Kuli Senja
Oleh : Mila Athar
Matahari tengah memeluk erat bumi. Peluh menetes deras dari para manusia yang tengah berjibaku dengan alat-alat berat di bawah tiang beton. Bunyi keras mesin diselingi teriakan sana-sini semakin membuat mereka harus segera bergegas. Tidak ada waktu untuk saling berceloteh tak penting. Mereka harus paham, tenaga mereka yang akan ditukar dengan pundi-pundi uang.
Di tengah hiruk pikuk sekumpulan manusia tersebut ada satu sosok yang begitu kering tengah mengangkat dua sak semen ke punggung ringkihnya. Rambut keabuannya begitu lusuh kaku diterpa hawa panas. Tulang selangkanya tampak mencuat seolah ingin dibebaskan dari kulit yang mulai mengeriput. Gerakannya begitu tangkas, walau keringat telah beleleran dari kepala dan membasahi kaus kumalnya.
“Barda, cepatlah!”
Teriakan lantang itu sedikit membuat tubuhnya oleng dan membuat sak semen nyaris jatuh. Dia segera bergegas dan membenarkan letaknya. Helaan napasnya cepat seiring dengan langkahnya yang agak terseok.
“Kalau sudah tak mampu, mending keluar saja,” wakil mandor mencelanya sadis.
Lelaki senja itu hanya tersenyum tak berniat menanggapi serius. Baginya ini adalah dedikasinya terhadap dunia. Selama masih bernapas ia akan menekuni profesi yang telah digelutinya sejak ia berseragam putih biru.
Dulu ia terkenal paling cekatan dan dipuji mandor-mandor senior. Tubuh liatnya begitu gesit memeluk berbagai material bangunan. Tak ubahnya seorang ibu yang memeluk anak-anaknya. Baginya material seperti semen, pasir, kerikil, tanah, bongkahan batu, bukan benda mati biasa. Menurutnya, berkat merekalah sebuah bangunan terbentuk apik, kukuh, dan yang akan menjadi saksi bisu kisah yang berada di dalam bangunan senti demi senti.
Ia bangga ikut mengantarkan mereka menjadi saksi tersebut. Lelaki itu sangat terbiasa mengajak ngobrol semen, pasir, bongkahan batu untuk bertahan dengan apa pun yang terjadi. Tak jarang, jika orang pertama yang mengenalnya menganggapnya kurang waras. Namun, ia acuh saja.
Baginya, material-material itu adalah keluarga. Pengganti keluarga yang tak sempat dilihatnya ada di mana.
Surya tengah berada di ubun-ubun kepala. Peluh-peluh membanjir dari segala penjuru. Tenaga sudah mulai terkuras. Tubuh telah kuyu. Bunyi berdenting memekakkan telinga sedikit membuat mereka bernapas lega. Akhirnya tiba waktunya mengistirahatkan raga. Kerumunan pria-pria perkasa mulai menyebar ke segala penjuru untuk 45 menit yang akan datang.
Kecuali sang lelaki senja. Dia beranjak ke bagian material dan mulai menggelar kertas koran. Tumpukan material berjejal di sekitar bangunan setengah jadi. Ia membuka bekal yang berisi nasi sayur ketela dan tempe mendoan yang telah lembek.
“Berbahagialah kalian tak harus repot makan seperti aku.”
Sang lelaki senja mengawali diskusinya hari ini. Di antara angin berdebu yang menyesakkan rongga pernapasan.
“Karena butiran nasi dan teman-temannya istriku minggat entah ke mana bersama dua anakku. Katanya aku tak becus mencari sesuap nasi.”
Pandangannya sedikit mengabur. Berkali-kali ia menghela napas. Matanya menerawang seolah ada gelombang waktu yang menyeretnya dari tempat ini. Tiga puluh detik kemudian matanya mengerjap.
“Kalian beruntung, akan selamanya kukuh kuat tertanam dalam bangunan mulia ini, tempat orang-orang akan menghambakan diri. Sedang aku, hanya seonggok tulang tak berguna dan akan mati, seorang diri.”
Bunyi gemuruh tepuk tangan mengiringi potongan pita dari salah satu lelaki yang dielu-elukan tersebut. Senyum terbit dari ratusan orang yang ikut bangga menyaksikan bangunan yang akan menjadi ikon tempat ibadah megah di kota ini. Ribuan msyarakat dari seluruh pelosok nusantara bahkan memuji sang penguasa kota. Berbagai wartawan dari dalam dan luar negeri berebut ingin meminta wawancara.
“Syukurlah, pembangunan berjalan dengan lancar. Mungkin dua minggu yang lalu, ada insiden kecil namun tidak sampai menjadi masalah berarti.”
Dia menanggapi salah satu pertanyaan wartawan yang persis berada di depannya. Tentu tak lupa dengan senyumannya yang tampak bersahaja.
“Wah, Bapak telah bekerja keras, memang hebat sekali.”
Seorang perempuan berbadan agak bongsor yang berdiri di sebelah pria itu berkata lantang di depan para wartawan. Kembali lelaki tersebut hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Sorak sorai bergema dari sekitarnya. Menyebut-nyebut nama dan sederet prestasinya.
Di sudut lainnya, ada tanah merah yang masih basah. Tanah yang mengubur seorang lelaki senja yang tak sengaja tertimpa beton runtuh di suatu sore yang hampir temaram. (*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba mengumpulkan aksara uang terserak di semesta.