Kau, Aku, dan Manis

Kau, Aku, dan Manis
Oleh : Ning Kurniati

Kau pernah melihat kematian? Tentu saja kujawab iya. Sebenarnya aku tidak tahu harus menjawab seperti apa pertanyaan yang tak berarti itu. Besar dugaanku, kau hanya berusaha menyambung pembicaraan kita yang terhenti pada tengah malam itu dan aku menghargainya. Bagaimanapun dengan segala keterbatasan yang kau miliki, kau begitu berusaha untuk menyenangkan aku yang tidak mudah senang. Mati. Kematian.

Kata beberapa orang, kita adalah dua orang aneh yang tidak mungkin ditakdirkan Tuhan untuk menyatu. Seolah hubungan kita sebuah kemustahilan. Banyak hal yang mereka tidak terima. Adalah hal pertama yang membuat pupil mata-mata itu jadi berhenti gerak adalah kesukaan kita yang boleh dikata terbalik. Kau laki-laki harusnya menyukai hewan yang agak keras. Keras itu mengandung makna yang berbeda-beda bagi semua orang. Bagimu, kucing itu juga keras. Ia bisa mencakar, melukai juga, sama halnya dengan anjing yang bisa mengigit. Tapi tetap saja masyarakat kita mengategorikan kucing seharusnya dipiara oleh perempuan. Tipe hewan yang lembut. Sedang aku lebih menyukai kuda. Hewan yang dengannya, aku tidak perlu repot-repot memikirkan kelakuannya bila ditinggal. Ia tidak akan mencakar seperti anak-anak Manis. Katamu, tunggu sebentar lagi. Anak-anak kucing itu juga sama seperti manusia, ia akan mencontoh induknya. Tetapi aku sudah lelah menunggu, anak-anak Manis masih saja begitu. Justru semakin hari ia semakin gesit berlarian ke sana kemari di dalam dan luar rumah, mencakar apa saja, termasuk kakiku ketika aku tidur.

Kau tertawa ketika aku mengeluhkan ini kepadamu, ketika kakimu baru saja menginjak ubin pertama setelah pintu. Kucing-kucing itu menyukaimu, ia hanya ingin mengajakmu bermain. Itu saja. Kesimpulan yang amat tidak tepat. Bahkan kau tidak khawatir aku terluka atau tidak. Dan mana ada kasih sayang ditunjukkan dengan mencakar. Itu menyakiti bukan menyayangi. Dan itulah alasan aku tidak menyukai kucing, hewan rumahan yang menyusahkan batin.

Apa kuda tidak merepotkan? bantahmu suatu hari. Saat itu Manis sedang hamil. Entah siapa yang menghamilinya. Kau menolak kekhawatiranku terkait kerepotan apa yang akan dihadapi kelak. Menurutmu, itu sudah melewati ambang batas. Sebelum-sebelumnya aku tidak resah sedikit pun dengan kehadirannya. Tetapi melihatnya sebelum aku pergi dan ketika pulang, perut itu, sorot matanya, miaw-nya. Oh, itu membuatku … entahlah, aku tak bisa mendefinisikannya. Aku rasa ia meminta kasih sayang dariku dan aku tidak sudi memberikan.

Tentu saja, bagiku kuda itu tidak merepotkan. Kudatangi ia di pagi hari. Membawakannya minum dari air cucian beras. Meminta Pak Amin mengambilkan pakan sekaligus memberinya ketika aku bepergian. Di hari libur kami bisa berjalan-jalan keluar. Tentu kau juga ikut. Dan kita sama-sama tahu ia begitu bermanfaat karena bisa menemaniku dan kau berolahraga. Sedang Manis? Ya Tuhan ….

***

Tidak mudah untuk menemukan lingkungan yang benar-benar cocok memenuhi segala aspek yang diinginkan. Terlebih di kota metropolitan seperti Kota M. Sebuah keberuntungan ungkapmu ketika malam pertama menempati rumah kita. Dan karena itu, kau mengatakan kita harus bertahan sekuat apa pun cobaan yang datang menghantam. Bukankah badai akan berlalu? Aku tersenyum menanggapi dan kita menutup malam itu dengan berpelukan, amat lama seolah takut bahwa semua yang telah lalu hanyalah awal mula, ada badai yang menggunung menanti di depan.

Kau laki-laki yang taat pada agama. Sebagian teman-teman mengatakan aku harus bersyukur untuk hal itu. Sulit mencari yang sepertimu, katanya. Laki-laki yang siap menerima segala hal yang ada pada diri pasangannya. Sebaliknya sebagian teman-temanku berkata, hati-hati nanti kau disesatkan. Adakah manusia yang hatinya betul-betul murni mendekati nabi. Selalu ada b setelah a. Benarkah?

Tentu saja tidak. Aku mengenalmu luar-dalam. Setelah sejauh ini mengayuh langkah, mana mungkin khianat tumbuh menjadi benteng pemisah. Mustahil dan inilah kemustahilan yang tepat. Sebab kau memiliki segunung cinta dan aku pun sama. Aksi berbanding lurus dengan reaksi.

***

Manis memiliki tiga orang anak. Semuanya berbulu putih dengan belang-belang oranye di ujung ekor dan kepala. Lain dari bagian itu semuanya putih. Menarik. Dengan bulu itu ia bisa menyihir siapa saja yang melihatnya untuk berdecak kagum, tersenyum, dan siap untuk merengkuhnya. Inilah yang menjadi kebingungan orang-orang, kenapa aku tidak bisa menyukainya. Sungguh, aku tidak tahu. Kadang-kadang aku juga bingung. Bila semua orang tersihir dengan hal yang dimiliki Manis dan anak-anaknya, bagiku itu adalah sumber kejijikan. Kadang-kadang aku berpikir ia terlampau bening untuk bulu pada hewan. Bahkan kau hampir tidak pernah memandikannya. Tetapi, katamu kucing memang begitu. Pemiliknya tidak perlu repot untuk mengurusinya termasuk memandikan. Ia bisa beradapatasi termasuk memakan apa yang dimakan sang pemilik. Dan karena itu aku semakin tidak menyukainya. Aku iri ia tidak bergantung padamu sedangkan aku kebalikannya—sangat bergantung, membutuhkanmu ada dalam setiap jengkal hidupku. Padahal kita sama-sama tahu kami sama-sama kepunyaanmu. Memang aku yang bodoh mau-mau menyamakan diri dengan hewan. Dan hewan itu sinonimnya binatang, bukan? Tunggu, aku ini binatang juga apa bukan?

***

Keluargamu dan keluargaku mulai tahu tentang semua yang di antara kita. Kemarin Ibu menelepon menanyakan keberadaanku dan dengan siapa. Tidak mungkin ia tiba-tiba menghubungi hanya untuk itu setelah mendiamiku berbulan-bulan bahkan menutup pintu rumah dan tak lagi menganggapku anak. Kau pun belakangan ini bila menerima telepon selalu menjaga jarak agar sebisa mungkin aku tak mendengar percakapanmu dengan si penelpon. Aku tahu itu ibumu, ibuku seharusnya juga bila saja …. Entah siapa yang membocorkan. Setahuku lingkup pertemanan kita saat ini tidak memungkinkan untuk mereka bisa berkomunikasi dengan keluargaku maupun keluargamu. Atau mungkin adikmu itu si Agus mulai mencampuri urusanmu lebih jauh. Aku tahu meski ia tidak mengungkapkan, ia memiliki segunung kebencian terhadapku.

Aku tidak tahu sekotor apa diriku di hadapan keluargamu. Pun tidak tahu sejahat apa dirimu di mata orangtuaku. Yang jelas kita sama-sama kotor, buruk, jahat di hadapan mereka. Tak ada satu orang pun yang mau mengerti. Padahal Tuhan tidak jahat dengan menghadirkan cinta pada hati manusia. Cinta adalah rahmat, tetapi bagi mereka cinta kita tidak benar. Walau begitu tetap saja bagiku Tuhan tidak jahat, kok.

Tidak, aku tidak bisa merelakan apa yang sudah kubangun perlahan hancur oleh orang-orang yang tak punya hati. Mereka boleh kusebut jahat? Apa aku berdosa? Katamu, tak usah mengecap. Yang ikhlas, ya! Sengguh lelaki dengan iman yang baik.

“Eh, ibu di sebelah rumah baru saja pulang dari ujung lorong. Kau tahu suami dari ibu yang rumahnya paling ujung itu, tadi siang ditemukan gantung diri.”

“Loh, kenapa bisa? Orangnya terlihat baik-baik saja selama ini. Beberapa kali aku sempat ketemu.”

“Tidak ada yang tahu apa penyebabnya.”

“Apa yang dikatakan istrinya?”

“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang janggal atau aneh. Semuanya normal.”

“Apa kata polisi atau dokter?”

“Sebenarnya polisi—bahkan orang-orang—agak sedikit sangsi. Kau tahu biasanya orang yang bunuh diri itu bila tercekik lidahnya akan menjulur keluar, sedangkan bapak itu tidak. Hanya celananya saja yang basah.”

“Gantung dirinya di mana?”

“Di dapurnya. Itu palang kayu yang digunakan untuk menyanggah bubungan atap rumah. Satu tangannya juga ikut terikat di palang kayu yang lain.”

Pembicaraan kita terhenti, pertanyaanmu tak berlanjut. Padahal aku sudah berharap dengan memiliki kabar yang tidak mengenakkan sekaligus menyentak seharusnya membuat kita lama-lama berdialog lalu membicarakan perihal kita. Intim seperti yang lalu-lalu. Tidakkah kau kasihan dengan ibu itu. Ia baru saja pulang dari pekerjaannya lalu mendadak mendapati suaminya mati. Aku hanya takut pada segala kemungkinan-kemungkinan yang bahkan—mungkin—tak pernah terlintas dalam benakku. Tapi sudahlah, mungkin sekarang saatnya hubungan kita surut seperti air yang habis pasang.

Manis diikuti anak-anaknya masuk melewatiku yang duduk ogah-ogahan di ruang tamu. Ia berjalan sambil mengeong seolah yang dilewatinya barusan adalah benda mati. Ia tidak lagi berputar-putar pada kakiku, mendongak menatapku menyorotkan kasih sayang.

Kucing itu aku sungguh membencinya. Salah bila kau mengatakan induknya adalah si Manis itu. Yang benar kaulah induknya. Lihat saja kau tidak acuh, ia pun ikutan tidak acuh. Oh, jangan-jangan sainganku dari awal memang ia dan anak-anaknya.

“Kau pernah melihat kematian?”

“Yah.”

“Siapa yang mati?”

“Manis.”

“Siapa Manis itu?”

“Kucing suamiku.”

“Kenapa kucing itu bisa mati?”

“….”

“Kau membunuhnya?”

“….”

“Kau ingat namamu?”

“Aim.”

“Nama lengkap?”

“Baim Kaisar.” (*)

 

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat disapa melalui link bit.ly/AkunNing

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply