Yang Terlambat Menyesali
Oleh : Aisyahir
Matanya melotot tak percaya, menatap sepasang mata lelaki yang telah menjadi pasangan hidupnya selama tujuh belas tahun ini. Baru saja lima menit yang lalu mereka merasakan kebahagiaan yang dibumbui dengan kesan romantis. Namun, ketika pernyataan menyakitkan itu keluar dari mulut sang suami, semuanya berubah. Hatinya hancur saat itu juga.
“Kenapa?” Lidahnya kelu walau hanya sekadar berucap.
“Karena aku mencintai wanita lain!”
Lagi, hatinya benar-benar hancur saat ini juga. Air matanya lolos begitu saja, tak lupa meninggalkan jejak di pipi tirusnya. Dadanya begitu sesak. Matanya menutup, mencoba meredam amarah yang telah mencapai ubun-ubun. Telinganya begitu panas mendengar jawaban dari suaminya. Lelaki yang telah berjanji akan sehidup semati bersamanya. Ternyata, semuanya hanya dusta belaka. Hanya sebuah janji tanpa adanya pembuktian.
“Maaf. Aku harus memilih antara tetap bersamamu atau justru bersamanya. Dan aku memilih untuk menceraikanmu, lalu melanjutkan hidup bersamanya. Aku mencintainya, sangat mencintainya. Aku tak ingin kesempatan ini hilang begitu saja,” lanjut suaminya.
Tak tahukah ia betapa sakit yang dirasakan oleh Aina saat ini? Pertama suaminya meminta cerai, kemudian menjabarkan maksud dan tujuannya yang menambah rasa sakit sang istri. Sungguh tak berperasaannya lelaki ini.
“Aina, aku harap kamu mengerti!” tambahnya.
Tak ada jawaban dari Aina. Ia masih berusaha menahan amarahnya. Walaupun air matanya tetap tak bisa ia bendung. Untuk sesaat, ruangan yang dilengkapi oleh AC ini tiba-tiba kehilangan fungsinya. Gerah yang dirasakan Aina begitu terasa. Entah itu gerah karena suhu atau gerah karena menahan amarah.
“Ai ….” Perkataan Faris terputus kala Aina mengangkat tangan kanannya sebagai kode untuk berhenti. Faris yang mengerti langsung menutup mulut. Pastilah sulit bagi seorang Aina menerima keputusan yang hanya menguntungkan bagi Faris.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Aina sudah melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan Faris yang masih setia duduk di meja kafe—tempat di mana keduanya merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Bagi Aina, ini adalah hadiah paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Sebuah tuntutan cerai.
Dengan tergesa-gesa Aina menghentikan mobil berwarna biru yang hendak melintas. Masuk ke dalamnya, lalu memberi tahu sang sopir ke mana arah tujuannya. Kemudian mobil yang ia tumpangi melesat pergi.
***
Aina terus berjalan dengan cepat menuju kamar tidurnya. Melewati ruang tamu yang tak lagi diterangi cahaya. Mungkin anak dan pembantunya telah tidur. Ia mulai menaiki satu per satu anak tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar panggilan dari arah dapur.
“Bunda!” Aina menoleh mencari si pemilik suara. “Bunda, kok pulang sendiri? Ayah mana, Bun? Kenapa Bunda sampai nangis? Ada masalah?” tanya Aifa—anak semata wayangnya—dengan tatapan heran.
“Emm … ayahmu masih ada urusan di luar. Mungkin besok baru pulang. Dan tenang saja, Bunda tidak apa-apa, Nak, hanya kelilipan tadi. Sekarang pergilah tidur. Bunda juga mau istirahat,” dalihnya agar sang putri tak merasa khawatir. Aifa hanya mengangguk, walaupun awalnya jelas sekali raut kebingungan dan keraguan di wajah ovalnya. Sudah pasti di umurnya yang telah memasuki usia tujuh belas tahun, ia akan mulai mengerti akan masalah yang dialami oleh orangtuanya.
***
Usai mencurahkan seluruh isi hatinya lewat doa di sepertiga malam. Aina kembali berzikir untuk menenangkan hati dan pikirannya. Kedua matanya masih juga setia menumpahkan cairan bening. Sungguh, kejadian semalam sangat menyakiti hatinya. Ia tak pernah menyangka suami yang sangat dipercaya dan dicintainya ternyata juga mencintai wanita lain.
Masih kurangkah pangabdianku selama ini padamu? Masih belum cantikkah aku di matamu hingga kamu berpaling ke wanita lain? Apakah masih ada kekurangan yang tak bisa kulengkapi hingga kamu mencari pelengkap baru? Sebegitu cintanyakah kamu hingga tak ingin menduakannya dengan menjadikannya maduku saja? Kamu begitu tega, Mas Faris.
Air matanya kian bertambah. Membasahi mukena yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus jejak air matanya. Ia beranjak, merapikan kembali peralatan shalatnya lalu duduk di tempat tidur. Hingga saat ini, suaminya belum pulang juga. Rasa sakit kembali ia rasakan. Pikiran buruk tak ketinggalan melintas dalam benaknya. Mungkinkah Mas Faris ke rumah wanita itu?
Astagfirullah! Segera ia buang jauh-jauh pikiran itu, tak mungkin suaminya setega itu. Ingin menghubunginya, tapi ia sangat ragu. Diambilnya sebuah kertas yang terletak di atas nakas. Seharusnya, catatan itu diberikan pada suaminya.
***
Suara deru mesin mobil begitu jelas terdengar dari halaman depan. Dengan segera Aina pergi membuka pintu, itu pasti suaminya. Dan benar saja. Setelah pintu terbuka, muncullah sosok lelaki rupawan yang telah mengisi kekosongan hatinya selama ini. Tak heran jika banyak wanita yang mencintai suaminya. Sikapnya yang tak pelit kata serta fisiknya yang menawan membuat wanita mana saja akan langsung terpikat. Namun sayang, lelaki ini sangat mudah menyakiti hati orang lain.
Faris mulai melangkah masuk tanpa memedulikan keberadaan Aina. Wajahnya sedikit murung dengan tatapan kosong.
“Aina akan menerima permintaan Mas Faris. Aina siap diceraikan, jika itu memang membuat Mas Faris bahagia.” Pernyataan Aina yang tiba-tiba sukses menyita perhatian Faris. Sontak lelaki itu berbalik, menatap wajah istrinya yang terlihat pucat. Namun, ia tak memedulikan wajah istrinya. Ia hanya peduli pada keputusan Aina yang sukses membuat hatinya lega.
“Benarkah? Kalau begitu, kita akan ke pengadilan secepatnya,” kata Faris dengan tampang begitu bahagia. Sungguh, kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Aina mencoba untuk tetap tegar, walaupun kebahagiaan suaminya sangat menyakiti hati kecilnya.
“Tapi ada syaratnya!”
“Apa? Apa pun akan aku lakukan, asalkan bisa terlepas dari pernikahan membosankan ini.”
Tangis yang sedari tadi terus Aina tahan, akhirnya pecah juga. Masih punya hatikah lelaki ini?
“Aku ingin, selama seminggu ini kita tetap seperti layaknya suami-istri yang saling mencintai. Aku tak ingin Aifa sampai merasa terganggu dan tak bisa fokus pada ujiannya. Setelah itu, terserah Mas Faris saja. Aku akan menerima apa pun keputusan Mas Faris.” Aina tertunduk. Sulit rasanya mengutarakan syarat yang ia pinta. Walau bagaimanapun, ia masih sangat mencintai suaminya.
“Baiklah. Hanya seminggu, bukan? Aku akan menerimanya. Setelah itu, bersiaplah pergi ke pengadilan. Dan, ya. Aifa akan ikut bersamaku. Rasanya aku ragu jika harus memberikan tanggung jawab Aifa padamu. Lagi pula, calon ibu barunya jauh lebih baik darimu,” balasnya yang berisikan cibiran untuk Aina. Lagi, hati Aina kembali hancur untuk yang kesekian kalinya.
Tanpa kamu suruh pun aku akan tetap pergi, Mas. Dan aku bersyukur, setidaknya kamu masih mau menerima Aifa dalam kehidupan barumu. Tak apa jika kamu gagal menjadi sosok suami yang baik bagiku. Asalkan kamu tetap mampu dan berhasil menjadi sosok ayah bagi Aifa, itu sudah lebih dari cukup. Aku ikut bahagia.
***
Sesuai permintaan Aina. Faris benar-benar bertingkah layaknya sosok suami yang sangat mencintai istrinya. Setiap hari ketiganya selalu menghabiskan waktu bersama. Bersenda gurau dan saling bertukar cerita. Bahkan, Aifa dibuat takjub akan rasa cinta yang dimiliki oleh ayah dan bundanya. Ingin rasanya ia memiliki suami seperti ayahnya. Pada dasarnya, anak perempuan akan mencari sosok ayahnya pada diri suaminya.
Sedangkan Faris sendiri, entah kenapa ia malah larut dengan peran ini. Ada rasa tak tega meninggalkan keluarga seharmonis ini. Sebenarnya apa yang ia cari? Bukankah ia sudah memiliki istri yang baik, patuh, salihah, bertanggung jawab, dapat mengurus rumah, serta anak dan dirinya sendiri? Lantas, kenapa ia harus mencari pelengkap baru dalam hidupnya? Bukankah semuanya sudah lengkap?
Berbagai pikiran tak jelas akan keputusannya sendiri membuat Faris tak dapat berpikir jernih. Kepalanya berat, banyak beban yang harus ia pikirkan. Hingga waktu berlalu begitu saja dan masa seminggu itu telah berakhir. Kini, waktunya Aina memenuhi janjinya. Ia sudah mengikhlaskan segalanya. Jika anak dan suaminya bahagia, ia pun juga akan ikut bahagia. Walaupun ada luka yang harus ia rasakan.
Dengan langkah yang berat, Faris mulai meninggalkan rumah. Setelah menemukan jawabannya lewat shalat Istikharah, Faris sudah mantap untuk memutuskan hubungannya.
***
“Apa?!”
“Maafkan aku. Sepertinya aku tak bisa menikahimu, Farah. Aku sudah salah selama ini. Aku sudah bertindak bodoh dan tanpa sadar aku telah menyakiti hati seseorang. Kuharap ia masih sudi menerimaku,” jelas Faris, tertunduk.
Faris benar-benar merasa bersalah, sedangkan wanita yang dipanggil Farah itu masih sibuk mencerna pernyataan Faris. Ciri fisiknya tak jauh beda dengan Aina. Jenis pakaian yang mereka gunakan pun sama, sama-sama berpakaian tertutup. Lantas, kenapa wanita ini ingin menjadi orang ketiga? Sejujurnya, ia pun tak ingin.
“Aku sudah mengatakan ini sebelumnya. Tapi Mas Faris tak pernah ingin mendengarkanku. Mas Faris tak perlu menikahiku, aku juga tak mengiginkannya. Mana mungkin aku tega menyakiti hati kaumku sendiri? Lupakanlah perjanjian Mas Faris dengan Ayah. Sungguh, aku tak menerima perjanjian perjodohan ini. Karena pernikahan bukanlah sebuah perjanjian, tapi suatu ikatan suci yang didasari oleh cinta. Dan aku tahu, Mas Faris sangat mencintai Mbak Aina. Maka, kembalilah padanya. Aku ikhlas, Mas.”
Air mata Faris tumpah begitu saja. Kenapa ia harus bersikap bodoh, walaupun sebenarnya ia juga mencintai wanita yang ada di hadapannya ini? Bukan hanya demi perjanjian, tapi karena karakter dan rupa wanita yang bernama Farah itu. Tapi sekarang, ia telah sadar akan pengkhianatan yang telah ia lakukan. Faris hanya mengangguk, kemudian berpamitan pulang ke rumahnya. Ia akan kembali pada istrinya.
***
Saat mobilnya hendak memasuki halaman. Ada sesuatu yang janggal menurutnya. Entah apa yang terjadi, sehingga begitu banyak orang yang memenuhi halaman rumahnya dengan warna pakaian yang sama, hitam. Tangisan histeris mulai terdengar hingga ke telinga Faris. Dengan cepat ia turun dari mobil, lalu berlari masuk ke dalam rumahnya.
Tubuhnya tiba-tiba kaku saat mendapati tubuh seseorang yang terbujur kaku di ruang tamu. Faris menatap satu per satu tamu yang ada. Semuanya menangis pilu, tak ketinggalan Aifa yang menangis di dekat jasad tersebut. Tapi tunggu! Di mana istrinya? Kenapa ia tak melihatnya.
“Aina! Mana Aina?” Faris mulai mencari sosok istrinya dengan wajah kebingungan. Orang-orang hanya memandanginya dengan tatapan prihatin. Faris semakin heran. Terlebih lagi saat Aifa semakin menangisi orang yang berbaring di depannya.
“Aifa! Mana bunda kamu, Nak? Bunda baik-baik saja, ‘kan?” tanya Faris masih tak mengerti. Aifa hanya mengeleng pelan. Tangisnya kembali pecah.
Karena tak mendapat jawaban, dengan pelan Faris mulai membuka kain yang menutupi kepala jenazah tersebut. Dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa itu adalah jasad istrinya. Seketika ia terduduk lemas.
Baru kemarin ia meninggalkan Aina, tapi Aina sudah pergi jauh dan tak akan pernah kembali lagi. Bahkan ia tak sempat mendengar keputusan akhir suaminya. Air matanya kembali berjatuhan. Rasa bersalah yang tiada habisnya membuat Faris begitu tersiksa.
“Aina! Aina, tolong maafkan Mas. Mas janji tak akan menyakitimu lagi, oke?”
Para warga yang hadir merasa haru melihat Faris yang tak henti-hentinya mencoba membangunkan istrinya. Faris benar-benar tak percaya istrinya akan pergi secepat ini. Terlambat sudah penyesalan yang dirasakan oleh Faris.
***
Tiga hari telah berlalu sejak kematian Aina. Faris sudah seperti manusia yang kehilangan separuh nyawanya. Mengurung diri di kamar, tak ingin makan dan minum, serta tak ingin melakukan apa pun. Kondisinya benar-benar memprihatinkan.
Sesaat perhatiannya tertuju pada kertas putih yang ada di atas nakas. Diraihnya dengan tangan bergetar dan mulai membacanya pelan. Saat itu juga air matanya kembali berjatuhan. Ternyata, isi dari lembaran tersebut tentang penjelasan sakit yang diderita istrinya, penyakit kanker. Pantas saja wajahnya selalu terlihat pucat. Tapi, apa pedulinya? Ia hanya bisa menyakiti hingga lupa untuk mengasihi. Ia sudah terlalu jahat, seharusnya ia menemani istrinya di saat-saat sulitnya, bukan malah menambah rasa sakitnya. Bahkan, ia tak tahu masalah ini. Suami macam apa dia sebenarnya? Ia memang tak berguna! Dan sekarang, ia baru paham akan maksud istrinya seminggu ini. Ia hanya tak ingin nama suaminya tercoreng sebagai suami yang gagal di hadapan Aifa.
“Maafkan aku, Aina. Aku memang bodoh! Tak berperasaan! Dan tak pernah mensyukuri nikmat yang ada. Terima kasih atas cinta dan kesabaran yang kau berikan padaku.” Faris memejamkan mata seraya memeluk foto sang istri. Ia telah melakukan kesalahan dengan mengkhianati cinta istrinya. Namun sekarang ia telah menyesalinya, walaupun itu sudah amat terlambat. Dan tanpa ia sadari, ada seseorang yang ikut menangis di balik pintu, Aifa.(*)
Aisyahir. Pencinta warna peach dan abu-abu. IG: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata