Hujan dan Lelaki Berpayung Hitam

Hujan dan Lelaki Berpayung Hitam

Hujan dan Lelaki Berpayung Hitam
Oleh : Aisyahir

Aku masih berdiri di tempat ini. Menatap butiran-butiran bening yang saling berjatuhan dari langit. Semilir angin begitu terasa hingga menusuk ke tulang, pakaian putih abu-abuku mulai basah akibat percikan air yang mengenaiku. Hujan masih belum berhenti, mau tak mau aku tetap harus berada di tempat ini, tempat di mana aku selalu menunggu datangnya bus yang selalu kutumpangi pergi ataupun pulang dari sekolah.

Aku masih terdiam, kali ini, bukan lagi hujan yang kupandangi, tapi kendaraan yang lalu-lalang melewati halte. Sesaat pandanganku teralihkan ketika tak sengaja menangkap sosoknya. Dia, yang selama ini selalu kuperhatikan diam-diam, yang selalu kusebut namanya dalam setiap bait doaku, serta yang selalu mampu membuat hatiku berdesir hebat ketika bertemu dengannya. Sekarang, dia berdiri di sudut kanan halte ini, sedangkan aku berdiri di sudut kiri. Walaupun masih dipisahkan oleh jarak, namun tetap saja mampu membuat hatiku bergetar. Terlebih lagi saat ini, kami hanya berdua, menatap hujan sebagai pengalih perhatian.

Sesekali aku melirik ke arahnya. Tidak lama, hingga pada akhirnya aku kembali fokus menatap lurus ke dapan. Bulan sabit terus melekat di bibirku, rasanya gugup. Sedangkan dia, lelaki yang bernama Azmi itu, sangat terlihat santai dengan mimik wajah yang selalu sama, tanpa senyum. Ia masih terfokus pada kendaraan yang lalu-lalang. Kulirik ke bawah, sebuah payung hitam terus Azmi pegangi, payung yang selalu ia bawa setiap hari, yang selalu ia gunakan untuk melindungi diri dari paparan sinar matahari ataupun rintikan hujan. Sikapnya yang tak mudah ditebak, serta rupanya yang menawanan, membuat siapa saja akan langsung terpikat, termasuk aku sendiri. Ah, tak seharusnya aku memikirkan hal semacam ini.

“Kamu Ratna, ‘kan?” Seketika lamunanku buyar hanya karena pertanyaan yang tak pernah kuduga akan ditanyakan olehnya. Degup jantungku semakin tak bisa dikendalikan.

“Iya. Ratnasari tepatnya,” jawabku sembari tertunduk.

“Ah, iya. Aku sering melihatmu memperhatikanku, bukannya aku terlalu percaya diri, hanya saja, aku sering menyadarinya,” kata Azmi seraya menggaruk tengkuknya, entah itu karena memang gatal atau sebab salah tingkah, aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah saat ini aku benar-benar merasa malu. Ternyata dia menyadarinya. Ah, sungguh memalukan, ternyata aku sering kepergok.

Aku hanya tertunduk, tak mampu berucap ataupun menatapnya. Sesaat kudengar suara langkah yang kian mendekat. Hingga pada akhirnya sebuah payung hitam tersodorkan ke hadapanku. Saat itu juga, aku menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Bus yang kamu tunggu sudah lewat, silakan pulang dengan menggunakan payungku,” jelasnya seakan menjawab segala pertanyaan yang masih tersimpan rapi di pikiranku. Mataku masih menatap benda berwarma hitam itu, tak pernah ada satu orang pun yang pernah kulihat memakai benda itu selain Azmi. Sepertinya, itu adalah payung kesayangannya.

“Ayo, ambillah. Hujannya masih deras, tak akan ada bus ataupun angkutan umum yang akan melintas. Jadi, pakailah dan lain kali jangan lupa bawa payung. Aku pergi,” ucapnya, lalu berlari pergi menembus hujan setelah menyimpan payungnya di sebelah tempat kakiku berpijak. Aku masih menatap punggungnya yang semakin hilang dari pandangan.

Ah, lihatlah, aku bahkan tak bisa lagi mengontrol detak jantungku saat ini, rasanya mau copot. Dengan segera kuambil payung itu, senyumku kembali mengembang.

“Ini adalah payung kesayangan Azmi. Sangat jarang payung ini digunakan oleh orang lain. Dan sekarang, Azmi bahkan rela pulang kebasahan hanya untuk meminjamkan payung ini untukku, bukankah ini momen yang manis?” ucapku sembari memeluk payung itu. Rasanya tak rela memakainya. Tapi mau bagaimana lagi, aku tetap harus memakainya.

***

Pagi ini, seperti biasa aku kembali berangkat ke sekolah. Bus yang kutumpangi berhenti. Dengan langkah pelan aku berjalan turun, tak sendiri, banyak siswa lain yang juga ikut turun bersamaku. Aku mulai melangkah masuk menuju gerbang sekolah, sambil membawa payung milik Azmi yang akan kukembalikan nantinya. Semoga saja aku bisa bertemu dengannya.

***

Langit yang cerah kembali ditutupi segumpalan awan sore ini. Rintikan hujan kembali hadir berjatuhan, membuatku kembali terjebak di tempat ini. Sudah lima menit aku menunggu, namun bus yang biasanya kutumpangi belum datang juga. Jangan bilang aku terlambat lagi. Ah, menyebalkan sekali. Untuk kali kedua, aku terjebak di situasi ini. Berharap ada pangeran yang akan menjemputku menggunakan kereta kencananya, benar-benar hanya sebuah mimpi. Dan sekarang, bukan pangeran berkuda yang datang, melainkan pangeran berpayung hitam.

“Ketinggalan bus lagi?” tanya Azmi seketika. Lamunanku kembali buyar karenanya.

“Iya, Pangeran. Eh, maksudnya Azmi,” jawabku tanpa sadar, untung aku cepat menyadarinya

“Kalau gitu, pakai payungku lagi, nanti aku pulangnya lari saja,” usulnya. Aku terkejut, mataku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Kenapa pangeranku bisa sebaik ini? Padahal payung itu baru kukembalikan pagi tadi.

“Ah, tidak-tidak. Cukup untuk kemarin saja. Lagi pula aku bisa pulang naik taksi. Kamu saja yang pulang pakai payung,” tolakku, padahal batinku bersorak mengatakan “iya”.

“Tidak apa. Kamu perempuan, harus didahulukan. Mana mungkin aku tega melihat ada gadis sepertimu harus kehujanan padahal ada payungku yang siap melindungimu? Pakai saja,” katanya sembari memberikan payungnya padaku. Aku kembali menerimannya.

“Terima kasih.” Hanya itulah kata yang bisa aku ucapkan sekarang.

“Kembali kasih. Lain kali, jangan lupa lagi bawa payung, ya! Aku tak tega melihatmu kehujanan ataupun terkena paparan sinar matahari. Aku pergi,” jelasnya, lalu berlari pergi begitu saja, meninggalkanku yang tak lagi bisa berkutik.

Ya ampun! Aku masih tersipu malu. Perasaanku makin tak terkontrol. Apakah pangeranku punya perasaan yang sama denganku? Ah, tidak-tidak. Itu pastilah tak mungkin.

Tak disangka, ternyata momen di halte merupakan tahap awal kedekatan kami. Tidak terlalu dekat hingga menjalin hubungan khusus, hanya sebatas teman biasa namun sangat akrab. Rasa yang kumiliki sebelumnya tak kusangka pula akan semakin bertambah. Siapa yang tak bisa jatuh cinta pada pangeran seperti dirinya? Dia yang terkenal ramah, santun, pintar, dan merupakan ketua rohis di sekolah kami. Tak jarang pula aku mendengar suara indahnya saat sedang melantungkan ayat suci Al-Qur’an, baik saat sedang mengimani, ataupun saat mengisi waktu luangnya. Benar-benar calon imam impian.

Namun, entah kenapa akhir-akhir ini dia seolah-olah menjauhiku. Aku berusah untuk mengingat kembali apakah aku telah berbuat salah padanya atau tidak. Namun hasilnya nihil, kurasa aku tak melakukan apa-apa. Rasanya sangat mengherankan, pertama ia mendekatiku, seolah memberiku harapan yang besar. Namun kenapa ia malah menjauh sekarang, seolah hanya datang untuk menghancurkanku? Dia benar-benar menjauh, tidak ada lagi dia dan payung hitamnya.

Hari ini aku kembali menunggu. Lagi-lagi hujan turun dan membuatku harus terjebak dalam situasi yang sama seperti minggu lalu. Aku kembali termenung, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Azmi, sebenarnya dia kenapa? Rasanya membingungkan. Sesaat kualihkan perhatianku ke sudut jalan, hingga  kembali menangkap sosoknya dalam pandangan. Dia sedang berdiri di ujung jalan sana dengan menggunakan payung hitamnya untuk melindungi diri dari serangan hujan, terus menatap ke arahku, lalu kemudian pergi begitu saja. Bahkan aku tak sempat melambaikan tangan ke arahnya. Ah, aku benar-benar bingung karenanya.

***

Pukul sebelas malam, aku masih saja terjaga. Langit masih saja tak berhenti menjatuhkan butiran beningnya, untunglah Ayah datang menjemputku di halte tadi, hingga aku bisa pulang tanpa menunggu bus ataupun sampai hujan berhenti.

Aku masih terdiam. Mataku masih enggan untuk menutup, tak ada sedikit pun rasa kantuk yang melanda. Ah, jangan bilang aku sudah mulai terkena insomnia, jangan sampai. Kulangkahkan kaki jenjangku menuju jendela, ingin rasanya menatap hujan, berharap kantuk bisa menyerangku setelah ini.

Pandanganku terus menerawang ke tepi jalan. Tak ada lagi kendaraan yang lalu-lalang, hanya tersisa genangan air di mana-mana. Namun, perhatikanku sukses teralihkan saat menangkap sosok berpayung hitam yang berdiri tepat di halaman rumahku. Aku mulai menerka-nerka, apakah itu pangeranku? Sebab hanya dialah yang selalu menggunakan payung hitam seperti itu, tapi untuk apa? Rasa penarasan semakin merasuki pikiranku, dengan cepat aku berlari meninggalkan kamarku.

Aku terus berlari, hingga pintu utama kubuka dan kulangkahkan kakiku keluar. Hujan yang cukup deras membuatku kesusahan melihat wajahnya, ingin ke sana, tapi aku takut, jangan sampai dia orang yang tidak baik, kulangkahkan kakiku kembali masuk, menutup pintu lalu menguncinya. Siapa pun dia, aku tak peduli.

***

Aku kembali bersekolah seperti biasanya. Dengan pelan aku melangkah, menuruni bus lalu masuk ke sekolah. Semoga hari yang menyenangkan.

Langkahku seketika terhenti saat aku menyadari tatapan yang dari tadi seolah terus mengintaiku. Kualihkan pandangan, dapat kulihat jelas lelaki berpayung hitam itu sedang menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa tak peduli kembali merasukiku, mungkin rasaku padanya mulai berkurang? Dia, yang telah membuatku bingung sekaligus merasa bersalah beberapa hari ini, kembali hadir untuk mendekatiku.

***

Aku kembali duduk menunggu. Namun kali ini ada yang berbeda. Ya, cuacanya. Bukan lagi hujan yang datang menyerang, melainkan paparan sinar matahari yang begitu menyengat. Rasanya gerah.

“Semoga tidak ketinggalan bus lagi.” Aku hanya melirik sesaat, sudah pasti dia yang datang, namun tak ada lagi payung hitam yang menemaninya. Tumben sekali dia berpisah dari payung hitam itu.

“Maaf, aku telah menjauhimu,” ungkapnya tiba-tiba. Aku mengerutkan alis, rasanya bingung.

“Kenapa?”

“Karena aku mencintaimu. Aku menjauh, hanya untuk memastikan apakah rasa yang kumiliki ini benar-benar rasa cinta, atau hanya sekadar rasa nyaman, dan kurasa jawabannya adalah rasa cinta. Aku tak bisa menjauhimu lagi, aku selalu ingin dekat denganmu. Menemanimu, melindungimu, dan menjadi payungmu. Walau mungkin saat ini kita masih tak bisa bersama, aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku rasakan. Berharap suatu hari nanti kita bisa bersanding dan saling mengisi satu sama lain. Dan apa yang telah kulakukan selama ini untukmu, sudah menjelaskan apa yang kurasakan terhadapmu,” ungkap Azmi dengan penuh kesungguhan. Tak ada sedikit pun kebohongan yang kutemukan lewat matanya, hanya ada tatapan ketulusan yang benar-benar mampu membuat hatiku tergugah.

Apa ini? Pangeranku punya rasa yang sama? Aku bingung mau membalasnya dengan ucapan apa sekarang, sulit dipercaya rasanya.

“Dan satu lagi, ini hadiah untukmu. Ambillah, selamat ulang tahun yang ketujuh belas, doa terbaik akan selalu kupanjatkan untukmu. Niatnya aku ingin memberi hadiah ini semalam, tapi kamu terburu-buru masuk, tadi pagi pun kamu seolah-olah menghindariku,” katanya sembari menyodorkan bingkisan kecil ke arahku.

Sedikit ragu, aku menerimanya. Ternyata dia mengingat tanggal kelahiranku, aku sendiri bahkan lupa. Dan ternyata dialah lelaki berpayung hitam yang semalam.

“Ini tanggal berapa?”

“3 Desember. Bukannya aku lupa, aku hanya pura-pura untuk melupakan,” balasnya sembari tersenyum, manis sekali, hingga sukses membuatku tersipu. Aku hanya menerima hadiah itu, terus menunduk agar Azmi tak melihat pipiku yang mungkin sudah semerah tomat.

“Ayo kita pulang, busnya sudah datang!” ajaknya, ternyata bus berwarna biru itu memang telah datang. Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam bus–dengan hati yang berbunga pastinya. Sebuah momen yang sukses membuat hatiku berdesir. Halte, hujan, dan lelaki berpayung hitam ini, benar-benar menjadi pelengkap cerita dalam hidupku.

 

Aisyahir. Pencinta warna peach dan abu-abu. IG: Aisyahir_25.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply