Gadis Anjing Kudisan

Gadis Anjing Kudisan

GADIS ANJING KUDISAN

Oleh: Fika Anggi

 

Seorang gadis berwajah anjing, bertubuh manusia dengan parut-parut bekas kudis di sekujur tubuh dan puluhan lalat terbang berkerumun. 

Sepasang mata sayu lekat menatapmu saat kakinya yang ramping bergerak menghampirimu. Dengan langkah panjang-panjang, tubuh kuyu itu sampai juga di hadapanmu. Kamu memandang kasihan padanya, mengambil tangan yang terulur dan mendudukkan ia di pangkuanmu. Tanganmu lantas membelai bulu-bulu kusut di kepalanya dan ia menggoyangkan tubuhnya dengan girang. Lalat-lalat lalu berkitaran di sekitar kalian. 

Kalian berbincang, membicarakan banyak hal. Aku tak mengerti bagaimana kamu bisa memahami bahasanya yang hanya kaing-kaing dan guk-guk. Kamu tertawa-tawa setiap kali ia menjulurkan lidah dan meneteskan banyak liur di dadamu. 

Kamu dan gadis anjing kudisanmu selalu bertemu dalam mimpi-mimpiku. Ia akan menyambut kedatanganmu dengan bersejingkat mirip pencuri. Aku? Bukannya aku selalu hanya sebagai perekam adegan: mengamati bagaimana kalian saling endus, saling pagut dan berbagi liur. Kalian saling menaklukkan sepanjang malam.   

Ketika terjaga pada dini pagi yang basah, aku masih mampu mengingat bagaimana liar bibirmu melumat mulut gadis anjing kudisan. Setiap kali aku berdiri menatap diriku dalam cermin, aku merasa gadis anjing kudisan berkelebat menelusup di antara kusut rambut, atau bergegas melesakkan tubuh dalam lubang hidung, atau meringkuk di kuku jari-jariku. Menyembunyikan gairah atasmu.

Aku tak pernah keberatan menjadi saksi persetubuhan kalian, asal kalian tidak bercinta di luar mimpiku. Aku lupa sejak kapan gadis anjing kudisan mulai berani curi-curi melangkah keluar dari mimpiku. 

Hal yang kuingat ketika pertama kali ia menguntitku menuju alam nyata, ia langsung meringkuk di bawah selimut dan mengagetkan kucing-kucing kesayanganku. Aku tentu saja terkejut dan mencoba mengembalikannya ke dunia asalnya, tapi tatapan mata sayu itu menghipnotis kegusaranku dan meluluskan pintanya. 

Sejak itu, ia selalu mengekor keluar saat subuh. Dua hari berlalu dan ia sudah mengakuisisi mulutku. Setiap kata yang keluar dari bibir adalah bangkai belaka. Aku uring-uringan dan terpaksa menjauh dari teman-teman sepanjang hari. Seminggu berlalu dan ia bertapa di telapak tangan, aku tak bisa berhenti menampar pipi sepagian itu. Dengan pipi merah dan pelipis lebam aku pergi bekerja lalu lagi-lagi mengurung diri dalam ruangan. Ia juga pernah seenaknya saja kencing dan berak di perut, membuatku mual seharian dan beberapa kali muntah. Beberapa kawan dekat berkelakar kalau aku tengah hamil muda. 

Lalu berhari-hari berikutnya ia menetap di hatiku. Sibuk sendiri sepanjang waktu dan tidak membuat gaduh. Ternyata ia sedang membangun sebuah kuil pemujaan untukmu. Sayangnya, selembar cermin tak mampu memantulkan kedalaman hati seseorang. Jika dapat, siapa pun pasti akan melihat sebuah kastil cinta megah telah dibangun olehnya. Aku sebenarnya ingin sekali mengambil sebilah pisau dan membelah dada. Merobohkan menara cinta buatannya yang sering membuatku sesak napas. Namun, jika aku melakukannya, maka kamu dan orang-orang akan menganggapku gila karena memutuskan untuk bunuh diri begitu mudah.  

    Kalau kamu bertanya kenapa aku mau berbagi hidupku lebih lama dengannya, aku akan menjawab bahwa aku teringat sebuah kisah wayang yang diceritakan kakekku dulu. Tentang Yudhistira yang moksa ke nirwana dan hanya bertemankan seekor anjing. Juga sebuah kisah tentang arwah seorang pelacur yang diterima di lobby surga karena pernah memberi minum seekor anjing. 

Aku meraba kelopak mata kanan, tempat kecupmu terakhir mendarat. Telah cukup lama kuizinkan kau tinggal, menurutmu apakah kekasihmu akan membiarkan kita masuk ke surga miliknya? Gadis anjing kudisan hanya mendengking pelan dan berjalan naik ke kening.

    Jangan tinggal di situ, kataku pada kekasihmu. Aku masih butuh otak untuk mengurus pekerjaan. 

Aku bersiap menggusahnya menjauh, tapi ia lebih dulu menggigit otakku.  Sialan! Setelah ini aku pasti terkena rabies, untung kudisnya tak ikut menular. Kegilaan masih bisa kusembunyikan, tetapi kudis? Ya, Tuhan … aku pasti akan ditertawakan teman-temanku yang sok suci itu.  

    Dan benar saja, aku jadi sedikit direpotkan oleh kegilaan. Belakangan, aku  makin sering berpelesir ke akun media sosialmu. Berpelesir sebenarnya bukan kata yang tepat. Berpelesir artinya bersenang-senang, sedang aku lebih banyak dirundung kecewa setiap kali jemariku pulang dari halamanmu. Lantas tenggelam dalam isakan-isakan yang panjang. 

    Sekali lagi aku dan kamu sepakat untuk bertemu, setelah berbulan lalu sepakat untuk tidak lagi bertemu. Bau tubuhmu yang lembut segera menyerbu cuping hidung dan aku mulai mengendus-endus, membaui udara di sekitarku. Lihat! Kelakuanku sudah anjing betul. Kamu kemudian menyulut rokokmu seolah tak peduli padaku yang tak pernah betah dengan asapnya. Tiba-tiba adegan saat kamu dan gadis anjing kudisan bertukar liur berkelebat di otakku yang makin gila. Entah karena aroma tubuhmu yang menguar memenuhi udara atau pengaruh rabies yang mulai parah. 

Sebelum pulang nanti, tolong tanggalkan kemeja yang kamu kenakan, pintaku di antara batuk-batuk kecil. Kamu tersenyum dan malam itu kamu mencumbuku tidak dalam mimpi. Gadis anjing kudisanmu tak tahu. Tak perlu tahu.

Ia sedang terpekur menunggumu yang sudah seminggu tak berkunjung dalam mimpiku. Aku mengambil ponsel, memeriksa akun media sosial milikmu. Semalam kamu mengunggah sebuah foto. Kurasa, gadis anjing kudisan perlu tahu. Kulemparkan ponselku ke hadapan gadis anjing kudisan. Aku tertawa mengejek cintanya yang kamu sepelekan, juga tubuh kudisannya yang lacur. Ia menyalak. 

Aku menghardiknya sembari melemparkan tatapan mata sinis penuh kemenangan. Ia makin keras menyalak meningkahi bentakanku, beringsut ke sela-sela rambut, kemudian keluar lagi dengan menggigit kemeja yang kamu tinggalkan seminggu lalu.

Dari mana kau dapatkan benda itu? Intonasiku meninggi ketika menanyakannya. Buang saja kemeja itu, aku jijik melihatnya. Kau naif sekali. Terlalu muluk bagi anjing kudisan sepertimu jika mengharap bisa bersatu dengannya. Pernahkah kau mengira, ditinggalnya pakaian itu karena ia tak mau membawa bekas liurmu yang menetes saat kalian bercumbu. Sejak awal kau dan aku sama-sama tahu bahwa dia bukan lelaki baik, mau-maunya kau terima ajakannya untuk tidur bersama. Kebodohanmu itu menjerumuskan kita sekarang. Hadapilah kenyataan. Aku merepet panjang dan gadis anjing kudisan menelusup ke bawah sofa tempat tubuhmu pernah rebah seolah ia tak mendengar apa yang kukatakan. 

Dasar jalang rabies! Kau pikir siapa dirimu, berani menguasai pikiranku dan membuat gila? Bukankah aku sudah pernah bilang, cukup kau tinggal di hati dan tak usah sok tahu dengan isi kepalaku. Sini, kau! Kau perlu tahu siapa pemilik raga ini sesungguhnya. Sekarang ganti aku yang menyalak, ia diam dan mengibaskan ekornya.

Kuseret gadis anjing kudisan ke tengah ruangan. Suara-suara dalam otakku berteriak ribut.

Robek mulutnya yang tak henti meneteskan liur di dada lelaki itu!

Cungkil saja matanya, toh dia sudah lama dibutakan cinta!

Kuliti saja dia, cincang tubuhnya lalu lemparkan sebagai makanan untuk kucing-kucing peliharaanmu!

Suara-suara itu terus saling meningkah minta didengarkan, minta dituruti dengan segera. Gadis anjing kudisan kini tak berani bersuara. Matanya makin sayu, tubuhnya makin kuyu. Kuambil pisau. Parang. Kapak. Gergaji. Apa pun. Dari tempat paling rahasia dalam otakku untuk menghabisi pelacur kecilmu. Kukira ini akan jadi kesempatan sekali seumur hidup, jika aku gagal, aku tak akan punya kesempatan lagi menguasai tidak saja raga tapi seluruh hidupku. Dengan hati yang sudah menjelma istana anyir darah dan otak rusak karena gila, apakah seorang wanita bisa hidup baik-baik saja?

Kutebaskan kapak beberapa kali pada tubuh manusianya. Lengannya robek, kakinya kanannya nyaris putus dari paha. Dengan parang yang kupunya, kuiris moncong anjingnya yang masih saja meneteskan liur. Darah muncrat ke segala arah, juga ke wajahku. Lalu dengan pisau, kucungkil bola matanya keluar. Ternyata benar, mata ini tidak berguna baginya, ia sudah lama buta. Kuambil gergaji, bersiap membelah tempurung kepala dan melihat isi otaknya. Otak itu akan kurebus dan mungkin akan kujadikan kudapan tengah malam. Otak ayam rasanya enak, mungkin otak anjing juga. Persetan dengan rabiesnya. Dengan parang, aku benar-benar mencincang daging dan tulangnya. Kucingku akan punya persediaan cukup makanan sampai berbulan-bulan. Menyenangkan bukan?

Darah di mana-mana. 

Darah di mana-mana. 

Darah di mana-mana. Membanjiri ruangan, membasahi tubuhku, dan menetes dari sela-sela jemariku. 

Telepon genggamku berkedip-kedip. Sebuah panggilan masuk dari seorang kawan. Satu jam yang lalu dia mengirim pesan yang begitu malas kubalas. Aku sudah akan meraih gawai yang bergetar sebelum panggilan terputus. Kini yang terpampang adalah foto yang terakhir kutunjukkan pada gadis anjing kudisan. Ada kamu mengenakan setelan beskap dan seorang perempuan dalam balutan kebaya putih gading. Sebagai kekasih gelapmu, aku belum tahu apakah akan hadir di upacara pemberkatan pernikahanmu.


Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi ibu, manusia dan penulis yang baik. 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply