Menikah dengan Hantu

Menikah dengan Hantu

Menikah dengan Hantu

Oleh : Fika Anggi

 

Umurku hampir tiga puluh dan masih betah melajang. Tentu saja Bapak dan Ibu selalu menggerutu jika membicarakan keadaanku dengan para sepupu yang sudah kawin lebih dulu. Aku tidak terlalu peduli dengan masalah ini sebenarnya. Terlambat menikah di zaman sekarang bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan. Hanya saja aku adalah anak tunggal, orangtuaku perlu meneruskan garis keturunan.

Tentu saja aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa lelaki. Aku hanya tak pernah menganggap serius mereka semua. Ada saja alasanku untuk putus dengan kekasih-kekasihku ketika bosan. Dan selalu saja ada satu-dua hal yang membuatku cepat bosan pada mereka. Beberapa mahasiswa semester akhir ada yang mencoba mendekatiku, tapi kukira itu hanya usaha untuk memuluskan jalan ketika skripsi mereka disidangkan. Ada juga bekas teman semasa sekolah, yang kini menyandang status duda, ingin mempersuntingku. Namun, aku selalu berkelit dengan alasan malas diledek teman-teman satu angkatan.

Aku mungkin memang terlalu asyik dengan duniaku. Mengajar di dua universitas swasta membuat aku kerap tidak punya waktu untuk bertemu banyak orang selain para mahasiswaku. Lagi pula, aku punya keyakinan bahwa aku akan bersuamikan sesosok hantu.

Ada sebuah kejadian yang kualami ketika aku masih usia empat atau lima tahun. Malam itu hujan lebat dengan kilatan petir beberapa kali. Bapak ada di Kota J untuk mengerjakan sebuah proyek jalan bersama kawannya. Sedang Ibu pergi melayat ke rumah salah seorang kerabat jauh bersama bersama Bibi Ning, adik Ibu yang tinggal di belakang rumah. Untuk menemaniku, Ibu meminta suami Bibi Ning mengajak anaknya tidur di rumah.

Dik Oni duduk di depan layar televisi yang menayangkan serial Casper dan tiga paman menyebalkannya. Aku asyik menggambar, mencoret-coret kertas dengan spidol aneka warna pemberian Bapak. Kemudian listrik padam dan suara televisi hilang, berganti teriak ketakutan sepupuku. Paman Yanto berusaha menenangkan dengan menggendongnya sambil mencari lampu templok di dapur. Karena tak bisa melanjutkan menggambar, aku memilih masuk kamar Ibu sambil meraba-raba dalam gelap. 

Aku tidak pernah takut pada kegelapan. Kata Ibu, itu karena aku lahir ketika subuh belum datang. Menurut kepercayaan orang Jawa, seorang anak yang lahir antara tengah malam dan dini hari akan menjadi anak yang punya nyali jika harus berurusan dengan makhluk-makhluk astral. Mendengar Dik Oni girap-girap1 ketakutan, aku yakin ia lahir ketika azan Zuhur berkumandang.

Samar-samar kutahu Dik Oni tidur setelah Paman Yanto menggendong sambil menembang lagu Jawa. Bapak tak pernah menembang lagu itu untukku, karena aku tak pernah lama terjaga jika lampu sudah dipadamkan. Aku mudah terlelap dalam gelap dan akan segera tergeragap bangun kalau Ibu menyingkap kelambu dan cahaya matahari meriap-riap masuk dari kaca jendela kamar.  

Hujan di luar masih cukup deras, Ibu terlambat pulang karena jalanan gelap akibat listrik padam. Ibu dan Bibi Ning pasti memilih menunggu ketimbang ketemu weling di setapak yang mereka lewati. 

Aku pasti sudah setengah lelap ketika rasanya ada sesuatu berbaring di balik punggungku. Aku selalu menghadap tembok saat tidur, karena kebiasaan mencoret-coretkan telunjukku di tembok sambil berimajinasi tentang banyak hal. Aku lupa apa yang kukhayalkan malam itu sampai aku ketiduran.

Aku sedang duduk di padang bunga dan berbicara dengan beberapa ekor kupu-kupu yang hinggap di telapak tanganku. Aku tertawa-tawa girang saat segulung awan mendekat pada matahari dan menyelimutinya. Lalu sekitarku menjadi gelap dan angin hangat meniup-niup tengkukku. Tak ada orang di belakangku. Hantu?

Rokku tersingkap dan aku bisa merasakan dingin merayap di antara dua pahaku, mungkin hanya angin. Lalu telapak yang hangat mengusap belakang lutut, paha, dan juga pantatku. Aku seolah ada di antara tidur dan terjaga, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Hantu ini sedang mengajakku bermain, pikirku. Tapi aku sedang tak ingin main. Aku tak mau menimbulkan suara-suara yang bisa membangunkan sepupuku yang penakut itu. 

Ketika bangun esok paginya, aku hanya merasa selangkanganku perih. Aku turun dari tempat tidur dan berjinjit ke kamar mandi. Meski begitu, aku tak berani berkata apa-apa pada Ibu. Kalau Ibu tahu aku bermain-main dengan hantu, maka aku akan diajak mengunjungi Mbah Talka. Aku paling sebal bertemu orang tua berambut putih dengan gigi-gigi merah seperti habis minum darah. Kata Ibu, itu bekas menyirih. Setiap Ibu membawaku ke sana, Mbah Talka selalu berkumur dengan air dari gelas yang sudah diberi garam lalu menyemburkannya padaku. Dari mulutnya yang penuh lendir bewarna merah itu! Aku yang baru umur lima tahun saja jijik, tapi entah kenapa Ibu biasa saja. Malah tersenyum dan mengucapkan terima kasih.  

Sebab itu aku diam dan menahan selangkangan yang perih ketika berkemih. Jika hantu itu mengajak main aneh-aneh lagi maka akan kubacakan ayat Kursi. Aku ingat sebagian, lebih banyak yang lupa jika tidak dituntun Bapak. Kata Bapak, hantu yang nakal dan jail akan pergi kalau dibacakan ayat Kursi. Tapi sebelum malam itu aku tidak bertemu hantu yang nakal dan jail. Mereka hanya menampakkan sosok yang bisa membesar tiba-tiba atau wajah yang rompal setengah.

Beberapa malam setelah itu, datang sosok lain ke kamarku. Seorang wanita yang cantik meski wajahnya sepucat purnama. Dia berkata bahwa aku tidak akan menikah jika tidak dengan hantu. Hantu yang membuat aku pipis darah? tanyaku. Perempuan itu diam. Aku mencibir. Aku tak mau menikah dengan hantu yang tak berani muncul lagi setelah mengajak main dan membuatku terluka, ejekku. Waktu berlalu dan kawan hantu yang napasnya hangat itu tak pernah lagi datang berkunjung apalagi melamar pada Bapak dan Ibu.   

Setelahnya aku masih kerap melihat hantu. Hanya saja mereka tidak berani mendekat atau menyentuhku. Kadang aku ingin bermain dengan hantu kanak-kanak bermata sipit yang tinggal di bawah pohon nangka di belakang rumah Pak Dul Karim. Namun, dia terlalu pemalu setiap aku mendekatinya, kami seringnya hanya bertukar senyum. Ketika aku sudah mendapatkan haid pertama, perlahan hantu-hantu mulai menghilang. Kalau sedang berkunjung ke suatu tempat baru aku masih mendapat kenalan baru meski tidak selalu.

Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku juga berpacaran beberapa kali. Ketika hampir menyelesaikan kuliah sarjana, seorang pemuda yang saat itu tercatat sebagai pacar menyentuh kemaluanku. Aku sangat marah waktu itu. Meremas susu atau mengulum bibir, aku tidak keberatan, tetapi menyentuh kemaluan membuatku meradang. 

Sejak belajar organ reproduksi di jenjang sekolah menengah pertama aku tahu bahwa kemaluan hanya diperuntukkan bagi suami. Aku tidak mau sembarang orang menyentuhnya. Lagi pula, aku sudah telanjur yakin bahwa aku akan menikah dengan hantu. Kemudian kuputuskan dia dan sejak itu jadi sangat berhati-hati memilih lelaki. Bosan sedikit, kutinggalkan. 

Bapak dan Ibu tak kurang-kurang menasihati agar serius dengan satu lelaki, tapi aku selalu tersenyum dan mengatakan kalau sudah ketemu jodohnya nanti pasti berangkat ke penghulu. Sebuah jawaban klise tapi ampuh. Aku tidak mungkin mengatakan pada mereka bahwa aku sedang menunggu jodohku yang mungkin (cuma) hantu.  

Keduanya seolah putus asa, segala cara telah digunakan untuk mendorongku memilih satu pria untuk diajak membangun rumah tangga. Beberapa calon bahkan diperkenalkan Bapak, ada yang kutolak mentah-mentah bahkan sebelum Bapak mengenalkannya, ada juga yang kutemui sekali dua kali lalu berlanjut entah. 

Ibu malah lebih parah. Pernah sekali waktu Ibu meminta fotoku yang paling cantik sebanyak tiga lembar. Meski tak tahu akan digunakan untuk apa, kuberikan juga foto sisa ijazah pascasarjana. 

Bukan foto begini, Ndhuk2. Foto yang senyum manis sambil gegayaan, gitu lho, kata Ibu. Setelah kuturuti, baru kutahu kalau foto itu dibawa oleh Ibu ke tempat Mbah Talka untuk diurapi doa-doa. Kemudian setiap ketemu calon mantu, Ibu menunjukkan foto itu. Mengetahui hal itu, bukannya marah aku malah tertawa. Betapa konyolnya Ibu percaya hal-hal mistis begitu. Sekaligus betapa tololnya aku yang masih meyakini bahwa jodohku mungkin saja memang hantu. 

Beberapa keluarga masih berkumpul di rumah Bibi Ning. Empat puluh hari yang lalu Paman Yanto meninggal karena serangan jantung, angin duduk kata orang-orang di kampung. Petang nanti arwahnya akan meninggalkan rumah Bibi Ning untuk selama-lamanya dan seluruh keluarga sepakat mengantarkannya dengan menyembelih dua ekor kambing dan mengundang semua sanak kerabat dan tetangga dekat.

Selepas tahlil dan Yasin untuk mengantar arwah Paman Yanto, aku pulang ke rumah dan masuk ke kamar. Besok pagi beberapa mahasiswa yang bandel akan berkonsultasi. Aku perlu menyiapkan pertanyaan paling tidak masuk akal terkait skripsi mereka. Untuk perawan tua seperti aku ini, hiburan apalagi yang lebih cocok selain mengusili para pemuda ingusan dan sok tahu itu.

Ketika sedang asyik mencoret-coret pertanyaan di kertas proposal skripsi yang ada di depanku, angin berembus sepoi membelai tengkuk. Aku mungkin lupa menutup jendela sebelum keluar kamar tadi. Aku beranjak untuk menutupnya, tapi ketika menoleh, jendela itu tertutup sempurna. Aku menunggu. Pada saat-saat seperti ini biasanya ada hantu yang ingin mengobrol. Sebenarnya mereka tak benar-benar bicara, hanya usil menyembunyikan pensil, pena, atau kacamataku. Lalu begitu aku mulai menghardik, barang-barang itu tiba-tiba ada begitu saja.

“Jadi, apa ada yang ingin membantuku membuat daftar pertanyaan di kertas ini?” tanyaku tak sabar karena beberapa saat hening.

Kemudian sosok Paman Yanto terlihat di dekat jendela kamar.

“Paklik ajenge tindhak sakniki?”3 Paman Yanto mungkin ingin berpamitan, tapi aku tidak yakin dapat mencium tangannya seperti biasanya.

Paman tidak menjawab hanya tersenyum kemudian memberi isyarat agar aku berbaring menghadap tembok. Dengan perasaan bingung aku menurut. Sesaat setelahnya, kurasakan embusan yang sama di tengkukku bertahun-tahun lalu. Juga belaian yang sama di anak rambutku, usapan yang sama di belakang lutut, paha, dan juga pantat.

Paklik?4 [*]

Catatan :

  1. Berteriak-teriak penuh ketakutan (Bahasa Jawa).
  2. Panggilan kesayangan untuk anak perempuan dalam Bahasa Jawa.
  3. “Paman hendak berangkat sekarang?” (Bahasa Jawa).
  4. Paman 

 

Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi ibu, manusia dan penulis yang baik. 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply