Pestisida

Pestisida

Pestisida
Oleh: Aisyahir
Sudah beberapa bulan kemarau melanda desa kami. Banyak tanaman yang gagal panen akibatnya. Bahkan tanaman yang masih belum tumbuh dengan baik, ikut layuh karenanya. Para petani mulai resah, harga cabai serta kebutuhan dapur lainnya mulai melunjak, air sungai pun ikut terserut, menyisakan kekeringan di mana-mana. Sepertinya, musim hujan masih enggan untuk hadir.
“Kalau begini terus, hidup kita pasti akan semakin melarat. Hutang semakin bertambah, hingga para pegawai bank itu terus saja mendesak kita. Tanaman hampir semuanya gagal panen, hanya tinggal ladang cabai kita saja yang masih tersisa, itu pun sudah tak tumbuh subur, banyak hama yang membuatnya kerdil, semut pun tak ketinggalan menghabisi dedaunannya,” jelas bapak lalu menyeruput habis sisa kopinya yang masih tersisa dalam gelas.
“Mau bagaimana lagi, Pak. Ini sudah kehendak Allah. Bukan Cuma kita yang seperti ini, hampir semua orang di desa merasakan juga,” timpal ibu. Sangat jelas mata sayunya memancarkan rasa cemas yang teramat.
“Masalah hama di tanaman cabai kita. Besok Fahri akan ke pasar untuk membeli racun pembasmi hama, terutama untuk kalangan semut. In syaa Allah, semuanya akan kembali seperti semula,” ucapku mencoba mengurangi kesedihan bapak.
“Ya sudah. Besok pergilah. Jangan lupa beli yang berkualitas, walau mahal tapi tak mengecewakan. ” Aku hanya mengangguk patuh, lalu berjalan masuk ke rumah. Meninggalkan ibu dan bapak yang masih duduk di atas dipan depan rumah.
Ketika pagi hari kembali menyapa, aku sudah bergegas pergi ke pasar. Sedangkan bapak sendiri masih duduk santai menikmati kopi hitamnya. Hanya kopi, tanpa didampingi rokok, karena bapak alergi dengan tembakau. Sementara ibu masih sibuk berkutat di dapur.
“Pak, Fahri pergi dulu. Assalamua’laikum,” pamitku lalu menyalami bapak. Dengan segera bapak menyambut uluran tanganku setelah meletakkan gelas kopinya.
“Wa’alaikumsalam.”
Dengan pelan, aku mulai melangkah menuju tempat sepeda onthel-ku terparkir—di samping rumah. Mengendarainya, menuju pasar terdekat.
Sampai di pasar tua, aku mulai mendatangi tempat di mana aku selalu membeli keperluan bibit ataupun pestisida untuk tanaman. Memilih beberapa yang menurutku cukup cocok untuk digunakan dan harganya pun terjangkau.
“Mau beli apa, Ri?” Aku menoleh ke samping, kulihat Pak Harto ikut memilih.
“Mau beli pestisida, Pak. Tanaman cabai di ladang mulai terserang hama,” jawabku seraya membaca nama serta kegunaan bungkusan pestisida yang kupengangi.
“Kalau mau Bapak saranin. Lebih baik beli yang bubuk saja, selain bisa disemprotkan, juga bisa ditebar begitu saja di lantai atau di tanah. Bapak juga memakai jenis itu,” jelas Pak Harto seraya menyodorkanku sebungkus pestisida yang sepertinya memang sangat cocok untuk digunakan membasmi semut dan jajarannya. Aku menerimanya tanpa ragu, karena Pak Harto sudah cukup berpengalaman untuk kasus seperti ini.
“Wah, terima kasih atas sarannya, Pak. Jadi gak bingung jadinya,” kataku antusias. Ia hanya mengangguk sebagai balasannya.
Usai membayar tagihannya, aku langsung pulang ke rumah. Pasti bapak sudah menunggu, pikirku. Sampai di rumah, aku tak melihat kehadiran bapak yang biasanya duduk di atas dipan. Aku mulai melangkah masuk sembari membawa kantong pelastik yang berisikan pestisida yang telah kubeli. Terus berjalan ke dapur, untuk mempersiapkan peralatan alat semprotku. Bahkan aku pun tak melihat ibu yang biasanya berkutak di dapur. Hanya ada beberapa biji pisang yang tergeletak di lantai. İbu memang kurang mampu untuk merapikan sesuatu, pikirku.
Di dapur, aku sibuk berkutak dengan aktivitasku. Pestisida yang berbentuk bubuk warna putih menyerupai tepung itu, kutuang sedikit demi sedikit sesuai takaran yang tertera, lalu kutambahi air secukupnya. Aku sengaja menyiapkan semuanya di rumah, karena di ladang tak terdapat air yang cukup. Dan lebihnya, aku letakkan disembarang tempat. Nanti setelah pulang, akan aku hamburkan di sekitar dapur yang banyak dihuni oleh semut merah maupun hitam. Setelah semuanya telah selesai, barulah aku pergi ke ladang. Entah ke mana juga ibu pergi, dari tadi tak pernah muncul.
***
“Semprotannya kamu sama ratakan! Supaya bagian tanamannya tak ada yang tak kena!” teriak bapak sambil mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman cabai kami. Seingatku dalam ilmu muatan lokal, sebutannya adalah gulma–tumbuhan penganggu.
“Iya, Pak.” Aku masih terus mengerjakan tugasku. Menyemprotkan pestisida menggunakan alat semprot yang berada di punggungku. Hingga tak berselang lama pekerjaanku telah usai. Aku ikut duduk di samping bapak yang juga sedang beristirahat. Melepas penat di bawah sinaran matahari, sungguh gerah rasanya.
“Semoga saja, para hama itu tidak lagi menganggu tanaman kita. Dan yang paling penting, semoga hujan bisa cepat turun.”
“Aamiin, Pak,” balasku seraya menatap sekeliling. Bukan hanya kami yang berada di tempat ini, banyak para petani yang juga sedang mengelola lahannya, pun mereka yang sedang melakukan hal yang sama seperti kami.
Dari arah timur, tak sengaja mataku menangkap sosok ibu yang sedang berjalan ke arah kami seraya membawa rantang serta cerek plastik berikut dengan gelasnya. Ibu memang sangat pengertian untuk hal seperti ini, pikirku.
“Udah selesai, Ri, kerjanya?” tanya ibu sambil meletakkan barang bawaannya di depanku.
“Alhamdulillah, udah, Bu.”
“Ya sudah. Ini Ibu bawain kalian pisang goreng dan teh panas. Silakan nikmati. Tadinya ibu gak jadi bikin, untung saja masih ada tepung yang tersisa,” ucap ibu lalu membuka isi rantang serta menuangkan dua cangkir teh untukku dan bapak.
“Terima kasih, Bu. Dan kamu, Ri. Kalau nanti hendak menikah, carilah calon istri seperti ibumu, pengertian,” puji bapak. Ibu bahkan tersipu malu karena. Ah, betapa romantisnya pasangan ini, pikirku.
“Iya, Pak. Fahri pun berpikir demikian,” balasku. Ibu dan bapak hanya tertawa menanggapi.
Aku dan bapak mulai mencicipi pisang goreng buatan ibu. Tak seperti biasanya, rasa pisang goreng ibu sedikit berbeda. Semakin aku kunyah, semakin terasa kurang sedap. Namun aku hanya diam tak menanggapi. Sama seperti bapak yang tak suka mengomentari masakan ibu, terlebih lagi ibu sedang berpuasa hari ini, jadi tak perlu mengomentarinya. Bahkan sudah untung dibuatkan oleh ibu.
Namun, tiba-tiba saja. Tenggorokanku terasa tercekik, perutku terasa mual. Kujatuhkan pisang goreng yang tadi kupengang, lalu jatuh terbaring di tanah. Tak lama, cairan berbusa mulai keluar dari mulutku, mataku melotot, tenggorokanku semakin terasa sakit rasanya, bahkan aku sampai terbatuk-batuk. Kulihat bapak juga mengalami hal yang sama.
“Pak! Fahri! Kalian kenapa?” Kudengar ibu terus bertanya-tanya sembari berteriak minta tolong. Namun, tak ada satu pun di antara kami yang menjawab. Kesadaranku perlahan menghilang, hingga tak lagi bisa kurasakan apa-apa. Mengingat ibu yang buta huruf serta indra penciumannya yang lemah, membuatku berpikir untuk sesaat. Sepertinya, ibu sudah salah memakai tepung.
End.
Aisyahir. Lahir pada 25 september 2001. Pencinta warna peach dan abu-abu. Ig: Aisyahir_25.

Leave a Reply