Sumbang

Sumbang

Oleh : Mila Athar

Mendengarkan suara-suara dalam kepala yang kacau balau membuatnya seolah ingin menyakiti tubuh mulai dari kepala hingga kaki. Suara-suara sumbang penuh dengan pertanyaan, mengapa begini, mengapa begitu. Hidupnya memang secarut-marut itu. Ibarat makanan sampah habis acara kawinan yang diaduk jadi satu. Lalu, sekali lagi Ia hanya ingin mengulang kembali waktu yang telah berlalu dan memperbaikinya. Atau barang kali memberhentikan waktu barang sejenak. Namun nyatanya, hal itu hanya menjadi angannya.

Secarut marut apa hidup si Ia ini sebenarnya? Mungkin bisa dimulai ketika Ia masih kanak-kanak, atau usia kelas tiga sekolah dasar. Ia mulai tahu bagaimana cara menyakiti orang lain. Lewat Abahnya yang mungkin menempeleng ibunya hingga tak sadarkan diri. Atau lewat sosok anak laki-laki yang Ia panggil abang. Pulang dengan keadaan teler sempoyongan. Menggedor-gedor pintu lewat tengah malam dan menabrak meja hingga barang-barang yang berada di atasnya terguling berantakan. Laki-laki itu akan pulang dengan bau arak yang kecing tercium dari seluruh badan.

Lalu, Ia mulai mengenal apa itu sakit, badan seolah remuk tak bertulang. Pertama kali juga Ia melihat darahnya sendiri merembes tanpa henti dari pelipis kirinya. Saat Abah mengetahui, Emak pergi diam-diam di waktu matahari masih malu-malu mengintip di peraduan. Lalu, Ia yang menjadi mangsa empuk pelampiasan. Menghajar tubuhnya tanpa ampun, hingga babak belur seluruh badan. Dikira, Ia yang membantu Emaknya minggat dari gubug reyot berbau apak itu. Padahal, Ia sendiri termangu ketika tangan sang Emak menampiknya tanpa beban. Walau dengan berkeras, Ia juga segera menarik baju Emak. Memandang matanya penuh pengibaan. Dan lagi, tanpa ampun menyungkurkan tubuhnya ke tanah. Tak mau memandang wajahnya, membuat dadanya terasa sesak. Hingga, sekilas Ia melihat wanita itu berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Sampai di tengah temaram, punggung itu hilang di telan keremangan pagi.

Ia akhirnya harus tahan, mau tidak mau setiap hari mengurusi rumah berbau apak itu. Memasak bahan apa pun yang berada di situ. Walau sering tidak ada bahan apapun yang bisa dimasak. Setidaknya, Ia masih bisa memasak air. Kalau para lelaki itu pulang, mereka menghadiahinya dengan tendangan atau ludahan. Karena tidak ada satupun yang bisa diandalkan, Ia akhirnya memilih hidup di jalanan. Menjual bunyi gencrengan di mobil-mobil mewah penuh polesan.

Ia tidur beralas kardus di bawah jembatan. Berjubel dengan orang-orang yang berwajah kusam tanpa harapan. Setidaknya di sini, Ia tidak pernah lagi mendapatkan hadiah pukulan. Meski terbersit sedikit, ingin kembali ke rumah apak penuh kenangan. Ia segera menggeleng dan mengenyahkan pikiran jauh-jauh dari angan.

Dan lagi-lagi, seolah takdir belum puas bermain-main dengannya. Ketika Ia tengah lelap bermimpi tidur disebuah kasur empuk. Tubuhnya ditendang begitu keras. Sebelum sempat matanya sempurna terbuka, tubuhnya telah diseret menuju mobil berbak terbuka. Lelaki berseragam hijau pudar itu mencengkeram tangannya hingga membuatnya meringis.
Lalu, tanpa sempat berpikir mobil pick up telah membawanya pergi dari bawah jembatan. Ada tujuh orang termasuk dirinya yang berada di mobil. Mau dibawa kemana dirinya. Ingin Ia berteriak bertanya, namun Ia tak mampu.

“Sudah berapa kali kalian diperingati, untuk tidak menempati kawasan itu lagi. Mengapa masih saja membandel?”

Suara pria berseragam menghentak keras di keremangan pagi. Wajahnya yang legam menatap mereka dengan tatapan tajam. Mereka hanya mampu tertunduk tak berani menjawab. Ya, jika mereka diberi pilihan. Tentu tidur di bawah jembatan bukan pilihan yang menyenangkan. Setiap hari terpapar angin malam atau nyamuk menggigit sampai ke tulang. Lantas, mereka masih saja disalahkan?
Untuk orang-orang seperti mereka, hidup tidak menawarkan berbagai pilihan yang menyenangkan. Mereka setiap hari harus berjibaku dengan garangnya mentari dan memeluk debu-debu jalanan. Demi memperjuangkan perut di usus, agar tidak menjerit berisik.

Akhirnya, mereka bermalam di bangsal berukuran 4×4 meter beralaskan lantai dingin. Ia hanya menatap langit-langit ruangan bercat putih tersebut. Dadanya terasa terhimpit. Bibir sebelah kirinya terasa perih. Salah satu petugas menempelengnya ketika Ia melongo ketika ditanya. Walaupun telah dipaksa, Ia hanya mampu mengangguk atau menggeleng. Membuat petugas menjadi kesal. Ia melihat sekitar. Berjubel orang meringkuk, bau kecut, pesing, dan apak saling berebutan menyambangi indra. Panas ruangan, membuatnya semakin sulit memejamkan mata.

Ini permainan dan Tuhan sangat senang mengajaknya bermain dalam gelap. Atau kadang bermain dalam lumpur tempat berkubang kerbau. Satu saat Ia ingin mendapat giliran bermain di kubangan cokelat atau menari dalam lautan kasih sayang dari seseorang. Satu tekadnya, mungkin Ia harus kembali pulang. Meski tendangan dan pukulan yang akan menjadi makanannya sehari-hari. Tak apa, permainan menyenangkan pasti suatu saat akan menghampirinya. Ia meyakini itu.

Dan ternyata permainan menyenangkan itu masih sangat jauh. Tiga belas hari setelah Ia mendekam di tempat ini, ternyata Ia kembali ke ruangan berukuran 4×4 meter. Namun, di tempat yang berbeda. Kali ini tempatnya dihuni oleh beberapa orang laki-laki berseragam cokelat. Mereka tidak memukul, namun bisa mengeluarkan suara lengkingan yang memekakkan telinga. Mereka tak memaksanya menjawab, hanya menyuruh menuliskan dalam sebuah kertas buram dengan sebuah pulpen yang dijepitkan paksa diantara jempol dan telunjuknya. Ia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala tidak mampu menjawab. Saat ini kepalanya penuh dengan adegan dan suara-suara yang berputar terus seperti kaset rusak. Rumah apak itu, Abah, serta abangnya. Rumah. Abah. Abang. Dan satu lagi Emak. Wajah-wajah itu melompat di depan mukanya. Seolah ingin menerkam. Ia ingin menjerit, jiwanya seolah tercekik. Samar, sekilas orang-orang memandangnya dengan pandangan aneka rupa.

Ia sendiri tidak paham, di koran dan televisi saat ini sedang heboh tentang berita seorang gadis bisu telah membunuh Bapak dan kakak kandungnya sendiri.(*)

Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba mengurai aksara yang terserak di semesta.

Leave a Reply