan.
Yuan terus menatap dalam diam, sementara kepalanya berusaha keras mengingat sesuatu.
“Bu, belikan balon.”
“Gak! Ayo kita pulang.”
“Tapi, Bu! Aku mau balon.”
“Dasar bandel. Ibu bilang gak ya gak!”
“Tapi ….”
Dalam lamunannya, Yuan ingat betul. Saat itu Ibu lekas pergi meninggalkannya sendirian. Dia yang saat itu berusia lima tahun, akhirnya berlari menuju kursi berwarna cokelat di taman. Tangisnya pecah di sana.
“Hah! Aku dulu memang bandel. Yang kutahu hanya menangis dan tidak mau memahami keadaan. Ibu pasti kesulitan membesarkan anak yang sangat merepotkan.”
Yuan merutuk dirinya sambil membenamkan wajah ke telapak tangan.
“Hei! Apa yang kamu lakukan? Bergumam sendirian seperti itu.”
Yuan menoleh ke belakang. Dilihatnya sosok gadis bertubuh tinggi dengan senyum dan gigi gingsulnya yang khas. Penampilannya kian menarik dengan jaket dan celana hitam berbahan jin.
“Ya! Aku mulai gila karena terlalu lama menunggumu,” ucap Yuan sambil tertawa. Gadis berambut panjang itu mengerling dengan tatapan menggoda.
“Dasar kamu!”
Kay mengumpat pelan, lalu duduk di samping Yuan.
“Kay ….”
“Hmmm?”
“Apa kamu pernah merindukan keluargamu?”
“Ha?”
Kay terdiam sambil membuka mulut. Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan sensitif secara tiba-tiba.
“Entah kenapa, tiba-tiba aku merindukan Ibu,” ucap Yuan lirih.
“Bukankah kamu pernah cerita, kalau alasanmu pergi karena bosan mendengar omelannya?”
“Ya! Tapi ….”
Kay tersenyum, lalu memeluk Yuan. Gadis berpenampilan tomboi itu berusaha menguatkan sahabat yang baru dikenalnya tiga bulan lalu.
Tangis Yuan yang sejak tadi ditahan sepenuh tenaga, akhirnya tumpah. Pertahanan dirinya selalu runtuh tiap kali mengingat sang Ibu.
“Nak, ayo, pulang! Sudah hampir satu jam kamu menangis di sini. Penjual balonnya sudah pergi.”
Ibu yang tadi langsung berbalik arah, hanya terdiam saat melihat Yuan menangis.
“Gak mau! Pokoknya aku mau balon.”
“Penjualnya sudah pulang, Nak. Ayo, kita pulang juga.”
“Gak mau!”
“Tapi, penjual balonnya sudah gak ada.”
“Aku nggak mau pulang. Aku mau tidur di kursi ini!”
“Jangan. Kursi itu dingin.”
Terbayang kembali potongan percakapan yang membuat Yuan sedih dan semakin merasa bersalah.
Dalam pelukan Kay, tangis Yuan semakin menjadi-jadi. Diingat bagaimanapun, dirinya sejak dulu memang hanya menyusahkan Ibu. Padahal, wanita yang bekerja sebagai buruh cuci itu berjuang seorang diri, membesarkan Yuan sebaik mungkin.
Sejak Ayah pergi dan tidak pernah kembali lagi, Ibu selalu menjadi orang yang tidak pernah berhenti mengkhawatirkan Yuan. Yuan menyesal karena tidak memahami situasi sejak awal. Bahkan dia tak sampai memahami kasih sayang yang ditunjukkan padanya, ketika sang Ibu memutuskan mencari pekerjaan tambahan di malam hari. Demi bisa memenuhi keinginan-keinginan Yuan. Demi bisa melihat Yuan bahagia.
“Sudah merasa baikan?”
Setelah agak lama, Kay melepaskan pelukannya.
“Ya. Sedikit.”
Yuan menyeka sisa-sisa air mata yang membasahi pipinya.
“Jadi, kursi cokelat ini menyimpan banyak kenangan sejak kamu kecil, ya?”
“Iya,” balas Yuan sambil menatap kendaraan yang lalu-lalang.
“Yah! Nyatanya kursi ini bahkan tidak berubah pasca tragedi lima tahun lalu.”
“Maksud kamu, waktu bom bunuh diri itu?”
“Iya. Kamu tahu? Saat itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayah.”
Yuan menoleh, menatap Kay yang sedang menerawang sambil menepuk-nepuk kursi cokelat yang mereka duduki.
“Kay ….”
“Hmmm?”
“Kamu punya kenangan tentang kursi ini juga?” tanya Yuan menyelidik.
“Ah, gak. Hanya saja, waktu kecil aku sering ikut Ayah bekerja mengecat kursi, termasuk kursi taman ini.”
“Oh, begitu. Ayahmu pasti sangat keren.”
“Ah, gak juga. Tapi … ah. Ya, bagiku beliau terlihat keren, kadang-kadang.”
Kay menoleh, menatap Yuan sambil tersenyum. Senyum yang menyimpan banyak cerita.
“Kamu bisa berbagi cerita denganku jika mau.”
“Ayahku … ayahku seorang tunarungu. Itu sebabnya beliau menggantungkan hidupnya sebagai pekerja serabutan. Tidak tetap.”
Yuan meraih tangan Kay, lalu menggenggamnya erat-erat.
“Ayahmu pasti orang yang hebat,” ucap Yuan sambil tersenyum.
“Yuan.”
“Ya?”
“Dulu, aku pernah tidak mengakui ayahku sendiri.”
“Lo, kenapa?”
“Kenapa lagi? Tentu saja karena beliau cacat. Selain tunarungu, ayahku itu sangat kampungan. Aku bahkan sampai tidak punya teman waktu sekolah menengah pertama gara-gara Ayah. Hal itu benar-benar membuatku benci padanya.”
Yuan mendengarkan dalam diam. Dia membiarkan Kay menumpahkan segala beban penyesalan di dadanya. Sebab Yuan sendiri juga sedang bersusah payah menahan perasaannya. Perasaan menyesal yang terus menghantui karena pernah berpikir bahwa hidupnya akan jauh lebih baik tanpa sang Ibu.
“Itu sebabnya, sebelum masuk SMA, aku sudah memperingatkan Ayah untuk tidak menemuiku selama di sekolah sekali pun. Aku bahkan memutuskan tinggal di indekos dan meninggalkan Ayah sendirian. Aku benar-benar keterlaluan.”
Kay menyandarkan punggung ke kursi. Dia mulai terisak.
“Setiap orang tua pasti akan selalu memaafkan anaknya. Seperti apa pun perlakuan yang diterimanya.”
“Benarkah?”
Yuan mengangguk sambil tersenyum. Matanya tiba-tiba menerawang, menatap siluet-siluet orang lewat yang berkibar-kibar di hadapannya.
‘Ibu, aku benar, ‘kan? Tidak peduli bagaimana aku bertingkah. Tidak peduli bagaimana perlakuanku sejak dulu, Ibu akan selalu memaafkan aku, ‘kan?’
“Yuan. Terima kasih sudah mau berteman denganku. Sekarang aku tidak kesepian lagi.”
“Sama-sama.”
“Lalu, bolehkah aku bertanya satu hal?”
Kay mengubah posisi duduknya dan menatap Yuan. Kedua matanya seolah-olah sedang mencari tahu tentang sebuah teka-teki besar.
“Tentu.”
“Kalau aku jadi seperti ini karena telah meledakkan bom, bagaimana denganmu? Bagaimana caramu mati?”
Yuan hanya terdiam, sambil menatap bekas sayatan di pergelangan kirinya.
Purworejo, Februari 2020
Erlyna, perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata