Malaikat dari Atas Kapal

Malaikat dari Atas Kapal

Malaikat dari Atas Kapal

Oleh : Rachmawati Ash

Top 22 Tantangan Lokit 14

Di dek kapal  Salma berdiri, menyandarkan tubuh semampainya di pagar pembatas. Matanya memandang jauh tanpa harapan. Ingatannya belum bisa lepas dari rencana pernikahannya yang gagal. Setelah lima tahun menjalin kasih dan mengukir kenangan dengan Dinar, bagaimana mungkin Salma bisa begitu saja melupakannya. Dinar lebih memilih gadis yang baru saja dikenalnya dan membatalkan pernikahan dengan Salma tanpa alasan yang masuk akal: ayah Salma tidak menyukai Dinar. 

“Aris!” suara bariton yang menggema di atas dek kapal, membuat Salma terkejut dan menoleh ke arah suara.

“Iya.” spontan mulut Salma dan laki-laki di sampingnya menjawab bersamaan. Lalu keduanya sama-sama bingung.

“Sudah kubilang jangan memanggilku Aris, panggil aku Musa saja,” jawab laki-laki di samping Salma membalikkan tubuhnya, meninju perut temannya yang berbadan militer.

Wajah Salma memerah karena malu, dia pikir seseorang memanggil namanya, karena nama panjangnya adalah Salma Arista. Setelah dia menyadari tak ada satu pun orang yang dikenalnya di kapal yang ditumpanginya, maka rasa malunya semakin membuncah.

Laki-laki bersuara bariton itu menghampiri Salma dan bertanya:

“Namamu Aris juga?”

“Oh, iya, tapi  sebenarnya itu nama panjangku,” Salma menjawab masih dengan wajah merah padam karena malu.

“Wah, namamu sama dengan nama temanku, sama-sama Aris, dari Indonesia juga?” laki-laki itu menarik lengan temannya lebih dekat dengan tubuh Salma.

“Kenalkan, namaku Martin. Ini Musa Aristanto, temanku dari Surabaya.” Kedua laki-laki itu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan  Salma. Kepalang basah, Salma pun menyambut tangan keduanya secara bergantian.

**

Salma memilih naik kapal laut karena dia fobia pada ketinggian, selain itu Salma dapat menenangkan diri lebih lama dalam perjalanan sebelum bertemu pamannya di Jeddah. Udara di dalam kamar kapal terlalu pengap, Salma memutuskan berjalan-jalan saja ke dek atas. Di sana sudah ramai penumpang lain, udara di dek kapal memang lebih segar saat sore hari. Sebatas mata memandang hanya biru air yang tak terbatas.

Salma menghela napas, membayangkan kejadian-kejadian yang mengerikan dalam hari-hari terakhirnya. Pandangan matanya nanar, matanya terpejam mengingat pertengkarannya dengan Ayah kemarin pagi.

Ayah menerima telepon di ruang tengah, air mukanya terlihat panik. Dari seberang telepon mengabarkan, bahwa paman Salma mengalami kecelakaan di Jeddah. Menurut informasi yang diterima Ayahnya, harus ada keluarga yang datang ke sana untuk mengurus keperluan pamannya. Ayah melirik ke arah Salma yang sedang mengaduk secangkir teh  untuknya.

“Bagaimana kalau kamu saja yang ke sana, daripada di rumah selalu membuat naik darah!”

Salma hanya diam, lalu dia mempersiapkan segala keperluannya. Kepergian ini bisa dimanfaatkan Salma sebagai pelarian. Dia akan menemukan tempat untuk mengasingkan diri, melupakan Dinar yang telah memilih gadis lain untuk dinikahinya. Lagipula dia masih memiliki paspor luar negeri yang masih aktif. Paspor yang pernah digunakannya untuk mengunjungi pamannya di Jeddah dua tahun lalu. Kemarahan Ayahnya membuat Salma khawatir akan memperparah penyakit ayahnya. Alasan ini yang membuat Salma semakin mantap untuk pergi dari rumah, mengunjungi pamannya di Jeddah.

“Salma, kamu menangis?” Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunan Salma. “Ah, emmm. Aris?” Salma tergeragap mendapati seorang laki-laki telah berdiri di sampingnya, mengamati wajahnya dengan sungguh-sungguh.

“Jangan panggil aku Aris, nama pasaran!” Laki-laki itu tertawa, membuat Salma tersenyum.

“Mau ke mana menggunakan kapal? Sama siapa di sini?” Musa mencecar penuh selidik.

“Mau ke Jeddah, sendirian, mau melarikan diri! Ada lagi yang mau ditanyakan, Pak?” Salma tertawa, membuat Musa sedikit malu karena terlalu ingin tahu tentang orang yang baru saja dikenalnya.

“Salma, nama yang cantik, pemberani pula. Eh, tapi, kenapa mau melarikan diri? Kamu teroris atau pencuri? atau buronan?” Musa berusaha mencairkan suasana.

“Sembarangan!  Pencuri hatimu saja bagaimana?” Salma tidak kalah berusaha humoris, berusaha menutupi hatinya yang luka.

Beberapa jam mereka berbincang, seolah telah lama saling mengenal. Musa adalah seorang laki-laki sederhana, bertubuh tegap dengan kulit sawo matang, matanya begituteduh saat menatap  seseorang, dan senyumnya jugamanis. Salma menemukan seorang teman yang menyenangkan.

Beberapa hari di kapal walau tanpa membuat jadwal pertemuan, Salma dengan mudah menemukan Musa di dek kapal. Mereka selalu menghabiskan waktu di sanasesuka hati mereka. Salma dengan sungguh-sungguh menyimak cerita perjalanan hidup Musa yang mengesankan. Musa telah lama bekerja di Dinas Sosial, tugasnya adalah mengantarkan bantuan makanan ke tempat-tempat konflik. Beberapa tahun terakhir ditugaskan menjadi koordinator ke daerah Yaman. Memilih menggunakan kapal karena letak konflik lebih dekat dengan pelabuhan daripada dengan bandara. Musa bercerita dengan mata berkaca-kaca, dia sangat tersentuh ketika mendapati para pengungsi korban perang yang menyambut kedatangannya.

“Mereka seperti melihat Santa Clausyang sedang mengantarkan hadiah berharga,” kalimat Musa berhenti, lalu selamabeberapa detik Musa memandangi wajah Salma dan membuat Salma salah tingkah. Dalam hati, Salma memuji kemuliaan Musa, di zaman Milenial seperti ini masih ada orang yang tersentuh hatinya untuk menolong orang lain, bahkan mau mengorbankan kepentingannya sendiri.

“Kamu sudah sering ke sana?”  Salma semakin penasaran mendengar cerita Musa tentang korban perang di Yaman.

“Sudah empat kali aku ke sana, naik kapal yang sama, jadi aku hapal betul awak kapal di sini, mereka sudah seperti keluargaku sendiri.” Musa melanjutkan ceritanya. 

“Kami merasa seperti malaikat yang ditunggu kehadirannya oleh para pengungsi. Mereka seperti melihat harapan untuk hidup kembali, saat mendengar kapal  datang membawa makanan dan obat-obatan.”

Diam-diam Musa memperhatikan Salma, ada perasaan suka di hatinya. Mencuri pandang yang tidak disadari Salma. Sesekali mengajak Salma  berswafoto. Beberapa kali Musa mengajak Salma turun menemui teman-temannya di ruang bawah, meminta Salma menungguinya menghitung dan membuat peta pembagian jatah bantuan.

Musa tak pernah sekali pun membiarkan Salma meninggalkan salat lima waktu. Musa selalu tekun menjalankan ibadahnya di musala kapal. Menjadi imam salat berjamaah, yang selalu ada Salma di belakangnya, danmenghabiskan waktu menghibur Salma di dek kapal sampai keduanya benar-benar mengantuk. Musa melakukannya karena dalam hati menginginkan Salma menjadi miliknya.

Seekor burung camar melintas di depan keduanya,  Musa menghela napas berat, “Lihat burung camar itu, kamu akan segera tiba di pelabuhan Jeddah.” Musa menunjuk beberapa ekor camar yang melintas, semakin lama semakin mengecil dan tidak terlihat.  Musa menunjukkan pula jarinya ke arah sebuah pulau dengan bangunan-bangunan tinggi. “Di sana, besok sebelum subuh kapal ini akan menurunkanmu.” Musa  berbicara sambil menyandarkan tubuhnya di pagar dek kapal.

Ada rasa takut di dada Salma, sampai di daratan berarti sampai pada masalah baru. Bagaimana dia akan menjelaskan kepada pamannya tentang kedatangannya,  bukankah pamannya sudah menelepon kembali, mengabarkan bahwa paman baik-baik saja setelah dioperasi. Tapi Salma sudah terlanjur menyiapkan semuanya, bahkan menyiapkan hatinya untuk pergi jauh.

Musa memperhatikan wajah Salma, seolah dia dapat membaca pikiran Salma. “Kamu baik-baik saja?” Salma tersenyum dan mengangguk.

“Aku akan menginap di rumah pamanku untuk beberapa waktu, jadi aku belum memutuskan kapan kembali ke Indonesia.” Jawab Salma sekenanya. Matanya seperti tidak memiliki harapan.

“Boleh minta alamat pamanmu? Siapa tahu aku mampir ke Jeddah, aku bisa mengunjungimu …” Musa mengeluarkan ponselnya untuk mencatat. “Oh, iya, sekalian minta nomor ponselmu, boleh, kan?” Kalimat Musa dibalas senyum manis dari bibir Salma yang tipis.

**

Paman terkejut mendapati kedatangan Salma di rumahnya. Dengan menggunakan kruk, pamannya menghampiri Salma. Percakapan panjang keduanya berlangsung di ruang tamu. Sampai akhirnya paman meminta Salma untuk tetap tinggal dan membantunya menjaga toko kain miliknya. Salma berpasrah, baginya,siapapun yang memberi keputusan tidak akan menjadi masalah. Hatinya masih terluka. Baginya bekerja dengan paman akan menjadi kesibukan yang sangatmembantu: membereskan hatinya yang sedang berantakan. Sejak kecil Salma memang lebih dekat dengan pamannya daripada dengan Ayahnya yang selalu bersikap keras.

**

Dua bulan Salma tinggal di Jeddah, meski luka di hatinya belum sembuh benar, Salma merasa menemukan kehidupan baru. Jeddah tidak seperti yang dibayangkannya, banyak warga yang berasal dari Indonesia di lingkungan pamannya. Salma memiliki banyak teman.  Salma memiliki tempat pengasingan di mana tak seorang pun tahu bahwa dirinya pernah menjadi aib bagi keluarga, karena gagal menikah di hari yang sudah ditentukan.

Paman memanggil Salma yang sedang membuat rekapan gaji para karyawan. Paman menunjuk seseorang yang sedang berdiri di depan toko kain miliknya. Laki-laki berambut ikalyang kulitnya gelap karena terbakar matahari, sedang berdiri dengan senyum yang begitu manis. Salma menutup mulutnya dengan telapak tangan, matanya membulat karena tidak percaya apa yang dilihat di depannya.

**

Dua malam Musa tinggal di penginapan dekat rumah paman Salma. Perjalanan ke perbatasan Yaman dihentikan kurang lebih  tiga hari karena kapal mengalami kerusakan mendadak dan harus diperbaiki. Musa masih menyimpan alamat yang diberikan oleh Salma dua bulan yang lalu.

“Sepertinya kita berjodoh,” kalimat Musa membuat Salma memandangnya dengan tajam.

“Kenapa berpikir begitu?” Salma memperlambat jalannya di gang sempit menuju ke rumah pamannya.

“Aku pikir kamu telah pulang ke Indonesia, eh, ternyata masih menungguku di sini, aku senang menemukanmu kembali, Sal.” Salma mengerutkan kening, alisnya yang tebal menyatu.

“Jangan menggombal kamu, hatiku lagi enggak karuan, berantakan.” Salma mempercepat langkahnya.

“Sal, kamu masih mengingat rencana pernikahanmu yang gagal?” Musa mempercepat langkahnya, menyusul Salma yang meninggalkannya di belakang. Salma hanya mengangkat kedua bahunya.

“Aku jomlo, hidupku bebas sekarang, aku lebih bahagia di sini,” Salma menjawab tanpa basa-basi.

“Lah, sama … kalau gitu ayo kita pacaran!” ucapan Musa membuat Salma menghentikan langkah,

“Jangan, kamu akan repot merapikan hatiku yang berantakan, Sa.”

“Kalau begitu aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk merapikannya, bagaimana?” Musa menyentuh lengan Salma, membuat Salma menajamkan tatapannya kepada Musa.

“Enggak!” Salma menjawab dengan tegas gurauan dari Musa. Bagi Salma tak akan dia jatuh untuk kedua kalinya. Salma harus lebih berhati-hati dalam menerima laki-laki dalam hidupnya. Lagi pula Musa orang asing yang baru dikenalnya selama seminggu di atas kapal dan berpisah selama dua bulan.

**

Salma mengantar  Musa menuju ke pelabuhan. Musa akan segera melanjutkan perjalanannya bersama teman-temannya. Tiba-tiba Salma merasa hatinya berat, dia merasa akan kehilangan sesuatu yang membuatnya nyaman dan bahagia. Salma menyadari kehadiran Musa telah membantunya menyembuhkan lukanya selama ini.  Musa telah merebut hatinya, meski pertemuan mereka tidak begitu lama, tapi Salma benar-benar merasa Musa adalah laki-laki yang baik.

Musa berjabat tangan dengan Salma, “Seandainya aku boleh menawar, aku ingin tinggal di sini lebih lama lagi.” Musa tersenyum kepada Salma,

“Jangan tersenyum, Musa!” Salma cemberut,

 “Kenapa?” Jawab Musa bingung.

“Karena kamu tidak tahu siapa yang akan jatuh cinta karena senyummu itu.” Wajah Salma memerah, dia tersipu malu. Musa semakin melebarkan senyumnya, membalikkan tubuh dan berlari ke arah pelabuhan di seberang jalan. Matanya masih terfokus pada Salma yang berdiri melihat kepergiannya. Sebuah mobil melaju, menabrak tubuh Musa dalam waktu yang begitu cepat. Tubuh Musa terpental ke trotoar, semua orang di sana menjerit dan berhambur mendatangi Musa yang terkapar.

**

Martin menitipkan Musa kepada Salma. Martin berjanji akan segera datang dengan taman-temannya. Musa adalah yatim piatu yang selalu pergi merantau sesuka hatinya. Tidak ada yang mengira bahwa Musa akan mengalami kecelakaan yang membuatnya harus tertahan lama di Jeddah. Kaki kanan Musa mengalami patah tulang, sehingga tidak mungkin baginya melanjutkan perjalanan bersama teman-temannya menyalurkan bantuan korban perang di Yaman.

Malaikat yang ditunggu korban perang di pelabuhan Yaman, sekarang sedang rapuh, dia harus merelakan kesempatan melihat senyum para wanita dengan anak-anaknya di pengungsian.  Salma melihat kekecewaan yang begitu dalam di wajah Musa.

**

Ucapan adalah doa, mungkin itu yang terjadi pada Musa. Saat mulutnya mengucapkan ingin tinggal lebih lama lagi, maka Malaikat pun mengabulkannya saat itu juga. Sepertinya Tuhan telah mewujudkan keinginan orang baik, meski dengan cara yang kurang menyenangkan.

Salma merawat Musa dengan sepenuh hatinya. Semakin hari luka hatinya semakin terkikis.  Tiga bulan berjalan, ke mana pun Salma pergi dia akan membawa Musa ikut dengannya. Semua orang yang melihat akan mengira bahwa laki-laki di kursi roda itu adalah suami Salma.

Salma menghentikan kursi roda  yang menopang tubuh Musa. Duduk di kursi dekat pelabuhan. Keduanya menatap langit yang mulai merah. Beberapa burung camar melintas, membelah matahari menjadi dua bagian. Senja semakin tua, Musa dan Salma larut dalam pikirannya sendiri-sendiri. Musa senang bisa berlama-lama dengan Salma, baginya tak ada yang perlu disesali. Salma menatap langit, menghitung camar yang terbang di depannya. Mengingat pertemuannya dengan Musa di atas kapal.

**

Martin menepati janjinya, dia datang bersama teman-temannya dari kapal untuk mengunjungi Musa. Martin juga mengabarkan bahwa Musa telah diangkat  menjadi kepala bagian gudang di kantornya di Indonesia. Musa tidak tahu dia harus bahagia atau bersedih dengan kabar itu. Baginya menyalurkan bantuan kepada korban perang membuatnya belajar banyak tentang berbagi dan peduli. Merasakan sendiri, bahwa kematian bisa datang kapan saja.

**

Musa telah sembuh meski kini kaki kanannya tidak sempurna saat berjalan, namun tidak mengurangi semangatnya untuk bekerja(bagi Salma, itu tidak mengurangi ketampanan pujaan hatinya). Musa berniat membawa  pulang Salma ke Indonesia dan segera menikahinya di sana. Musa tidak akan membiarkan Salma bersedih lagi, apa lagi setelah melihat ketulusannya selama ini dalam merawatnya, saat sedang tidak berdaya.

**

Di atas kapal perjalanan pulang, Salma menyandarkan kepalanya di bahu Musa. Hatinya tak berhenti berucap syukur karena telah dipertemukan dengan laki-laki yang baik. Laki-laki yang menerimanya apa adanya.

“Oh, Iya Sal, kenapa kamu memilih naik kapal laut dari pada pesawat terbang?” Pertanyaan yang sudah lama ingin ditanyakan Musa, namun tidak pernah terucap.

“Biar ketemu kamu,” mata salma melirik pada Musa, senyumnya tipis menggoda.

“Heeem, iya, deh, lagipula tidak ada yang kebetulan di dunia ini, kita bertemu di kapal lalu berjodoh, yakinlah ini sudah takdir Allah.”

**

Salma duduk di tepi ranjang, hatinya berdebar-debar usai ijabqobul. Air matanya menetes di pipi. Rasa bahagia tak dapat disembunyikannya dari Suami yang duduk di sampingnya.

“Musa?”

“Hemm?”

“Boleh peluk?” Salma merajuk, Musa merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, mengizinkan isterinya jatuh di pelukannya.

Rachmawati Ash. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang, namun belum bisa nyastra sampai sekarang

Komentar Juri:

Cerpen ini dibuat hanya dengan menggunakan kalimat-kalimat yang sederhana, pembukaan yang biasa-biasa saja dan tidak berpretensi apa-apa selain menghibur. Tetapi mengapa cerita ini terpilih sebab Si penulis memiliki kelebihan karena mampu mengetengahkan beberapa kemungkinan yang bisa diterapkan sebagai penguat cerita. Dan tidak semua penulis mampu melakukannya, yang biasanya justru terpaku pada satu hal: tema.

Karna Jaya Tarigan

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply