Orang yang Kupanggil Papa
Oleh : Mila Athar
Aku lupa hiruk pikuk ini akan mengisi hari-hariku selama tiga bulan ke depan. Menghadapi berbagai macam manusia penuh kepongahan. Memaksa diri untuk bergaya selangit hanya untuk pujian penuh kepalsuan. Seperti dua manusia di depanku. Dua orang yang berebutan saling memamerkan kemewahan. Satu nyonya berambut tebal dengan bunga di atas kepalanya yang kurasa berotak kosong. Ketika aku datang, dia sedang bercerita liburannya di luar negeri. Satu lagi nyonya berambut pendek, dia dari tadi kelihatan pura-pura antusias mendengar si nyonya rambut tebal. Beberapa kali dia melongo takjub, tapi kentara sekali hanya pura-pura. Aku segera mengangsurkan satu minuman ke nyonya rambut tebal. Masih ada lagi minumam yang harus ku sajikan ke meja sebelah. Aku sekilas mengamati ‘ruang kerjaku’ yang agak memuakkan ini.
Aroma polusi udara semakin menyesakkan suasana siang. Lalu lalang kendaraan dari mulai mobil, motor berlalu lalang seolah tanpa jeda. Namun anehnya, dua nyonya di sampingku kelihatan nyaman-nyaman saja. Tiba-tiba pandanganku beralih ke belakang nyonya berambut tebal. Ada satu lelaki paruh baya berkacamata yang sedang asyik membaca koran seorang diri. Penampilannya begitu rapi dengan setelan jas kerja. Mungkin dia sedang menungggu kolega kerjanya. Ah, aku tak peduli. Eh, mengapa mata itu tadi mengedip genit ke arahku. Seketika tubuhku meremang. Aku pura-pura tak melihat.
Mataku segera ku sapukan ke segenap penjuru kafe yang berkonsep out door dan indoor ini. Ada dua orang pasangan yang berjalan bergandengan mesra sambil menuntun anjingnya. Kebetulan mereka membelakangiku. Namun, postur tubuh si wanita sepertinya tak asing. Aku tertegun, baju polkadot itu aku sangat hafal siapa pemiliknya. Belum selesai keterkejutanku, aku melihat lelaki yang garis wajahnya mirip denganku sedang bersembunyi di bawah meja. Dia menahan geram dan membelakangi ke dua pasangan yang sedang dimabuk kepayang tersebut. Ku rasa aku paham sekarang mengapa kehidupan keluargaku serasa di neraka.
******
Bunyi bantingan barang-barang terdengar jelas dari kamarku. Aku hanya menghela napas untuk kesekian kali. Situasi semacam ini sudah aku alami dua tahun belakangan ini. Aku tak pernah menyangka hidupku akan berubah seperti kisah-kisah di sinetron yang paling membuatku muak.
Dua orang keras kepala itu pasti tidak akan berhenti hingga beberapa jam ke depan. Sebenarnya aku heran, mendapat kekuatan dari mana mereka, hingga bisa tahan berjam-jam berdebat. Sungguh luar biasa.
Aku segera menyambar jaket yang tersampir di kursi belajarku. Kalau sudah seperti ini, aku memilih beranjak dari rumah yang berubah menjadi lautan magma di perut bumi. Aku butuh udara segar untuk bernapas.
“Davi, mau kemana kamu? Papa ingin bicara!”
Suara menggelegar tersebut menahan langkahku di depan pintu kamar tamu. Aku hanya menengok dan tak berniat menjawab. Ku pandang wajah tegasnya, hidung dan dahinya. Menunjukkan replikaku. Aku benci kenyataan itu.
Aku segera bergegas dan tidak berniat menanggapi lelaki tersebut. Ah, masih pantaskah aku menyebutnya sebagai seorang ayah?
“Davi, jangan pura-pura tuli, papa mau bicara!”
Seruannya tidak menyurutkan langkahku untuk bergegas. Dia tetap berteriak memanggil namaku. Namun, aku tak menggubrisnya. Segera kupacu kencang mobil balapku meninggalkan ‘istana’ kebanggaan orang tuaku. Aku memutuskan untuk menepi sejenak dari kekacauan hidup yang beberapa tahun aku alami.
Bunyi bising kendaraan di depan tidak kugubris. Mencoba berfikir ulang apa yang harus ku lakukan setelah ini. Semua ATM yang berada di dompet telah kupatahkan dan kubuang ke tempat sampah.
“Hei, bro. Ngelamun aja. Lagi mikir pemerintahan loh?”
Sebuah suara mengagetkanku karena disertai rangkulan dalam pundak. Aku melepaskan tangannya yang berada di pundak sambil mendengus.
“Pergi lo, jangan ganggu gue.”
“Eits, sensi banget. Kalau ada masalah cerita lah. Lo tau kan gue Beni, pemberantas segala masalah,” jawabnya usil sambil menaik turunkan alisnya yang legam.
Aku berpikir, membenarkan perkataan Beni. Meski usil, dia memang berotak cemerlang.
“Gue butuh pekerjaan,” dengan cepat aku menjawab.
“Gue nggak butuh interogasi, kalau lo niat bantu nggak usah banyak tanya,” tambahku lagi.
Beni hanya manggut-mangut dan menggaruk-garuk rambut cepaknya sambil mengerutkan kening.
******
Dan di sini lah aku sekarang, bekerja di kafe “La Tanza”. Kafe yang menyajikan berbagai macam makanan khas Turki. Setiap hari kafe ini ramai dikunjungi oleh anak muda hingga para pegawai kantoran.
Masa percobaan tiga bulan ini harus aku jalani dengan sungguh-sungguh karena gaji yang cukup tinggi. Selain itu, aku mendapat fasilitas gratis, ruangan di lantai tiga untukku tidur. Beni memang selalu bisa diandalkan. Sudah hampir 30 hari aku belerja di sini. Aku menjalani dengan nyaman dan tidak ada hambatan yang berarti. Sampai aku melihat fakta mengejutkan.
Setelah menyelesaikan pesanan pelanggan. Aku segera bergegas mengikuti pasangan yang dimabuk asmara tadi. Mereka berjalan ke arah mobil merah metalik yang terparkir di seberang jalan. Hatiku begitu mendidih melihat kelakuan wanita yang melahirkanku. Bagaimana bisa dia begitu tega melakuan semua ini.
Kini aku telah sempurna berada di depan mereka. Tanpa membuang kesempatan, segera ku renggut kemeja lelaki separuh baya itu dari belakang. Tanpa ragu aku langsung melayangkan bogem mentah. Dan menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi. Mamaku yang kaget, hanya sanggup menjerit dan berusaha menarik tubuhku yang sudah dikuasai emosi. Namun, tenaganya yang tidak seberapa, membuatku mudah menghalaunya.
Tanpa ampun, aku masih menghujaninya dengan pukulan, wajahnya sudah tidak terbentuk. Dia telah tersungkur. Mamaku hanya menangis dan berteriak kepadaku untuk berhenti memukul.
“Hentikan, Fin. Jangan sampai ayahmu sendiri mati di tanganmu.”
Sebuah suara berat menghentikan pukulanku. Aku menengok dan terkejut ketika melihat sosoknya. Orang yang biasa ku panggil Papa. Aku tak menggubrisnya, aku ingin melanjutkan lagi pukulanku.
“Hentikan kubilang, kau bisa membunuhnya.”
Lelaki yang kuhajar memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. Dengan pandangan jernih meski lebam dan darah menutupi sekujur wajahnya, aku terhenyak. Wajah itu, bagaimana bisa begitu mirip dengan orang yang selama ini kupanggil papa. Tiba-tiba tubuhku terasa dilolosi, aku merasa terjatuh dalam lubang tanpa dasar.(*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang berusaha mengumpulkan aksara yang terserak di semesta.