Korek Gas Warna Biru

Korek Gas Warna Biru

Korek Gas Warna Biru
Oleh : Rachmawati Ash

 

Hujan deras masih mengguyur kotaku. Udara semakin lembab kurasakan di bulan basah, Desember. Sudah bercangkir-cangkir kopi susu kuhabiskan di kafé ini. Aku terlihat seperti orang putus asa. Duduk menyendiri dan menghabiskan berbatang-batang rokok di sudut ruangan. Mataku terus menatap keluar jendela kaca yang lebar, melihat lalu lalang kendaraan yang semakin sore semakin padat.

Sudah dua hari aku tak pulang ke rumah. Aku lemah. Sebuah kabar yang begitu menyayat hati kuterima sebagai serangan anak panah di dadaku. Wina, wanita sederhana yang menemani hidupku selama delapan tahun, divonis kanker rahim stadium akhir. Wina tak pernah menceritakannya padaku sampai dua hari yang lalu dia pingsan saat habis mandi. Aku membawanya ke dokter, pernyataan dokter setengah menghakimiku. Kenapa sebagai suami yang hidup delapan tahun bersamanya, aku bisa lepas pengetahuan dari hal yang sedemikian fatal.

Aku menyalahkan diriku sendiri, juga menyalahkan Wina yang menyembunyikan penyakitnya sebagai rahasia. Setiap kali dia pergi, selalu beralasan akan memeriksakan kesehatannya agar segera hamil. Dia berbohong. Wina berbohong. Apa pun alasannya Wina telah membohongi diriku.

Hujan yang deras berangsur berubah menjadi gerimis lembut, tapi tetap terasa menakutkan. Kuputuskan untuk pergi meninggalkan kafe. Seorang wanita dengan leher jenjang mengamatiku. Wangi lavender menguar, menembus hidung hingga paru-paruku. Aku tak berani menatapnya, aku hanya menikmati wangi yang begitu menggoda dari tengkuknya yang dililit syal motif kulit harimau.

Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Sial. Mataku justru teperangkap, menikmati sepasang kaki berwarna langsat. Kaki yang begitu lencir dan memikat. Duduk bersilang dengan rok di atas lutut. Dalam seketika aku gemetar. Rasa penasaran yang begitu kuat menggodaku untuk menatap wajah pemilik kaki yang begitu indah. Indera penciumanku juga tak kalah penasaran menahan gejolak untuk segera mengetahui pemilik harum lavender.

Aku merasakan ada mata yang selalu mengikutiku. Menguntit setiap gerakan tubuhku. Sebagai laki-laki aku ingin membalasnya. Meski hanya dengan sebuah senyum tipis sebagai perkenalan, lalu jika ada kesempatan maka kami akan beruntung menjalin persahabatan.

Kuputuskan tidak melirik atau mengangkat wajahku. Kulangkahkan kaki menyelesaikan pembayaran di kasir. Kupaksakan tetap menunduk dan berjalan meninggalkan kafe. Kedua tangan kumasukkan ke dalam jaket. Saat itu pula kusadari ada sesuatu yang tertinggal di meja kafe. Korek gasku, tertinggal di sana. Perang batin bergejolak dalam dadaku. Aku tidak akan kembali ke sana hanya untuk sebuah benda kecil. Aku tidak akan mengkhianati istriku hanya dengan benda seharga sepuluh ribu rupiah.

Kuputar langkah secepat mungkin, menerobos pejalan kaki yang basah kuyup di trotoar jalan kota. Kudorong pintu kaca kafe, ada debar yang begitu kuat di dalam dadaku. Mungkinkah ini pertanda, bahwa aku boleh melihat wajah pemilik sepasang kaki yang indah. Apa salahnya aku duduk sebentar dan mengobrol dengan teman baru. Berbagi cerita yang membuatku sedikit tersenyum, lari dari kekecewaan yang diciptakan oleh istriku sendiri.

Aku masih menunduk, melewati beberapa kursi kosong. Aku kembali menerima perasaan aneh, seseorang mengamatiku.

“Ini korekmu, Bung, sepertinya kamu melupakannya.” Suara yang begitu lembut, membuatku semakin gemetar.

“Iya, aku datang untuk mengambilnya.” Kuterima sebuah korek gas berwarna biru. Sebuah tangan yang begitu mulus, mengulurkan sebuah korek gas kepadaku, tangan yang begitu indah.

Aku berusaha keras menahan pandanganku. Aku tak ingin pulang dengan membawa wajah wanita baru dalam ingatanku. Aku bergegas pergi, tak lupa sebelumnya aku mengucapkan terima kasih. Wangi lavender kembali menyerang penciumanku, kini wangi itu semakin tajam di dekatku. Tiba-tiba aku ingat Wina, aku mengingat wajahnya yang memainkan rambutnya yang basah di depan cermin kamar. Aku mengingat wangi rambutnya setelah keramas menggunakan shampo. Wanginya menyusup ke seluruh nadiku.

Aku memutar tubuh, mempercepat langkahku. Kembali kudorong pintu kaca kafe dan meninggalkan pemilik sepasang kaki yang indah. Wajah Wina memenuhi pikiranku, aku ingin segera menemuinya, memeluknya dengan erat. Wina, adalah wanita yang kucintai. Wanita yang selalu datang dengan rona ceria. Korek gas masih kuremas di tanganku. Rasa rindu membuncah di dadaku, Wina selalu melarangku untuk merokok. Dengan nada manja dan wajah penuh permohonan, memintaku berhenti merokok.

“Sayang, kamu nggak akan membiarkan aku cepat menjadi janda, kan?” Nada suaranya begitu manja, tangannya bergelayut di pundakku.

“Merokok tidak akan mengurangi rasa sayangku padamu. Tenanglah, lagipula aku sehat, kok, aku akan terus menjagamu.” Kalimatku sambil memilih korek gas di sebuah toko. Wajahnya kembali ceria, memeluk tubuhku dengan erat. Wangi rambutnya menyusup ke hidungku, harum parfumnya juga menguar dari tengkuknya yang terbuka.

“Aku tidak mau menjadi janda, aku takut.” Kalimatnya saat jatuh di pelukanku. Aku tersenyum mendengarnya, dalam hati aku semakin mencintainya. Wanita yang takut kehilangan suaminya, wanita begitu mencintaiku, wanita yang juga mengkhawatirkan kesehatanku.

“Warna biru saja, jangan yang lain, enggak bagus!” Wina mengambil sebuah korek gas untukku. Aku menertawainya, segala benda di rumah kami selalu berwarna biru. Entah biru muda, biru dongker, atau biru langit semua harus berwarna biru. Aku pernah memprotes kegemarannya pada warna biru.

“Kayak nggak ada warna lain aja, semua harus biru. Kasihan dong warna lain kalau dibeda-bedakan begitu,” protesku saat berjalan menuju kasir untuk membayar korek gas.

“Pokoknya harus biru! Itu warna yang melambangkan kesetiaan, sama seperti aku. Suatu saat kamu akan mengenangku saat bertemu warna biru.” Kembali tubuhnya yang mungil bergelayut di pundakku. Aku jadi gemas dan membalasnya dengan merangkulnya.

Hujan kembali datang dengan deras, menyerang tanpa ampun. Aku mempercepat langkah, melewati tubuh pejalan kaki lain yang berjalan di trotoar kota. Kumasukkan korek gas berwarna biru ke dalam kantong jaket. Aku berusaha menahan senyum, disimpan untuk istriku yang menyambut di depan pintu nanti. Aku membayangkan wajahnya yang kian tirus karena digerogoti penyakit, tersenyum manis saat menyambutku. Aku akan menemukan kembali rona ceria di matanya. Aku akan memeluknya, menciuminya seperti saat malam pertama aku melakukannya.

Seluruh tubuhku basah, aku mengetuk pintu. Beberapa detik, lalu menit, tak ada jawaban. Ke manakah gerangan istriku pergi? Tak biasanya dia lama membukakan pintu. Kuputar gagang pintu ke kenan, tidak dikunci. Dengan perlahan aku memasuki ruang tamu, sunyi menyambutku. Rasa bersalah mulai menyerangku, aku meninggalkannya sendirian dalam udara yang dingin. Wina pasti bersedih, dia mengurung diri di kamar dan tak mau menemuiku.

Kuperlambat langkah, mataku tertuju pada tubuh Wina yang terbaring di kursi ruang tengah. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Aku membungkukkan tubuh, menyentuh tangannya. Dingin. Kupeluk dengan erat, kuucapkan kata maaf berkali-kali. Juga kuucapkan kata “aku mencintaimu” tepat di telinganya. Kurebahkan kembali tubuhnya yang sudah tak bernapas.

Maafkan aku Wina, aku mencintaimu. Kenapa rasa takut yang menghantuimu kini kau tinggalkan untukku?

Air mataku mengalir, jatuh membasahi dadamu yang kini kaku.(*)

Rachmawati Ash, penyuka cerita Romans.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply