Side

Side

Side
Oleh : Imas Hanifah N.

Kami sudah terjebak. Di penjara bawah tanah ini, puluhan tahanan, termasuk aku, tak bisa ke mana-mana.

Jujur saja, aku tak peduli jika dunia ini memang akan hancur seperti yang dikatakan sipir-sipir malam tadi. Ya, mereka terlihat panik.

“Kota ini akan hancur, tenggelam, badai ada di mana-mana. Tidak ada waktu. Kita semua akan musnah. Peradaban akan lenyap.”

Kata-kata itu meluncur dari seorang sipir gendut yang membuka selku.

“Kamu ingin bertemu keluargamu untuk terakhir kali? Memeluk mereka dan mati bersama? Berbagi kesakitan dan pergi dengan damai?”

Aku menggeleng. “Mereka tidak akan menerimaku. Kunci lagi selnya.”

Namun, sipir itu tidak mendengar. Ia tetap membiarkan selku terbuka. “Tidak ada waktu dan aku, ataupun semua sipir, tidak mau mengangkut kalian. Pergi sebisanya. Temukan jalan keluar.”

Ia melemparkan banyak kunci ke arahku. “Bukakan sel yang lain.”

Aku tak menjawab. Udara terasa sesak dan pengap. Akhir-akhir ini, bahkan untuk bicara saja, aku sudah tak punya tenaga. Mungkin memang benar, aku belum melihat badai atau bencana di seluruh semesta secara langsung, tapi aku bisa merasakannya lewat udara yang kuhirup. Mungkin, di dalam sini, di dalam paru-paruku sudah banyak debu dan kerikil.

Aku menatap kunci-kunci itu. Pikir mereka, aku tertarik untuk keluar dari sini?

“Bukakan sel yang lain.”

Ah, benar, kata-kata sipir itu. Mungkin, ada banyak tahanan lain yang ingin bertemu keluarga mereka untuk terakhir kalinya.

Aku beranjak lemas. Sel yang lebih mirip kotak besi ini, tanpa lubang sama sekali. Berbeda dengan jeruji yang biasa. Aku tak bisa melihat tahanan lain dari dalam sel, begitu juga sebaliknya. Ini karena semua tahanan di sini adalah psikopat. Pembunuh kelas atas. Semuanya ketat.

Aku membuka satu demi satu sel. Karena itu sangat merepotkan ….

“Bukakan sel yang lain. Dunia mungkin akan lenyap. Kamu ingin bertemu keluargamu terakhir kali?”

“Iya, tentu saja,” jawab tahanan itu dengan semringah.

Sebuah guncangan hebat membuat kami semua panik. Gempa bumi yang cukup keras membuat kami berteriak hebat. Sudah dekatkah akhir dunia?

“Mari bergegas, selamatkan yang lain!” teriak tahanan di sampingku sambil membagi separuh kunci.

“Hei, tapi aku tak ada niatan untuk keluar.”

“Panggil aku Bodat. Tidak ingin keluar? Mati menyedihkan di sini?”

Bodat sudah lebih dulu pergi ke sel yang lain sebelum aku menjawab. Mati menyedihkan? Apa bedanya jika mati di luar sana?

Sebuah guncangan kembali terjadi. Bodat dengan cepat membuka sel demi sel. Aku pun melakukan hal yang sama. Setelah semua tahanan bebas, kami mencari jalan keluar.

Tidak sulit menemukannya. Jalan keluarnya dekat dengan kantor sipir. Penerangan yang hanya difasilitasi lampu lima watt saja, membuat mataku terasa perih.

Bodat melihatku. “Kamu harus punya keinginan untuk hidup.”

Aku mengangguk saja. Jujur, mungkin aku sudah stres. Maka dari itu, aku tidak tertarik untuk menyelamatkan diri.

Melewati lorong penjara, hampir setiap dari kami terus saja membicarakan perihal gempa dan akhir dunia. Para sipir itu sudah memulai cerita yang berlebihan. Sehancur apa? Gempa demi gempa, mungkin, tidak terlalu parah. Mungkin saja, mereka bohong atau, entahlah.

Kami akhirnya melihat tangga yang cukup panjang. Satu per satu menuju ke atas. Entah di tangga keberapa aku dan Bodat terhenti.

“Ada apa?” tanya Bodat dengan keras.

“Pintunya tertutup. Sepertinya ada reruntuhan yang menghalangi!”

Semua orang menarik napas panjang. Semua cemas, termasuk Bodat.

“Ini sulit.”

“Memangnya kamu tidak percaya, Bodat? Kata para sipir, dunia hendak hancur.”

“Justru aku sangat percaya. Tapi sebelum dunia ini hancur, aku harus bertemu anakku.”

“Untuk apa, Bodat?”

“Untuk menjelaskan, bahwa aku bukan seorang pembunuh.”

Omong kosong macam apa yang dikatakan oleh Bodat? Dia bukan pembunuh?

“Kalau kamu bukan pembunuh, lalu kamu ini apa?”

“Aku seorang ayah.”

“Ya, tapi tetap saja, kamu ini pembunuh.”

“Aku membunuh bukan tanpa alasan.”

Aku tertawa keras, membuat semua tahanan melirik ke arahku.

“Cobalah untuk didorong lebih keras!” teriak Bodat. Aku masih menahan tawa.

“Aku membunuh ibunya, karena ibunya hampir membunuh anakku.”

Aku terdiam. Dunia memang sudah goblok. Sudah seharusnya dihancurkan. Aku juga seorang pembunuh. Akan tetapi, tentu saja, aku membunuh seseorang yang pantas dibunuh. Ini bukan perkara salah atau benar, ini perkara bagaimana cara bertahan hidup.

Namun setelah semuanya, setelah aku dibuang oleh keluargaku, aku jadi tak peduli tentang hidup lagi. Mendengar keinginan mulia Bodat, tiba-tiba hanti ini jadi tersentuh.

***

“Turun semuanya!” teriak Bodat. Ia mengajakku untuk jadi dua orang yang berada di tangga paling atas, paling dekat dengan jalan keluar.

Benar saja, pintu keluar hanya terbuka sedikit. Aku dan Bodat bisa melihat kalau pintunya terhalang oleh reruntuhan.

“Aku akan mendorongnya,” ujar Bodat. Sungguh, aku ingin tertawa.

“Itu tidak mungkin.”

Bodat mendorong pintunya dengan kuat. Aku mengikutinya. Kemudian, seorang tahanan lain juga ikut mendorong. Sangat sempit di atas sini, tapi beberapa tahanan ikut mendorong. Sampai akhirnya, pintunya sedikit demi sedikit terbuka.

Bodat lebih dulu membiarkan satu demi satu tahanan lain untuk keluar. Ia juga menyuruhku. “Keluarlah lebih dulu.”

Aku menggeleng. Ia tak acuh.

Hingga akhirnya, aku dan Bodat keluar terakhir. Benar-benar keluar dan melihat segala sesuatu yang berada di luar ….

Memang sudah hancur. Setiap dari kami kehilangan kata-kata untuk menjelaskan. Sejauh mata memandang, hanya reruntuhan dan mayat.

Aku mual. Perutku seakan dikocok. Hawa sedingin es semakin terasa menusuk. Langit hitam pekat, seperti hendak menetaskan badai. Aku hampir ambruk, tapi Bodat memegangiku.

“Aku harus bertemu anakku.”

“Tapi Bodat, di mana rumahmu? Aku bahkan tak bisa mengenali kota ini lagi.”

“Tetap bergerak, tetap berjalan,” ucap Bodat dengan napas tersengal. Ia sepertinya gemetaran menyaksikan semuanya. Sementara aku, masih berupaya menahan mual ini.

Tahanan yang lain, aku tak peduli lagi nasib mereka. Saat ini aku tak bisa memikirkan nasib banyak orang. Kecuali Bodat. Ia sepertinya memikirkanku dan aku memikirkan keinginannya.

“Aku melihatnya!” teriak Bodat sambil berlari ke arah tumpukan sampah. Lagi, aku melihat potongan tubuh di sana.

Bodat ambruk dan tak bisa menahan tangis. Ia menarik tangan mungil dari tumpukan sampah. Lebih tepatnya potongan tangan.

“Anakku ….”

Dengan liar, Bodat menguarkan tumpukan itu dan mendapati sebuah kepala. Ia menciumnya. Berkali-kali. Kepala tanpa rupa itu, membuatku tak bisa menahan mual lagi.

Sementara di kejauhan, aku melihat pusaran angin mendekat. Pusaran yang menerbangkan apa saja. Terus mendekat dan semakin dekat ….

Tasikmalaya, 2019

Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci. Ia bisa dihubungi via sosial media di Facebook: Imas Hanifah N atau IG: @hanifah_bidam.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply