Sebuah Kabar

Sebuah Kabar

Sebuah Kabar 
Oleh : Ning Kurniati

Begitu banyak perubahan yang terjadi. Meski Tenri sudah menduga akan sebuah perubahan pasti terjadi tetapi ia tidak pernah menyangka akan seburuk itu hubungannya dengan suami. Mereka sudah menikah selama sepuluh tahun, tetapi baru kali ini ia merasa ada yang aneh dengan suaminya itu. Baharuddin sudah dua bulan tidak menjejakkan kakinya ke rumah dan baru kali ini kejadian, pun tanpa disertai kabar.

Kondisi negeri memang belum aman, tetapi sebagai seorang yang terkenal dengan ilmu hitamnya, peluang untuk terbunuh sangat kecil, kecuali memang Yang Kuasa menginginkannya kembali ke pangkuan. Tenri resah, lebih-lebih ia dan anak-anaknya belum bisa mentas dari laki-laki yang menjadi suaminya itu. Ia tidak terbiasa mencari uang dengan keringatnya sendiri. Dari kecil hingga ia menikah, tidak sekali pun tangannya menyentuh sesuatu untuk dijadikan uang apalagi sebagai sumber penghidupan.

Si sulung yang berumur delapan tahun berkali-kali menanyakan keberadaan ayahnya. Ia rewel dan tak mau menerima alasan apa pun yang dilontarkan sang ibu. Ia mau ayahnya bukan alasan kenapa ayahnya tak datang-datang.

Tenri sudah tidak tahu mesti berbuat apa lagi. Ia sudah menitipkan pesan-pesan, baik pada keluarganya maupun pada keluarga Baharuddin. Namun, dari sekian belasan pesan yang diterimanya, tak satu pun yang menjawab pertanyaan si sulung.

“Elang, kau berdoalah pada Karaeng Allah Taala1. Jangan minta sama Mamak. Mamak tak punya kuasa mendatangkan tettamu2, Nak.”

Tak ada jawaban. Elang tetap bergeming pada posisinya yang menatap jauh, jauh ke jalanan. Perasaanya kacau.

Tenri ikut-ikutan bergeming.

***

Kopi yang diminumnya hampir tandas dari gelas besar yang khusus disiapkan untuknya. Baharuddin tersenyum menatap perempuan yang duduk di sisinya. Mereka berdua sedang duduk di teras rumah milik kerabat jauh Baharuddin. Ia tahu di sisi lain apa yang sekarang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Kesalahan amat besar yang tak mungkin dimaafkan oleh Tenri yang nun jauh di sana. “Elang, kira-kira sedang melakukan apa, ya?”

“Alfiah, saya rasa harus pulang dulu! Kau tak perlu khawatir saya tidak akan kembali. Saya pasti akan kembali. Percayalah itu. Bukankah dasar dari pernikahan adalah kepercayaan?”

Alfiah tak membuka mulut. Gerak tubuh pun tidak juga, sekadar tanggapan atas permintaan Baharuddin. Lelaki yang menikahinya sebulan yang lalu. Sebagai seorang imigran dari pulau seberang. Menurutnya, tindakan dengan menjadi istri dari lelaki seperti Baharuddin tidaklah salah. Ia menafik bisik hatinya bahwa ia seorang terdakwa dalam hal ini. Dirinya bersalah dan korban dalam hubungan mereka adalah Tenri. Sebagai seorang istri yang direbut apa yang menjadi miliknya. Dibohongi oleh dua pihak sekaligus.

“Istrimu itu harus tahu, bahwa sekarang ia tidak sendiri ada saya yang juga menjadi istrimu.”

“Tidak semudah itu, Alfiah.”

“Kenapa tidak mudah? Mudah atau tidak, itu harus mudah. Bagaimanapun saya ini istrimu.”

“Pernikahan kita itu bukan hanya tentang saya, kau, dan Tenri, tetapi ini juga tentang keluarga saya dan keluarganya Tenri. Mereka akan menghinakan saya.”

“Terserah kau saja!”

“Terima kasih. Saya pamit dulu!”

***

“Elang, Tettamu ada di Bantaeng. Itu kabar dari Dullah.”

“Kapan Tetta pulang?”

“Saya tidak tahu. Mugkin tidak pulang-pulang lagi. Kau punya Mamak baru di sana.”

“Mamak baru. Saya tidak mau Mamak baru.”

“Mau atau tidak. Bukan kau yang menentukan, Nak”

***

Kabar kematian itu begitu mengejutkan. Alfiah tidak bisa menerima kenyataan. Ia tidak mau menjanda dua kali. Seharusnya ia tidak membiarkan suaminya pergi. Bukankah Baharuddin seorang yang hebat.

“Ia ditemukan mati dengan peluru yang menembus leher, dada dan perutnya. Saya sendiri yang menembakinya. Kini giliranmu!”(*)

 

Catatan:
1. Karaeng Allah Taala : Nama pengganti Tuhan pada sebagian suku Makassar
2. Tetta : Nama panggilan terhadap ayah dalam suku Makassar

 

Desember 2019
Ning Kurniati, manusia yang lebih banyak memiliki kebingungan ketimbang pemahaman akan suatu hal. Memiliki mimpi yang terus bertambah-tambah. Mimpi itu akan berhenti ketika oksigen sudah enggan memasuki indra pernapasannya.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply