Heimweh

Heimweh

Heimweh[*]

Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

 

Kamu hanya merasa bahwa berhubungan dengan pria yang telah lima tahun menikah itu salah; bahwa kendati telah bertahan dengan keadaan demikian amat lama, kamu tidak bisa menyangsikan banyak malam ketika kamu terbangun gelisah, merasa dihantui oleh cemoohan dan diskriminasi masyarakat. Kamu sudah mengalami hal ini berulang kali, tetapi ada kalanya kamu lelah dan ingin berubah menjadi “normal”, mengalah pada stereotip masyarakat, karena itu kamu pun menyerah: kamu mendaftarkan diri untuk mengikuti kencan buta di salah satu biro jodoh, menuliskan profil hidupmu yang sekiranya cukup pantas, seraya berharap kamu dapat menjalani kehidupan yang normal.

Namun, kebaikan kekasihmu selama ini, yang membebaskanmu dari keterpurukan, terus membayangi, sehingga pada kencan kedua, kamu malah beranjak seraya minta maaf, mengatakan bahwa kamu tidak bisa melanjutkan semua ini.

Di luar dugaan, pasangan kencanmu menghela napas, mengumpat, “Sialan, sudah kuduga semua tidak akan berjalan lancar.”

Kamu tertegun, lantas kembali meminta maaf padanya. Namun, dia malah mengibaskan tangan. “Tidak, tidak, ini bukan salahmu. Kamu sangat manis, harusnya aku menyadarinya.” Dia menyeruput kopi, kemudian menghela napas. “Karena ini pertemuan terakhir kita, jadi tidak masalah, ‘kan, kalau jujur tentang diri masing-masing?”

Di situlah, kamu mengetahui bahwa orang itu tengah berada dalam hubungan yang rumit dengan seseorang dari keluarga berada. Ada banyak masalah yang terjadi di antara mereka, dan dia lelah, berharap dapat menemukan kebahagiaan lain, yang sayangnya kandas beberapa menit lalu.

Saat itu, kamu akhirnya jujur pada statusmu saat itu—betapa menyedihkan, betapa menjijikkan, hingga kamu ingin menjadi orang normal saja. Dan, seketika, kalian berdua tertegun, menyadari betapa miripnya kisah hidup kalian. Lantas, kalian tertawa keras, saling menertawakan yang lain, hingga pada satu waktu diam. Saling menatap.

“Jadi, bagaimana jika kita lupakan perkataanku barusan dan menjadi teman?”

Saat itulah, kamu merasa tengah melihat refleksimu sendiri.

*

Ketika akan pergi ke kencan buta pertamamu, seraya berkaca, kamu berlatih menyiapkan sederet kebohongan untuk membuat citra baik pada pasangan kencanmu saat itu. Kamu perhatikan cara berjalan, cara duduk, serta intonasi berbicaramu; memastikan bahwa tidak ada yang cacat, dan kamu cukup menarik untuk mendapat kekasih baru. Kamu tahu itu sama saja berpura-pura, sama seperti yang selama ini kamu lakukan, tetapi kamu tidak peduli. Kamu sudah memutuskan untuk berubah.

Oleh karena itu, tentu kamu tidak menyangka akan bisa sejujur ini di kencan—haruskah kamu menyebutnya kencan?—ketiga dengan orang itu. Kamu tidak menyangka bisa dengan luwes membagi keburukanmu dengan orang lain, bahkan sesekali mempertanyakan serta menertawakan kekasihmu dengan orang itu. Kamu tentu tidak menduga bakal berkata dengan suara tenang, “Waktu kecil, aku pernah jadi korban pelecehan seksual.” Kamu meliriknya, yang kentara tenang, sebelum melanjutkan, “Itu berdampak buruk saat aku dewasa. Kenangan setraumatis itu sangat membekas sampai aku tidak bisa hidup dengan benar. Tapi, pria itu datang, dan berkata bahwa dia memahamiku; dia menerimaku. Dan, semua terjadi begitu saja.”

“Sudah kubilang, kita teman, ‘kan?” balasnya santai. Kelopak matanya turun. “Aku juga punya keluarga yang buruk, karena itu bisa menjadi seperti ini. Orang-orang lain, yang disebut jalang atau keparat oleh masyarakat, pasti memiliki masa lalu yang sedemikian rupa membentuk diri mereka seperti itu. Aku tidak berniat membenarkannya, karena, toh, kita salah dalam tolak ukur masyarakat, tapi itulah kenyataan: hidup memang sebajingan itu. Orang-orang tidak akan peduli dengan masa lalu, latar belakang, dan sebagainya. Mereka hanya ingin menerjemahkan apa yang mereka lihat.”

Kamu terdiam.

Dia memutar mata. “Jadi, karena kita sudah banyak membahas hal-hal memuakkan … bagaimana kalau kita bersenang-senang di pertemuan selanjutnya? Mall? Bioskop?”

Kamu tertawa kecil. “Oke. Mari bersenang-senang.”

Dan, pertemuan itu berlanjut. Mendekatkan kalian secara alamj. Entah karena memang merasa menemukan teman yang dapat mengerti satu sama lain, atau sebagai pelampiasan karena menjalani hubungan yang rumit dengan orang lain, kamu tidak tahu. Kamu tidak mau tahu.

“Menurutmu, bisakah kita terlepas dari semua kerumitan ini?” tanyamu satu waktu, ketika kekasihmu bertengkar hebat dengan istrinya sehingga tidak dapat menemuimu di malam Minggu.

“Kalau itu memang diperlukan,” jawabnya sok tidak peduli. “Hanya, pertanyaannya, kalau memang itu, anggaplah, panggilan hati kita, kita bisa apa? Kita hanya kabur untuk kembali. Itu membosankan.” Dia diam sejenak. “Kecuali, yah … itu memang diperlukan untuk benar-benar pulang pada takdir kita yang sebenarnya.”

Sebelum ini, kamu pernah bertemu dan bertukar pikiran dengan mereka yang bernasib sepertimu. Namun, orang itu berbeda: kamu merasa seperti pulang ke rumah dan dapat berbuat apa saja di dalamnya, seperti telanjang bulat dan memutari rumah seperti orang gila. Kamu merasa aman. Rasa aman yang terus bertambah di setiap pertemuan, hingga kamu merasa benar-benar sampai di rumahmu sendiri.

Lantas, di pertemuan kalian yang entah keberapa, kamu, lagi-lagi, melihat refleksimu dalam diri orang itu. Kamu merasakan debar yang sama, yang telah hilang setelah duniamu berubah hitam belasan tahun silam. Kamu mendekat, menjemput dirimu, dan napas kalian pun bertemu.

Kalian memutuskan menghitung bintang ketika kamu berkata pelan, “Kita … masih berteman, ‘kan?”

*

Ketika datang untuk melakukan kencan buta, kamu hanya mengharapkan hidup yang normal. Sesederhana itu.

Akan tetapi, setelah bertemu dengan orang itu, lambat laun kamu menyadari bahwa kamu ingin dicintai—kamu ingin mencari seseorang di luar sana yang dapat memahamimu, yang sanggup menjadi tempatmu berkaca, menyadari bahwa kamu tidak sendirian. Kamu hanya ingin mencari “teman”. Dan, kamu menemukannya pada orang itu. Ini mengejutkan, bagaimana hal-hal dapat berubah tanpa diduga, sebagaimana mukjizat, tetapi kamu menerimanya begitu saja.

Jadi, usai kekasihmu pulang dari tugas luar kota, kamu lekas mengajaknya pergi ke mall, bersenang-senang, sebelum mengatakan bahwa kamu ingin putus. Dia tentu tersedak. Wajahnya memerah.

“Aku sudah memberikan banyak hal buatmu, dan kamu berkata akulah satu-satunya!”

Kamu tertawa kekanakan seraya berkata, “Jagalah sikapmu. Ini di ruang publik.”

Wajah kekasihmu—sekarang mantan kekasihmu—makin merah. Dia mengatur napas, lantas mendekat, meraup kerah kemejamu. “Katakan padaku, laki-laki mana yang membuatmu membuangku seperti ini, Berengsek!”

“Dia perempuan, sebagai informasi.” Dia bergeming, sedangkan kamu membayangkan orang itu, yang meski sikapnya cukup serampangan dan omongannya terbilang kasar untuk seorang perempuan, tapi mampu menuntunmu pulang. Pulang ke identitas aslimu. Mengingatnya, kamu pun menengadah, memandang mantan kekasihmu. “Aku, dalam diriku, hanya menginginkan hidup yang normal … aku pernah mengatakannya, saat kita pertama bertemu, ‘kan?” (*)

 

Ponorogo, 12 Desember 2019

 

[*] Rasa rindu pada rumah (tanah kelahiran)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply