Warga Dusun Indah
Oleh: Jmaulana
Aku menatap sekitar. Orang-orang beraktivitas seperti biasa tanpa merasa terganggu dengan aroma menyengat yang tercium dari desa ini. Kemudian aku melanjutkan perjalananku menuju kantor balai desa.
Sudah seminggu sejak aku menjalankan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di desa ini. Mahasiswa dari kampusku tidak bisa memilih sendiri tempat yang akan dijadikan tempat pelaksanaan KKL, karena semua pihak kampus yang mengatur, kelompok dan juga tempatnya. Dan di sinilah aku, bersama kedelapan anggota kelompokku ditugaskan di sebuah dusun yang bernama Dusun Indah.
Aroma menyengat kurasakan sejak aku menginjak dusun ini untuk pertama kalinya. Refleks segera kututupi hidungku dengan ujung hijab. Kulihat teman-temanku juga melakukan hal sama. Kupikir ada seorang warga yang sedang membakar sesuatu yang menyebabkan aroma busuk itu tercium. Seminggu setelahnya aroma tersebut selalu tercium setiap hari. Ketika aku bertanya, warga hanya menjawab itu aroma dari pabrik kemudian berlalu seakan tidak ingin memberi tahu lebih detail.
Aku mulai merasa terganggu, begitu juga dengan teman-temanku. Kami baru seminggu di sini, artinya masih satu bulan lebih waktu yang akan kami habisakan di dusun ini. Hari ini aku putuskan untuk berjalan menuju kantor balai desa, barangkali ada yang bisa menjelaskan tentang aroma yang menyengat dari desa ini.
___
Seorang pemuda yang kutaksir seusia dengan kami menyambut di depan balai desa. Dia tersenyum ramah menyambut kami, kemudian mengulurkan tangan menyebutkan nama.
“Dani,” katanya memperkenalkan diri.
Kami berkenalan. Dani ini merupakan sekretaris Desa Indah. Dia hanya lulusan SMA, namun karena kemampuannya dia ditunjuk menjadi sekretaris desa.
“Itu aroma dari pabrik, Mbak,” katanya menjelaskan singkat ketika aku tanya apa aroma yang menyengat itu. Mimik mukanya gusar, sepertinya dia juga tidak nyaman dengan aroma tersebut, namun dia seperti warga dusun lainnya tidak menjelaskan lebih.
“Pabrik apa? Barangkali kami bisa membantu mengatasinya, ada yang jurusan kimia juga di antara kami, mungkin kami bisa menemukan solusinya.” Aku mencoba membujuknya dengan logika sederhana.
“Warga dusun tidak akan suka Mbak kalo ada orang baru yang mencampuri urusan pabrik,” katanya tetap teguh tidak menjelaskan.
“Tapi …,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Dani berdiri.
“Nanti malam akan aku ajak mahasiswa ke rumah Pak Lurah, bukan wewenang saya menjelaskan, jika kalian ingin tahu, Pak Lurah-lah yang berhak menjelaskan,” katanya kemudian meninggalkan kami. Raut ramahnya tidak terlihat lagi sejak kami membahas soal pabrik itu.
Baiklah, aku memutuskan mengajak teman-temanku menemui Pak Lurah nanti malam.
___
Tepat setelah magrib kami berkumpul di depan balai desa, Dani mengajak kami ke sebuah rumah yang cukup besar, dengan Pajero yang terparkir di depannya, rumah Pak Lurah.
Kami mengetuk pintu, seorang perempuan paruh baya menyambut kami ramah, mempersilakan masuk kemudian memanggil suaminya untuk menemui kami. Tak lama kemudian, Pak Lurah menemui kami dengan senyum ramah.
“Ada apa iki, Dan, malam-malam ke sini? Kasian mereka lelah habis aktivitas seharian.”
“Begini, Pak Lurah, mereka menanyakan pada saya dan warga dusun soal aroma menyengat di dusun ini dan juga pabrik. Saya rasa Pak Lurah yang berhak menjelaskannya.” Dani menjelaskan.
Pak Lurah tertawa mendengar penuturan Dani. Aku saling memandang dengan teman-temanku, bingung.
Sebelum Pak Lurah menjelaskan, seorang perempuan membawakan minuman dan pisang goreng yang masih hangat ke depan kami. Pak Lurah mempersilakan kami meminumnya terlebih dahulu.
“Jadi kalian penasaran?” tanya Pak Lurah. Kami kompak mengangguk.
“Aroma menyengat yang kalian cium itu aroma dari pabrik, Nak. Pabrik itu membuat minuman keras yang dilarang pemerintah, itulah sebabnya warga tidak ada yang menjelaskannya ke kalian. Dan warga tidak akan suka jika kalian ikut mencampuri urusan pabrik. Jadi saya himbau kalian cukup mengerjakan tugas kuliah kalian saja di dusun ini, jangan mengurusi urusan lain.”
“Tapi, Pak, jika minuman itu dilarang oleh pemerintah dan juga aromanya begitu menyengat, kenapa warga dusun hanya diam saja?” tanyaku penasaran.
Pak Lurah tersenyum, menghela napas, kemudian menyandarkan badan ke kursi agar lebih santai.
“Ketahuilah, pabrik tersebut sudah ada bertahun-tahun lalu, bahkan mungkin sebelum kalian lahir pabrik itu sudah ada. Pabrik itu banyak membantu warga dusun, memberi lapangan pekerjaan bagi yang menganggur, mengadakan donasi untuk warga dusun yang kurang mampu, juga banyak menyumbang untuk pembangunan desa. Itulah sebabnya pabrik itu penting bagi dusun ini, warga tidak akan protes meskipun aroma yang tercium menyengat dan tidak sedap.” Pak Lurah menjelaskan, kami tercengang.
“Tapi ….” Indra, salah satu anggota kelompokku mengutarakan penasarannya. Pak Lurah menatapnya. “Apa hasil yang diperoleh dari pabrik itu tidak haram?” tanyanya.
Pak Lurah tertawa. “Haram? Minuman dan makanan yang kalian makan tadi bahkan dibelikan dari uang hasil pabrik,” katanya kemudian.
Kami terdiam, aku mendadak merasa mual, sesuatu dalam perutku rasanya ingin keluar mendengarkan penjelasan itu.
___
Jihanalmas. IG: jihanalmasm
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata