Tabungan Kuliah Aisyah

Tabungan Kuliah Aisyah
Oleh : Jihanalmas

Kubuka tudung saji kemudian menghela nafas, sepiring tempe dan sebakul nasi, lagi. Kuurungkan niat untuk mengambil piring dan alat makan lainnya. Aku menutup kembali tudung saji itu seperti semula kemudian berlalu menuju kamarku. Sudah seminggu ini menu yang tersaji di meja makan selalu begitu, sepiring tempe dan sebakul nasi yang sudah dingin keduanya, tidak membuat berselera.
Kali ini aku kesal, baru dua hari lalu aku memberikan dua per tiga gaji ku untuk keperluan membeli bahan pokok di rumah, aku sengaja hanya mengambil sedikit bagian dari gajiku hanya untuk uang bensin dan kuota, bahkan aku tidak sempat menabung untuk kuliahku, karna selebihnya ku berikan semua gajiku kepada bunda, berharap lauk di hari berikutnya tidak lagi sepiring tempe yang sudah dingin menunggu aku pulang kerja.
Aku bekerja disebuah pabrik sebagai buruh produksi, ayah yang sudah pergi sejak bunda mengandung adik membuat kehidupan keluarga kami begitu prihatin. Berusaha menghemat sebisa mungkin karena saat itu bunda tidak bekerja dan aku masih sekolah. Kami hanya mengandalkan uang pesangon ayah yang tidak banyak itu.
Setelah adik lahir, bunda bekerja sebagai buruh di tempat daur ulang sampah. Kami hidup prihatin karena biaya sekolahku pun tidak bisa dibilang murah, aku tidak pernah mengeluh untuk itu. bahkan ketika berhari-hari kami hanya makan nasi dan tempe goreng, tanpa sambal karena harga cabai terbilang cukup mahal bagi kami.
Enam tahun kemudian aku lulus sekolah menengahku. Aku diterima bekerja disebuah pabrik sebagai buruh. Tidak apa-apa, setidaknya gajiku sedikit lebih banyak dari gaji ibu di tempat pengolahan sampah. Aku bisa membantu pendidikan adikku dan juga kami bisa makan tempe goreng beserta sambal atau makan ayam di awal bulan setelah gajiku keluar, walaupun aku harus bekerja lebih keras, bekerja sampai malam karena aku selalu mengambil lemburan, aku bersyukur untuk itu.
_ _ _
Aku mengeliat, mengerjapkan mata beberapa kali, suara adzan memenuhi indra pendengaranku, rupanya hari sudah berganti. Aku tertidur setelah semalam pulang kerja tanpa mengisi perutku karena terlalu bosan dengan tempe. Aku mengikat rambutku kemudian berjalan menuju kamar mandi mengambil wudhu. Kamar ibu sudah menyala, artinya beliau sudah bangun.
Aku kembali ke kamarku untuk menunaikan sholat subuh, setelah selesai segera kurapikan kembali kamar dan berjalan menuju dapur. Biasanya pagi hari bunda sudah menyiapkan aku dan adiku sarapan sebelum berangkat kerja, mungkin hari ini aku bisa request menu agar berbeda. Namun pagi ini aku tidak melihatnya, di meja makan sepiring tempe dan sebakul nasi yang tidak kumakan semalam masih utuh. Kemana Bunda? Aku berjalan menuju kamarnya membukanya perlahan, hanya adik yang masih tertidur di sana. Aku membangunkannya pelan, dia mengeliat. Kemudian menatapku.
“Bunda kemana Dek?”
“Sudah berangkat Kak. Kata Bunda tempenya buat sarapan kita.” Katanya kemudian kembali memejamkan mata.
Aku kembali ke dapur, melihat tudung saji itu lagi, rupanya tempe yang sekarang ada di meja makan bukan tempe yang semalam aku lihat, ketika ku sentuh masih ada sisa hangat disana. Sepertinya bunda menggoreng tempe sebelum aku bangun. Tapi kenapa tempe lagi? Walaupun pagi ini kutemukan sambel kecap di sana.
Aku mengambil uang kemudian keluar rumah untuk membeli telur di warung depan rumah, tidak lupa aku membelikan adek bubur ayam yang biasa berjualan di depan rumah, mungkin adek juga bosan dengan sepiring tempe, begitu fikirku.
Sampai rumah kulihat adek sedang makan tempe yang terhidang di meja makan tadi, ia sangat lahap memakannya seperti baru pertama kali memakan tempe, padahal menu itu setiap hari menjadi menu makan kami. Aku meletakan bubur ayam di depannya, dia melirikku sekilas kemudian melanjutkan makan.
“Bubur Dek.” Kataku, barangkali dia hanya melirik sebab tidak tahu apa yang ada di dalam plastik.
“Mau tempe aja Kak.” Katanya tak acuh. Aku diam, memperhatikan raut wajahnya yang berubah sedih.
“Bunda sakit, setiap malam Adek lihat dia mengolesi minyak urut keseluruh badannya sambil merintih menahan sakit, Adek sedih lihat Bunda masih bekerja keras disaat begitu. Apalagi setiap hari Bunda hanya makan nasi putih, membiarkan tempe untuk lauk makan kita. Adek pura-pura gak tau, karna itu yang Bunda pengen. Bunda pengin kita tumbuh baik, tanpa tahu Bunda bekerja saat sakit. Bunda pengin Kakak kuliah, jadi Bunda gak pernah pakai uang dari Kakak. Adek sedih kalo makan makanan lain. Adek mau menghargai Bunda.” Dia mengusap air mata yang mengalir di pipinya, kemudian melanjutkan makan, melahap tempe yang tinggal separuh.
Aku segera berlari ke kamar bunda dan membuka lemarinya, ternyata benar, ada tabungan dengan yang diberi nama “Kuliah Aisyah” seketika air mataku mengelir deras. Menyesali fikiran buruk yang sempat melintas terhadap bunda. Segera aku ambil handphoneku dan kuhubungi atasan untuk meminta izin. Hari ini aku bertekad memberikan sesuatu untuk bunda.

Hari sudah menjelang sore, setelah tadi pagi aku mengajak adek ke pasar berbelanja, kamu memasakan sesuatu yang spesial untun bunda. Sayur bayam, pepes jamur, sambel bawang, juga tempe yang menjadi lauk andalan kami. Aku menunggu bunda di teras, adek duduk di sampingku memainkan boneka yang diberi oleh tetangga kami.
Matahari hampir tenggelam, namun bunda tak kunjung datang, adek sudah kusuruh menunggu di dalam rumah karena hawa yang semakin dingin. Ketika suara adzan maghrib terdengar, suara langkah kaki mendekat, itu bunda diantar oleh Wak Idah tetangga kami yang bekerja bersama bunda. Bunda jalan sedikit pincang, Wak Idah memapahnya. Senyum yang kusiapkan untuk menyambutnya berubah menjadi tatapan khawatir.
“Bundamu ini loh Syah, Wak suruh pulang dari siang ndak mau dia, tadi sempet jatuh pula di sana. Kamu lah yang bilang ndak usah kerja dulu dia, kasian kakinya susah jalan gitu.” Kata Wak Idah sebelum berpamitan pulang.
Aku memeluknya begitu Wak Idah sudah berpamitan. Rasa haru sekaligus rasa bersalah memenuhi hatiku.
“Bun, besok Bunda ngga usah kerja ya, biar Aisyah aja yang kerja, besok Aisyah antar Bunda berobat. Aisyah ndak papa ndak kuliah, biar Bunda sehat dulu, nanti kita usaha sama-sama biar adek bisa kuliah. Aisyah minta maaf selama ini kurang bersyukur.”
“Ndak papa nak.”
Kami berpelukan, maghrib menjadi saksi, bahwa mulai saat ini aku akan memperbaiki sikapku.
___
Jihanalmas. IG jihanalmasm

Leave a Reply