Buku Nama-Nama
Oleh : Devin Elysia Dhywinanda
Kamu suka menulis. Bahkan, barangkali, kamu menggandrunginya—sebagaimana Gibran yang selalu menuliskan surat “cinta” kepada May Ziadah semasa hidupnya, katamu dulu sekali. Aku sendiri tidak begitu memahami kenapa kamu sebegitu kukuh menulis siang-malam; membaca banyak literatur untuk menghasilkan buku yang sesuai dengan standar “berkualitas”mu. Aku hanya menghormati pilihanmu. Bahkan, aku masih menghormatinya: setelah dokter mendiagnosismu menderita kanker otak di umur dua puluh lima tahun—setelah kamu menolak lamaranku dengan dalih agar aku mendapatkan wanita lebih “berguna”—dan kamu masih juga menulis. Apa saja. Sebanyak apa pun. Sampai-sampai aku merasa menulis sudah jadi salah satu cara ibadahmu kepada-Nya.
“Menulis tidak bisa serta merta menggantikan salat,” katamu di salah satu malam bulan sabit, ketika kamu lagi-lagi membangunkanku di tengah malam hanya karena kamu menemukan sebuah alur menarik. “Ia bahkan tidak ada di Alquran. Aku sungguh-sungguh.”
“Tuhan tidak bisa dirangkum begitu saja dalam satu kitab,” balasku kala itu, seraya mengambil laptop—yang keberadaannya barangkali menyerupai kitab suci itu sendiri. “Toh, kamu pun sepertinya lebih mengingat menulis daripada salat atau semacamnya.”
Kamu tertawa renyah. Sangat hidup. Itu adalah tawa paling manusiawi yang dapat kamu lontarkan sebelum keadaan memburuk secara alami. Kusadari, sejak itu pula aku menjadi mata serta tanganmu—bahkan kotak ingatanmu, sebab aku selalu mencatat baik-baik setiap momen berharga di balik tempat bernuansa monoton ini: seorang anak kecil dengan mata bercahaya yang sempat salah masuk ke ruanganmu; teman kita yang datang membawa bunga lavender alih-alih iris, yang entah kenapa membuatku keranjingan membeli bunga sejenis; cahaya perkotaan yang kadang memuakkan; hari yang mengering dari waktu ke waktu, membawa tawa manusiawimu entah ke mana.
Aku ingat betul, malam setelah duniamu menjadi gelap gulita, kamu memaksaku membacakan buku fiksi bertema kesehatan mental untukmu—Everything is Horrible and Wonderful: A Tragicomic Memoir of Genius, Heroin, and Love-nya Stephanie Wittels Wachs—dengan alasan, “Aku mau menulis sesuatu yang menginspirasi. Buku motivasi yang dapat menyelamatkan orang-orang dari keterpurukan.” Dirimu kala itu bukanlah seorang gadis yang kegandrungan dunia menulis. Kamu seolah bertransformasi jadi sosok lain yang punya keinginan berapi-api, berlebihan, untuk membuat sebuah mahakarya—sebuah tuntutan alamiah untuk menjadi yang terbaik, bukan atas dasar dasar kecintaan terhadap sesuatu atau semacamnya.
Kamu jadi gelisah. Kamu lebih sering membangunkanku untuk menuliskan ide yang pada akhirnya aku hapus di waktu lain. Kamu jadi sering berpikir: dahimu berkerut; bibirmu melafalkan kalimat yang barangkali akan jadi alur ceritamu; kamu berkali-kali memintaku mencari, mengunduh, atau membeli referensi buku lain; kamu jadi emosional dan sering menangis tanpa sebab—atau aku saja yang pura-pura tidak tahu, entah. Kamu tidak lagi menikmati tulisanmu. Kamu tidak lagi menulis surat cinta, sebagaimana Gibran yang setia melakukannya untuk May Ziadah. Kamu berubah amat kering oleh dahaga menciptakan karya terbaik, dan barangkali sungai di otakmu telah menguap oleh ingatan semacam itu, bukan oleh panggilan kepada Tuhanmu.
“Kamu betul-betul salat lewat tulisanmu,” ungkapku ketika kamu kembali membangunkanku untuk meneruskan tulisanmu—yang sebenarnya tidak mengalami perkembangan signifikan, sebab kamu selalu menghapus satu bagian demi mendapatkan bagian serupa lebih “sempurna”. Itu malam yang kering, sungguh kering, bagiku.
“Kamu berlebihan.”
“Kutebak, kamu lebih sering mengingat tulisanmu ketimbang jadwalmu beribadah, ‘kan?”
“Kamu berlebihan.”
“Aku memang bilang, Tuhan tidak dapat dirangkum hanya dengan satu kitab, tapi itu bukan berarti kamu bisa mengutak-atik hakikat-Nya semudah itu.”
“Kubilang kamu berlebihan!”
Dadamu naik-turun. Fokusmu tetap ke dinding putih. Menyebalkan.
Aku menghela napas berat.
“Kamu mestinya fokus untuk pengobatanmu.”
Kamu diam agak lama sebelum menjawab dengan suara serak “Aku tidak punya waktu banyak. Aku harus menghasilkan mahakarya.”
Kamu jadi rapuh sekali.
“Kamu punya.”
“Tidak, tidak … aku tidak—”
“Kamu boleh berhenti.”
Kamu diam. Aku diam.
Ruangan seketika jadi kotak tanpa suara selama beberapa hari. Anehnya, kamu tidak bertambah kering—kamu memang sesekali tampak berpikir, tetapi yang kamu pikirkan barangkali tentang Jannah dengan sungai susunya, atau padang lavender, atau hal-hal indah semacam itu, sehingga kamu berangsur-angsur kembali hidup. Itu bukan sebuah prestasi dan aku tidak berpikir mesti merayakannya, tapi setidaknya aku dapat menghela napas sejenak, tahu bahwa aku tidak akan melihat lakon frustrasimu selama beberapa waktu.
Lantas, pada satu malam yang resah, kamu bermonolog sendu padaku, “Aku kadang-kadang membayangkan,” Wajahmu lebih pucat ketimbang hari-hari sebelumnya, dan aku cuma bisa menahan semua kegelisahanku dengan menggenggam tanganmu erat—khidmat mendengar perkataanmu kemudian, “aku pergi. Orang-orang pergi. Kami berkumpul pada satu ruangan, menanti hari penimbangan, kemudian aku mendatangi setiap mereka, menyodorkan sebuah buku. Kukatakan, ‘Jika kamu mengenalku, kamu bisa menuliskan namamu di sana. Jika tidak, kamu bisa mengabaikannya.'”
Kamu gemetaran.
“Aku takut, akan ada sedikit orang yang menuliskan nama mereka di buku itu—atau bahkan tidak sama sekali. Aku takut mengetahui bahwa hidupku tidak kulalui dengan benar: aku tidak berbuat cukup banyak agar dikenal dan dikenang orang-orang. Kenyataan seperti itu sering datang pada malam hari, karena itu aku kerap membangunkanmu agar aku bisa menulis … sebanyak mungkin, hingga orang-orang bisa mengenal dan menyematkan namaku dalam pikiran mereka.”
Itu malam yang cerah, tetapi mendung seolah datang memeluk ruangan ini. Sialan sekali.
“Tapi, pada akhirnya kita hanyalah figuran dalam buku besar Tuhan. Kita akan habis pada salah satu bab, atau sepersekian babnya, atau malah lupa dituliskan akhirnya oleh Tuhan. Dan, ketakutanku membengkak setiap membayangkan akulah salah sekian dari mereka yang berakhir tanpa akhir di buku besar Tuhan. Itu … menakutkan sekali. Iya, ‘kan?”
Itu adalah percakapan paling bermakna, paling kuingat, sebelum kamu kian digerogoti sel kanker dan akhirnya kehilangan banyak hal: penglihatan; ingatan; kemampuan berbicara. Malam setelah itu adalah gua sunyi yang nelangsa—tanpa kamu yang acap membangunkanku, memintaku menuliskan apa yang dapat kamu pikirkan (kendati semua serupa kisah repetitif lantaran kamu pun melupakan lanjutan dari apa yang kamu tuliskan sebelumnya)—dengan aku menghitung detik waktu sekarat, mengingat janji konyolku yang barangkali juga telah hilang dari ingatanmu.
“Kalau kamu melakukannya, aku akan jadi orang pertama yang menuliskan namaku di sana. Kalau sedikit—atau bahkan tidak ada—yang menuliskan namanya, aku akan memenuhi bukumu dengan namaku, jadi kamu tidak perlu khawatir bukumu akan kosong, atau apa.” Aku diam cukup lama sebelumnya melanjutkan perkataanku waktu itu. “Itu adalah hal yang sama, ‘kan? Buku yang penuh dengan satu nama, atau banyak nama? Bukankah yang penting adalah seberapa berarti diri kita di mata seseorang?”
Aku ingat betul, waktu itu kamu tersenyum, kemudian memintaku menuliskan ceritamu tentang seorang pria yang memenuhi buku kekasihnya dengan namanya sendiri. Cerita konyol terakhir yang dapat kami selesaikan dan, bagiku sendiri, jadi mahakaryamu, sebab kamu tidak lagi dapat menyelesaikan ambisimu beberapa waktu lalu. Sebab, tulisan Tuhan telah mengalahkanmu pada salah satu bab, atau sepersekian bab, atau bersama akhir yang tidak dicatat sebagai akhir. Sebab, peranmu sebagai figuran telah berakhir pada pagi Desember yang kudus, ketika orang-orang berkumpul di gereja, merayakan kelahiran Yesus, dan aku menyelip di sana, mengabaikan segala pamali untuk tetap mendoakanmu … dengan kisahku yang belum purna di salah satu buku hidupmu. (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata