Bulan Sabit itu Telah Hilang
Oleh: Aisyahir
Beberapa minggu yang lalu, kamu juga datang menghampiriku. Bersandar di dada bidangku sembari menumpahkan segala air mata serta keluh kesahmu. Namun kali ini, kamu datang dengan permasalahan yang berbeda. Jika dulu mengenai perihal ibumu yang ingin melanjutkan hidup dengan pasangan barunya, kali ini kamu datang mengenai perihal kematian ibumu yang baru dikebumikan siang tadi. Untuk yang kedua kalinya, aku melihatmu terpuruk seperti ini. Wajah rupawanmu tampak tak segar, matamu sembab, hidungmu berair, dan bibirmu tak lagi menampakkan bulan sabit di sana. Rasanya aku ikut merasakan kepedihanmu. Sebagai calon pendamping hidupmu, tentu aku cukup tahu akan perasaanmu saat ini. Namun bagaimana aku harus membantumu? Ini tak seperti masalah awal, di mana aku hanya cukup membuatmu yakin untuk menerima ayah barumu. Dan kurasa untuk sekarang, aku mungkin hanya bisa menjadi tempatmu bersandar.
Perlahan kuusap puncak kepalamu, mencoba untuk memberimu kehangatan lewat dekapan yang kuberikan.
“Pulanglah. Ayahmu pasti khawatir mencarimu,” kataku kemudian. Setelah pelukan itu kulepas, kamu hanya tertunduk lesu.
“Tidak! Aku tak ingin pulang, Wil. Izinkan aku untuk tinggal di sini saja,” balasmu memelas yang justru mengundang tanda tanya dalam benakku. Kenapa sang pemilik rumah tak ingin pulang ke rumahnya sendiri?
“Biar bagaimanapun, kamu harus tetap pulang, Kesy.” Aku mencoba menyakinkanmu yang tampak tak baik-baik saja.
“Tapi—“
“Pulanglah,” potongku cepat. Walau terlihat enggan kamu akhirnya mengangguk setuju, dan aku pun ikut senang melihatnya. Aku mulai mengiringmu hingga menuju pintu utama. Kulihat supirmu telah menunggu di dekat mobil yang biasanya kamu tumpangi. Kamu tampak sangat enggan untuk pulang, tapi sekali lagi aku mencoba menyakinkanmu dengan tatapan serta senyum hangat yang kuberikan. Akhirnya, kamu bersedia untuk pulang.
***
Hari-hari berlalu begitu saja. Namun, kamu seolah menghilang dari jangkauanku. Tak ada lagi kunjungan yang biasa kamu lakukan sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku mencoba untuk mencari dengan berkunjung ke rumah mewahmu seperti yang sering aku lakukan. Barangkali kamu sedang malas keluar, pikirku. Namun, entah kenapa penjaga rumahmu bertambah dua kali lipat banyaknya, seolah dijaga ketat agar tak ada siapa pun yang bisa masuk dan keluar seenaknya. Bahkan katanya, aku tak boleh masuk.
Jujur aku sangat kesal karenanya, karena penjaga serta orang yang telah memerintahkannya. Tak tahukah betapa rindunya aku saat ini padamu? Bisa-bisanya mereka menjadi penghalang temu di antara kita. Ah, terpaksalah aku pulang dengan tangan kosong. Tanpa melakukan perlawanan terlebih dahulu. Melihat jumlah serta badan kekar mereka membuat nyaliku menciut. Aku hanya datang untuk mencarimu, bukan justru datang untuk mencari mati.
***
Malam yang sunyi kembali menemani. Sama sunyinya dengan hati tanpa ada kamu di sini. Angin sepoi mulai membelai kulit. Aku masih termenung di sini menunggu kabar darimu. Ketika malam sudah semakin larut, tak sengaja kulihat wanita yang tengah berlari ke arahku. Wajah serta postur tubuhnya mirip denganmu. Atau barangkali itu memang kamu?
“William!”
Dan itu memang kamu, pikirku. Kamu menatapku lekat. Wajahmu begitu terlihat murung, bahkan tak lagi ada senyum manis yang biasanya aku dapatkan darimu.
“Kamu ke mana saja, Kesy? Tak tahukah kamu betapa sulitnya aku mencarimu?” tanyaku sembari membalas tatapanmu. Namun, entah kenapa kamu malah menunduk saat itu juga.
“Bawa aku pergi, William,” ucapmu tanpa pernah kuduga.
“Apa? Jangan bercanda, Kesy. Bagaimana aku bisa membawamu pergi? Aku bahkan tak memiliki arah tujuan selain rumah ini,” jelasku sungguh tak mengerti.
“Kalau begitu, lupakan aku, Wil. Aku sudah tak pantas untukmu.” Sontak aku menatapmu. Kenapa kamu semakin aneh? Apakah ayah tirimu sudah salah memberimu makan?
“Aku sudah rusak, Wil. Tak ada lagi hal yang berharga dalam hidupku, bahkan kehormatan itu pun juga telah direngut oleh orang lain. Aku tak pantas untukmu, aku tak pantas. Aku bahkan sedang mengandung bayinya.” Kini kamu menangis tersedu-sedu, bahkan sampai menjatuhkan diri dengan lutut sebagai penompang tubuhmu.
Aku masih terdiam, masih berusaha mencerna setiap perkataanmu. Apa yang rusak? Dan bayi apa? Hingga pikiranku mulai merespons segala pertanyaan itu, membuat rahangku seketika mengeras akibatnya. Inikah alasan yang membuatmu menghindariku? Sungguh tak berkelas, pikirku. Aku memalingkan wajah, merasa dikhianati seperti ini sungguh sakit rasanya. Kamu semakin histris, seolah menjadi yang paling tersakiti di sini.
“Dengan siapa kamu melakukannya? Tak bisakah kamu menjaganya hanya untuk suamimu saja kelak? Aku kira kamu wanita yang baik, tapi ternyata aku salah besar, cih!” Untuk kali pertama aku berkata seperti ini padamu, dan jujur aku menyesalinya.
“Ayah tiriku. Dia menodaiku sampai menjadi seperti ini.” Isak tangismu semakin terdengar. Jujur aku shock mendengarnya. Ayah tirimu melakukan hal yang tak sononoh seperti itu? Bukankah dia lelaki yang baik, ramah, dan santun? Pun banyak lagi sikap baik yang membuat siapa saja akan menyukainya. Lantas, kenapa saat ini dia menjelma sebagai lelaki biadab? Awalnya aku tak percaya, tapi melihat isak tangismu yang semakin menjadi membuatku tak tenang. Refleks aku mendekatimu, membawa ke dalam dekapanku. Barangkali kamu membutuhkannya, pikirku. Dan ternyata memang iya, kamu membalasnya dan kembali menumpahkan air matamu.
“Sudah berapa kali dia melakukan ini padamu?” tanyaku setelah merasa kamu sudah sedikit tenang.
“Sudah berulang kali,” jawabmu saat itu juga. Jantungku serasa ingin berhenti bekerja saja setelah mendengarnya. Pantas saja saat itu kamu tak ingin pulang, dan bodohnya aku yang malah membujukmu untuk pulang. Tapi, kenapa kamu baru memberitahuku sekarang?
“Dan kamu dia saja? Menerimanya setulus hati begitu?” Aku mengacak rambutku frustrasi. Kenapa wanita ini begitu bodoh?
“Aku sudah melawannya, dia sudah melakukannya bahkan sebelum ibuku meninggal. Dan Ibu tahu akan hal ini, sekaligus menjadi penyebabnya meninggal. Ayahku sengaja membunuhnya dengan memanipulasi kenyataan. Kecelakaan Ibu sudah direncanakan oleh ayahku. Semua harta telah jatuh ke tangannya, termasuk kehormatanku.”
Aku terdiam. Rahangku semakin mengeras mendengarnya. Betapa biadabnya lelaki itu. Pantas saja sistem keamanannya diperketat, bahkan dia tak ingin aku masuk dan merusak segalanya. Kamu semakin tersedu-sedu, bahkan dada bidangku sudah terasa basah karenanya.
“Ini tidak boleh dibiarkan! Kita harus melaporkan ini ke polisi. Ayo!” kataku tak bisa membiarkan ini semua terjadi begitu saja.
Aku menarikmu ikut denganku. Walau kamu sedikit menolak yang entah apa sebabnya, akhirnya kamu pasrah ikut denganku. Namun, belum berapa meter kita melangkah, kurasakan ada yang juga menarikmu dari arah belakang, hingga aku sedikit kesusahan menarikmu. Aku menoleh, dan benar saja, dapat kulihat jelas seorang lelaki berbadan kekar sedang menarik tanganmu yang satunya. Langkahku terhenti, begitu pula denganmu. Kutatap lelaki itu, dia tak sendiri, tapi bertiga. Bahkan lelaki yang aku sebut ayah tirimu itu juga ada di sini. Aku menatapnya tajam, dia balik menatapku dengan tatapan meremehkan. Ingin rasanya aku mencungkil mata bulatnya yang tampak jelalatan itu. Andai saja aku tak punya hati dan punya nyali yang cukup, pastinya sudah kulakukan. Ah, andai saja. Sekarang kamu tampak ketakutan. Tangan kekar itu masih menarik-narik tanganmu kuat. Dan aku tak ingin kalah darinya.
“Nona Kesy harus pulang. Tuan Martin telah memerintahkannya,” kata pria berkepala botak itu. Walau kini malam sudah semakin larut, kepalanya masih terlihat begitu mengkilat.
“Benar sekali. Ayo, putriku. Ayah sudah menunggumu untuk pulang, dan jangan coba untuk kabur lagi,” timpal ayahmu yang terdengar bukan seperti bicara pada putrinya, tapi pada kekasihnya. Aku bahkan muak mendengarnya, jujur aku sangat menyesal telah membuatmu setuju untuk menerimanya sebagai ayah tirimu. Aku sudah membawamu ke dalam jurang kehancurkan, dan sama saja aku telah menghancurkan hidupku sendiri.
“Putri? Adakah seorang ayah yang ingin memperistri anaknya sendiri? Melakukan skenario pembunuhan untuk istri sendiri, mengambil alih harta istrinya sendiri, bahkan Anda telah menghancurkan hidup anak Anda sendiri. Jujur, aku sangat menyesal karena telah berusaha membujuk Kesy untuk menerima Anda sebagai ayah tirinya. Anda bukanlah sosok ayah yang baik, tapi seorang yang biadab!” kataku penuh amarah.
Kamu hanya menunduk mendengarnya, sedangkan ayahmu, lihatlah dia sekarang. Air mukanya seketika berubah menjadi terkejut setengah mati, semua rahasianya telah diketahui oleh orang lain selain dirimu. Amarahnya mulai terlihat, wajahnya yang sudah mulai dilanda keriput sedikit memerah menahan amarah, rambutnya yang sudah ditumbuhi uban bergoyang-goyang diterpa angin. Walau sudah tua, dia masih ingin bergaya layaknya anak muda.
“Bawa Kesy pulang sekarang. Dan habisi anak itu!” titahnya kemudian sembari tertawa penuh kemenangan. Sontak kedua pengawal yang tadinya hanya berdiri menonton, kini telah berusaha menjauhkanku darimu, bahkan dengan kasarnya menjatuhkanku ke tanah.
“Karena kamu sudah tahu segalanya, maka kamu harus dimusnahkan. Kesy akan menjadi milikku seutuhnya, dan itu pasti!” Aku menatapmu yang kian menjauh dariku, kamu semakin histris terlebih saat melihatku mulai dipukuli, sedangkan ayahmu tampak begitu bahagianya menikmati tontonan gratis ini.
“Kesy! Tenang saja, aku akan menolongmu!” teriakku sembari berusaha menghindari pukulan dua lelaki yang tengah asyik memukuliku. Walau telah berusaha sekuat tenaga, aku tetap tak mampu melawannya, aku bukanlah seorang lelaki yang handal dalam bertarung. Rasa nyeri mulai kurasakan di sekujur tubuhku. Aku berusaha mencarimu, tapi yang kulihat hanyalah mobil hitam yang telah melenggang pergi. Suasana di larut malam begini, hanya terdengar suara pukulan mereka. Sepi, tak ada siapa pun yang siap membantuku. Beberapa saat kemudian kurasakan benda tajam mulai tertanam tepat di bagian perutku—yang aku tak tahu dari mana asalnya. Aku tak lagi bisa merasakan apa-apa, duniaku seketika berubah menjadi gelap.
***
Entah berapa hari telah berlalu, dan aku tak tahu apa saja yang telah terjadi sebelumnya. Ketika tersadar, aku telah berada di ruangan serba putih dengan aroma khas obat-obatan ditemani oleh sepasang paruh baya yang tak lagi asing dalam pandanganku. Mereka adalah Paman dan Bibi yang selama ini merawat dan membesarkanku ketika orangtuaku tak lagi rukun dalam satu hubungan. Aku mulai menanyakan dirimu pada mereka, tapi tak ada sama sekali jawaban yang kuterima, hanya gelengan kepala yang sama sekali tak aku mengerti maksudnya. Hingga aku hanya berpasrah, berharap kamu baik-baik saja. Aku akan menunggu hingga aku sembuh total, setelah itu aku akan mencarimu.
Di hari setelah keluar dari rumah sakit, aku mulai mencarimu. Namun, tak ada hasil yang kutemukan. Aku mulai gelisah. Ah, tidak! Aku memang selalu gelisah mencarimu. Bahkan aku telah mencarimu hingga ke penghujung kota, tapi jejakmu juga tak bisa kutemukan. Ponsel pun tak bisa lagi dihubungi, pun dengan akun media sosialmu. Kamu benar-benar menghilang dibawa oleh ayah biadabmu itu. Terakhir kabar yang kudengar, kamu dan ayahmu telah pindah ke luar negeri dengan alasan untuk membangun bisnis baru di sana. Namun kurasa itu bukan alasan, tapi sebuah pelarian dari kesalahan. Kini aku tak lagi dapat melihatmu, melihat bulan sabit yang melekat di bibirmu. Bahkan bulan sabit itu telah hilang semenjak lelaki biadab itu telah masuk ke dalam hidupmu.(*)
Aisyahir. Lahir pada 25 September 2001. Penyuka warna peach dan gemar memelihara kucing. Ig: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata