Wanita Tua dan Pemuda Putus Asa
Oleh: Aisyahir
Ketika azan Subuh mulai berkumandang, Wanita Tua itu bangkit dari tempat tidur. Jalan terbungkuk-bungkuk menuju kamar mandi yang terletak di bagian dapur. Mencuci muka, menyikat giginya yang sudah hampir tercopot semua, lalu mengambil wudu. Wajahnya terlihat lelah, sesekali meringis menahan sakit di bagian punggung. Wanita Tua itu kembali melangkah menuju kamar, melaksanakan salat Subuh sebelum ketinggalan waktu.
Pagi hari kembali hadir. Pelan-pelan dia membuka pintu yang menghasilkan sedikit bunyi karena engselnya yang telah karatan. Rumah dan umurnya sudah sama-sama tua, tinggal menunggu waktu hingga pada akhirnya akan roboh dan menyatu dengan tanah.
Wanita Tua duduk di kursi kayu di teras rumah. Mengamati anak-anak yang sedang bermain cukup menghibur dirinya yang hanya bertemankan kesepian. Matanya kembali berair, saat dia kembali teringat akan kepergian putra serta menantunya ke kota. Andai saja dia bisa meninggalkan semua kenangan di rumah ini dan memilih ikut bersama mereka, pastilah hidupnya yang sudah mencapai usia senja tak sehening ini.
Perlahan dia bangkit. Berjalan menuju pasar yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia harus membeli beberapa bahan dapur yang telah habis. Walau punggung dan lututnya terasa begitu nyeri, dia tetap harus pergi. Bisa saja dia menyuruh anak-anak tadi, hanya saja, dia tak ingin dibodohi lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Usai membeli barang yang banyaknya sampai satu kantongan penuh. Wanita Tua kembali berjalan pulang. Namun, baru beberapa langkah keluar dari area pasar, dia melupakan sesuatu: jalan pulang. Dia terlihat bingung di antara orang-orang yang lalu-lalang. Sesekali membenarkan kacamata ukuran miliknya yang hendak terjatuh. Penyakit demensianya kambuh lagi, selalu seperti ini, tak kenal waktu dan tempat.
Sinar matahari semakin menyengat kulitnya yang tak lagi kencang. Dia mulai bertanya-tanya pada siapa saja yang ditemuinya. Namun hanya gelengan yang dia dapatkan, atau barangkali memang tidak ada yang peduli pada Wanita Tua itu dan lebih peduli pada aktivitas mereka. Hingga pada akhirnya dia menemukan seseorang yang memberinya tatapan kosong. Wajahnya tampak murung, bajunya lusuh, serta rambut ikal yang berantakan.
“Nak? Kamu tahu rumah saya? Tolong antar saya pulang,” pinta Wanita Tua dengan memelas. Pemuda itu diam tak bergeming. Menatap sesaat lalu melangkah pergi. Mungkin menurutnya Wanita Tua itu sudah gila. Mana ada orang yang lupa di mana rumahnya sendiri? Wanita Tua tampak begitu sedih, mencoba mengingat kembali di mana rumahnya, jalan mana yang harus dia lewati? Hingga pada akhirnya Pemuda itu berbalik. Ketika mendengar suara Wanita Tua yang berteriak parau.
Wanita Tua jatuh disenggol orang. Kacamata dan kantongannya ikut terjatuh, berserakan . Wanita Tua meringis menahan sakit, walau sudah dalam kondisi seperti ini tetap saja tak ada yang mau menolongnya. Pemuda itu berlari menolong Wanita Tua. Memberikan kacamatanya lalu memungut kembali isi dari kantongan tadi.
“Sini saya bantu, Nek,” kata Pemuda itu lalu membantu Wanita Tua berdiri kembali. Namun tak bisa berdiri dengan tegak, lutut dan punggungnya sudah semakin nyeri saja.
“Punggung saya sakit, lutut saya juga sulit digerakkan. Padahal, saya sudah mengingat jalan pulang ke rumah,” ungkap Wanita Tua.
Pemuda itu menatap Wanita Tua dengan tatapan prihatin. Lalu kemudian membungkuk membelakangi Wanita Tua.
“Mari saya gendong, Nek. Silakan tunjukkan ke arah mana saya harus pergi.” Wanita tua terdiam. Berpikir sejenak.
“Nek? Cepatlah. Saya hanya ingin membantu.” Dengan ragu wanita tua naik ke punggung Pemuda itu. Lalu mulai menunjukkan arah yang harus Pemuda itu tuju.
Hingga tak lama akhirnya mereka sampai di sebuah rumah tua berdindingkan papan dari batang kelapa. Pemuda itu masuk ke dalam, di mana wanita tua masih ada dalam gendongannya. Perlahan dia turunkan Wanita Tua itu di kursi kayu yang terletak di bagian tengah rumah, lalu hendak pergi.
Tunggu dulu, Nak. Terima kasih karena telah membantu saya. Sekarang kamu hendak ke mana?”
Pemuda itu berbalik. Menatap wajah Wanita tua yang sudah dipenuhi kerutan itu sesaat.
“Entahlah, Nek. Saya Juga tidak tahu. Yang jelas, tidak kembali lagi ke rumah yang dulu.” Wajahnya terlihat gusar, khas seperti orang yang tertimpa banyak masalah.
“Tunggu sebentar. Saya akan buatkan sesuatu dulu,” kata wanita tua lalu berjalan sedikit memaksan diri ke dapur.
Pemuda itu menyusuri setiap inci rumah ini dengan pandangannya. Atap yang mulai bolong-bolong, dinding kayu yang mulai lapuk, lantai yang berdebu, langit-langit yang mulai dihiasi oleh jaring laba-laba, serta tempat tidur yang hanya dilapisi kasur tipis berukuran kecil. Mungkin itulah yang menyebabkan punggung Wanita Tua menjadi nyeri. Pemuda itu duduk di kursi kayu yang juga mulai lapuk, bahkan sudah tak lagi terlihat kokoh saat diduduki. Tak lama Wanita Tua itu datang membawa nampan berisi segelas air dan sebungkus roti yang baru dia beli di warung kemarin, sebagai penganjal lapar di tengah malam atapun pagi hari.
“Di dapur tadi saya lupa ingin melakukan apa. Bahkan saya lupa ada kamu di sini, Nak. Tapi untunglah saya ingat sebentar, kalau saya ingin membuatkanmu sesuatu. Karena lupa menaruh penyaring teh di mana, jadinya saya bawa air putih saja,” jelasnya lalu memberikan nampan itu pada si Pemuda. Dengan ragu dia menerimanya. Wanita İua ikut duduk di kursi sebelah Pemuda. Mengamati Pemuda itu yang begitu lahapnya mengunyah roti serta meminum air putih yang diberikan tadi, tanpa ragu lagi.
“Sebenarnya kamu dari mana dan hendak ke mana, Nak? Pakaianmu pun tampak lusuh begini.”
Pemuda itu terdiam, menatap roti yang tinggal setengah itu dengan tatapan nanar. Kesedihan kembali melandanya, dia tertunduk. Umurnya masih cukup muda, masih kisaran dua puluh lima tahun. Pakaiannya seperti tak pernah diganti, bau badannya sedikit menyengat, bahkan sampai tercium oleh Wanita Tua yang hidungnya sudah tak sesensitif dulu.
“Ceritakanlah. Barangkali saya bisa membantumu. Saya memang sudah tua, sudah dekat dengan tanah. Tinggal menunggu ajal menyembut. Tapi, saya akan tetap mendengarkanmu. Walau pendengaran saya sudah tak setajam dulu.”
Pemuda itu menatap Wanita Tua lekat. Dia seperti sedang melihat nenek atau barangkali ibunya sendiri. Ketika semua orang membuangnya dan tak ingin mendengar apa pun lagi tentang dia, Wanita ini malah memberi dia makan dan ingin mendengar kisah pahitnya.
“Tidak perlu ragu, Nak. Ceritakanlah.”
Pemuda itu mengangguk perlahan. Kemudian mulai menceritakan semuanya, tentang apa saja yang telah dia alami hingga berakhir berjalan tak tentu arah di pasar tadi.
Tak banyak yang bisa Wanita Tua tangkap dari kisah si Pemuda. Hanya tentang Pemuda itu sebelumnya seorang pengusaha, namun, karena orang kepercayaannya malah melakukan penyelewengan di perusahaan dan hilang begitu saja membuatnya bangkrut dan harus menghadapi kenyataan yang ada. Bahkan kekasih yang selalu ada disaat dia sedang naik daun, ikut meninggalkan dia setelah harta itu habis terkikis untuk membayar hutang, dan pada akhirnya dia diombang-ambing oleh kehidupan dan hidup dalam keputusasaan. Bahkan dia sempat ingin bunuh diri saja dengan berdiri di rel kereta saat kereta api hendak lewat, untunglah masih ada orang yang menyelamatkannya. Dan entah bagaimana caranya, dia bisa sampai di tempat ini.
“Sungguh tak baiknya orang yang telah membuatmu hancur begini, Nak. Andai orang itu adalah putra saya, akan saya suruh dia bersimpuh di hadapanmu. Lalu, di mana kamu akan tinggal?”
“Entahlah.”
Wanita tua tampak berpikir. Dia mengamati wajah Pemuda itu, teringat kembali dengan putranya yang entah berada di mana saat ini. Rasa rindu kembali menjalari hati dan pikirannya. Pemuda itu juga mengamati Wanita Tua. Ada rasa kasihan melihatnya yang hidup sendiri di rumah kumuh ini. Bahkan, dia tak punya satu pun tetangga. Hanya dikelilingi pohon serta halaman rumah yang cukup luas.
“Kamu bisa tinggal di sini saja. Setidaknya, jika saya mati nanti, ada yang menemani saya hingga mencapai ajal, dan yang paling penting, ada yang bakal melihat jasad saya. Hingga tak perlu tercium bau busuknya dulu baru dikunjungi orang,” kata Wanita Tua yang terdengar miris.
“Tapi, saya ini orang asing. Saya bahkan tak punya tujuan hidup.”
“Saya tidak mempermasalahkan hal itu. Lagipula kamu tidak memiliki arah tujuan sekarang. Kita sudah seperti orang yang terbuang. Maka dari itu, saya ingin kamu tinggal di sini. Kamu bisa mengolah sawah saya, atau barangkali memperbaiki rumah saya terlebih dahulu. Kalau hujan banyak air yang masuk,” jelas Wanita Tua mencoba menyakinkan.
Pemuda itu berpikir sesaat lalu mengangguk setuju. Mata yang sebelumnya dipenuhi keputusasaan kini berubah berkaca-kaca. Menatap Wanita Tua dengan penuh keharuan. Selama ini, dia tak pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga. Dari kecil dia hanya berada di bawah asuhan pamannya yang serakah, lalu merintis karir sendiri setelah dewasa, namun sayang tak berakhir manis.
Sejak hari itu, Pemuda Putus Asa mulai tinggal bersama Wanita Tua. Tak ada yang mengubris akan hal itu, atau barangkali memang tak ada yang peduli. Bagi warga, Wanita Tua itu hanya sebagai beban, walau sebenarnya tidak demikian. Keberadaannya berpengaruh bagi sebagian orang.
Rumah tuanya mulai direnovasi oleh si Pemuda, untuk beberapa hari, Pemuda itu menjelma sebagai tukang bangunan. Wanita Tua tak lagi bertemankan kesepian, ada Pemuda itu yang menjadi temannya. Dan keputusanya saat itu tidak salah, Pemuda ini adalah orang yang baik. Dia bahkan tak protes mengenai makanan yang dibuat oleh wanita tua yang jauh dari kata enak. Karena semakin tua, indra penciuman dan perasanya mulai tak berfungsi dengan baik, bahkan sudah dilanda penyakit demensia. Tubuhnya sangat akrab dengan penyakit. Dan Pemuda itu, bagai diberi gairah hidup kembali, dia tak lagi merasakan putus asa. Dia punya tujuan baru saat ini, berbakti pada wanita yang telah mengangkatnya dari keterpurukan. Dia memberinya kehidupan baru, bahkan menyuruhnya untuk kembali berbisnis kembali. Ternyata arah pijakan kakinya tak salah membawa si pemilik ke tempat yang seharusnya. Sesekali dia juga mendengarkan dengan khidmat keluhan Wanita Tua mengenai putranya yang sampai saat ini tak pernah datang berkunjung.
Hingga pada hari itu, ketika perpisahan itu mulai menyapa. Wanita Tua telah mencapai akhir dalam sisa hidupnya.
Saat itu, listrik sedang padam. Hujan sedang deras-derasnya di luar, kilatan petir tak ketinggalan mengiringi hujan, untunglah rumah mereka telah diperbaiki, hingga tak perlu khawatir dengan risiko yang ada.
Pemuda yang baru keluar dari kamar mandi tampak bingung saat melihat wanita tua tampak gelisah. Posisi tidurnya tidak tetap, seperti sedang merisaukan sesuatu. Belum lama menyamping, dia kembali telentang, dan begitu terus. Pemuda mendekat, merasakan hal yang tak biasa.
“Nek? Nenek kenapa? Perlu sesuatu? Atau perlu saya pijit, Nek?”
Wanita Tua masih tak tenang dengan posisi tidurnya. Dia tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi sangat sulit untuk melafalkannya. Hanya jari telunjuk yang terjulur seperti menunjuk sesuatu. Pemuda itu mengikuti arah yang dituju, di sebuah lemari yang berdiri kokoh tak jauh dari tempat tidur.
“Ada apa, Nek? Apa ada sesuatu di sana?”
“Di sana, ada surat. Sudah lama saya tulis, dan ingin saya tujukan pada putra saya di kota. Tolong kamu berikan itu padanya. Alamat tempat tinggalnya tertera di sana, bilang sama dia, jika itu surat terakhir dari wanita tua yang selalu menunggunya pulang,” ungkap wanita tua sedikit terbata-bata seperti orang sesak napas. Pemuda itu mengangguk. Lantas berdiri menuju lemari. Dan benar saja, ada amplop putih di sana, di sampulnya tertulis alamat yang harus dia tuju. Lantas dia berbalik, ingin menanyakan beberapa hal pada wanita tua, namun sayang, dia tak lagi mendapati sosok yang bernyawa. Saat itu juga, tangisnya pecah.
***
Bebarapa hari setelah kematian Wanita Tua–yang sempat heboh sesaat di desa, Pemuda itu lantas berangkat ke kota. Ingin memenuhi keinginan terakhir Wanita Tua. Tak terlalu sulit mencari alamat itu, pemiliknya cukup dikenal oleh penduduk sekitar. Hingga sampailah dia di sebuah rumah berukuran lumayan besar. Bercat putih dan berpagar tinggi.
Diketuknya pintu putih itu perlahan. Tak lama terbuka perlahan pula. Awalnya muncul gadis kecil berumur sepuluh tahunan, lalu disusul oleh lelaki paruh baya yang sangat dia kenal.
“Antoni! Jadi kamu orangnya!?” Lelaki yang disebut namanya tak kalah terkejut. Dialah orang kepercayaan yang telah menghiati si Pemuda Putus Asa yang kemudian bertemu dengan Wanita Tua.(*)
End.
Aisyahir. Gadis kelahiran 2001 yang saat ini sedang menekuni dunia literasi. Penyuka kucing dan sangat senang berada dalam keheningan. Ig: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata