Nina

Nina

Nina
Oleh : Aisyahir

Matanya berkaca-kaca. Menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Sakit, itulah yang ia rasakan saat ini. Sesuatu yang belum juga berhenti menyiksa batinnya. Ia tersiksa, tapi tak ada yang peduli padanya. Sebab ia bukan siapa-siapa, hanya seorang pemulung yang hidup sebantang kara di kota ini. Hingga ia bukanlah prioritas bagi siapa pun. Bahkan, hanya dianggap anak gembel yang tak berguna.

Setiap harinya ia habiskan hanya untuk memulung. Mencari barang bekas untuk dikumpulkan, lalu dijual dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia masih kecil, bahkan masih terlalu kecil. Tubuhnya kurus, tingginya hanya setara pinggang orang dewasa, wajahnya penuh debu, rambutnya seakan tak pernah dirapikan, acak-acakan. Pakaiannya hanya sepasang, kaus pendek dan celana panjang dengan bekas tempelan di mana-mana, begitu lusuh. Tapi, siapa peduli? Ia diabaikan begitu saja. Hanya dianggap sampah kota yang patut disingkirkan. Ia pun tak butuh belas kasih dari siapa pun. Ia kuat menjalani semuanya. Walaupun tetesan keringatnya selalu diiringi dengan tetesan air mata pula.

Hari ini ia kembali bekerja. Tanpa memiliki atasan ataupun bawahan. Ia bekerja sendiri, tanpa suruhan orang lain. Dengan pakaian yang sama, ia mulai menyusuri jalan. Wajahnya masih kotor, ia belum membersihkan diri dari kemarin. Ia terus berjalan, sambil menenteng karung sebagai tempat penampungan hasil pencariannya.

Seketika ia berhenti berjalan. Saat segerombolan anak seusianya berjalan masuk menuju sekolah mereka. Hatinya kembali perih, tak sadar air mata mulai menetes. Ia ingin seperti mereka, tapi ia tak bisa. Andai kecelakaan itu tak terjadi, pastilah ia bisa merasakan apa yang anak-anak itu rasakan. Kebahagiaan.

Sesaat ia kembali mengingat peristiwa yang merenggut segala kebahagiaannya. Sebuah kecelakaan yang terjadi dua minggu yang lalu. Di mana saat itu ia dan kedua orangtuanya sedang dalam perjalanan pulang. Mereka berlibur di kota ini. Namun, sesuatu yang buruk terjadi. Kecelakaan. Mobil yang mereka kendarai tergelincir masuk ke jurang. Untunglah ia tak terluka parah, tapi orangtuanya harus pergi jauh darinya. Keterpurukan mulai ia rasakan. Semuanya hilang dalam sekejap. Namun kesedihan yang ia rasakan, tak pernah hilang walau telah lama berlalu. Tak adil.

Ia tak mengenal siapa pun di kota ini. Tak ada satu pun sanak saudara yang mencarinya. Hingga ia harus hidup sebagai gelandangan, tanpa tujuan. Hilang, ia hilang di tengah kota ini. Tanpa kenalan, dan tanpa pengalaman.

Ia mengusap matanya yang mulai sembab. Ia tak boleh cengeng. Walau bagaimanapun, ini sudah takdir. Dan ia tak bisa menentangnya. Sesaat ia kembali menatap sekumpulan anak itu. Ia mengukir senyum, lalu melanjutkan perjalannya mencari penghasilan.

Setelah lama berjalan, akhirnya ia sampai di tempat pembuangan. Segera ia mencari barang bekas. Apa saja, asalkan dapat dikumpulkan lalu dijual. Ia tak sendiri, ada beberapa orang yang juga melakukan aktivitas yang sama dengannya. Namun bedanya, mereka lebih dewasa.
Dengan begitu telaten, ia memunguti satu per satu botol minuman bekas, lalu ia masukkan ke dalam karung yang dibawanya. Bagi mereka yang mampu, pastilah menganggap semua itu adalah sampah. Namun baginya, itu adalah sumber uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ia terus bekerja. Bukan hanya di tempat itu. Ia juga mencari seperti di pinggiran jalan, tong sampah, ataupun di tempat lainnya. Keringatnya adalah saksi dari kerja kerasnya. Dan perut kenyang adalah hasil dari kerja kerasnya.

Kini sudah hampir malam. Rasa syukur tak henti ia panjatkan setelah menerima upah dari hasil penjualannya hari ini. Sepuluh ribu, itulah upah yang ia dapatkan. Begitu bersyukurnya ia. Setidaknya, ia bisa membeli sesuap nasi malam ini.

Senyum manis selalu ia ukir di bibir kecilnya. Tak sabar rasanya untuk segera pulang ke rumah yang hanya terbuat dari potongan kardus. Malam ini ia akan membeli nasi bungkus. Tidak seperti kemarin malam yang hanya membeli dua potong roti.

Hari sudah mulai gelap. Kelap-kelip lampu kendaraan menghiasi sekitar jalan. Sebelum pulang, ia terlebih dahulu membeli makanan di pedagang kaki lima. Satu bungkus nasi goreng telah ia beli. Wajahnya makin berseri. Tak sabar mencicipi makan malamnya, setelah seharian bekerja tanpa mengisi perut sama sekali.

Saat hendak menyebrangi jalan. Tak sengaja ia melihat seorang wanita tua yang tampak kebingungan. Ia tak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Ia berdiri dengan tatapan bingung di pinggiran jalan. Tak ada yang ingin membantu wanita itu, hingga rasa simpati mulai menghampirinya. Dengan pelan ia berjalan mendekatinya. Jaraknya tak jauh. Hanya beberapa meter saja.

“Nek, Nenek kenapa? Nenek tersesat?” tanyanya.

“Kamu siapa? Nenek ada di mana?”

Wanita itu malah kebingungan. Bukan wanita, seorang nenek tepatnya. Rambutnya didominasi warna putih. Kulitnya sudah tak kencang lagi. Menyisakan kerutan di bagian wajah dan bagian tubuh lainnya.

“Ini di jalan, Nek. Nenek beneran tersesat?” tanyanya lagi. Kini ia merasa sangat lapar. Perutnya telah keroncongan dari tadi. Tapi ia tak tega meninggalkan nenek ini.

Perlahan, ia menarik nenek itu menepi. Menjauhi lalu lintas yang lumayan padat. Mereka duduk di trotoar dan nenek itu menurut saja tanpa adanya perlawanan.

“Nenek harus mencari anak dan cucu Nenek. Mereka belum pulang dari kemarin. Di mana mereka? Apa mereka tak memedulikan Nenek lagi?” Isak tangisnya mulai terdengar. Ternyata ia mencari anak dan cucunya. Sungguh tega mereka meninggalkan nenek ini sendirian.

“Nenek yang sabar, ya. Siapa tahu anak dan cucu Nenek ada kepentingan, sehingga tak bisa menemui Nenek dulu,” ucapnya mencoba menenangkan. Ia sangat tahu rasanya ditinggalkan, dan ia sangat tahu bagaimana sakitnya kehilangan. Nenek itu terdiam. Ia menatap lekat-lekat gadis kecil itu.

“Nenek sudah makan?”

Ia hanya menggeleng. Dengan segera Nina membuka bungkusan nasi gorengnya. Ia rela berbagi, walaupun ia juga serba kekurangan.

“Ayo, kita makan, Nek. Biar Nina suapin,” katanya lalu mulai menyuapi nenek itu. Tanpa keraguan. Nenek itu hanya mengangguk dan menerima suapan demi suapan dari tangan kecilnya. Mereka makan bersama. Dengan cahaya rembulan dan lampu jalan sebagai penerangnya. Orang-orang yang menyaksikan momen itu pun merasa tersentuh. Mereka mengenal gadis kecil yang bernama Nina itu. Walau bukan prioritas ataupun topik utama di kota ini, tetap saja ia dikenal oleh banyak orang. Sebagai seorang gadis tangguh dan pekerja keras. Hanya saja tak ada yang peduli. Tapi malam ini, hati mereka tergugah. Orang yang selama ini mereka sepelekan, dengan begitu ikhlasnya membantu orang lain. Bahkan ia rela berbagi makanan, walaupun ia sendiri sangat lapar.

Kini, mereka telah selesai mengisi perut. Walau tak sepenuhnya terisi, Nina tetap bersyukur. Setidaknya ia bisa membantu orang lain.

“Orangtuamu di mana, Nak?” tanya nenek itu penasaran.

“Orangtua Nina sudah tiada, Nek. Sekarang Nina hidup sebatang kara,” jawabnya seraya menunduk. Kesedihannya muncul kembali. Seketika itu juga nenek itu memeluk tubuh kecilnya. Isak tangis kembali terdengar. Ia mengira bahwa Nina memang anak seorang pengemis atau pemulung, ternyata bukan. Nina pun ikut terisak. Jujur, ia sangat merindukan sebuah pelukan.

“Ibu!” Seketika pelukan mereka terlepas saat suara wanita terdengar memanggil. Tampak seorang wanita bersama seorang pria yang mungkin suaminya sedang menatap mereka dengan tatapan haru.

“Ibu,” panggil wanita itu, lalu memeluk ibunya. Orang yang telah Nina bantu.

“Kamu ke mana aja, Nak? Ibu terus mencarimu. Untunglah anak ini menolong Ibu tadi. Bahkan ia rela membagi makanannya dengan Ibu. Ia juga menyuapi Ibu, Nak,” jelasnya dengan penuh rasa haru. Nina hanya diam. Ia menikmati momen pertemuan ini.

“Siapa nama kamu, Nak?” tanya wanita itu.

“Nina, Tante,” jawabnya sedikit gugup.

“Dia anak yatim piatu, dan sekarang ia hanya hidup sebatang kara. Jika berkenan, Ibu ingin membawanya bersama kita,” ungkap nenek itu. Seketika Nina terkejut mendengarnya.

Membawaku bersama kalian?

“Jika itu memang keinginan Ibu, kita akan membawa anak ini ikut bersama kita.” Pria yang tadinya hanya diam itu pun akhirnya bersuara. Nenek tersebut langsung tersenyum semringah. Sedangkan Nina sendiri semakin terkejut. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi.

“Aku setuju saja, Bu. Lagi pula anak ini telah membantu Ibu.” Wanita itu pun tak menolak. Kini perhatian mereka tertuju pada Nina.

“Nina tidak bisa ikut dengan kalian. Nina hanya … anak gembel,” tolak Nina, lalu kembali menunduk. Seolah mengerti arti dari tatapan ketiganya, yang merasa kasihan terhadap gadis itu.

“Anggap saja ini adalah wujud terima kasih Nenek ke kamu. Kamu anak yang baik hati, maka izinkanlah Nenek untuk membalas segala kebaikanmu. Dan mulai saat ini, kamu akan Nenek anggap sebagai cucu Nenek. Jadi, semua keperluan kamu akan kami tanggung,” jelasnya. Mata Nina berkaca-kaca. Air matanya tumpah begitu saja. Inikah akhir dari kesedihannya? Sepertinya, iya.

Tak ada penolakan lagi yang dikeluarkan gadis kecil itu. Ia pun ikut dibawa pulang oleh keluarga barunya. Kini, kisah sedihnya telah berakhir. Nina telah menemukan titik awal dari kebahagiaannya kembali.(*)

Aisyahir. Lahir pada 25 September 2001. IG: Aisyahir_25.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply