TERBANGUN DENGAN SEBUAH INGATAN YANG TERKUTUK
Oleh: Fika Anggi
Sesosok tubuh di atas kasur berseprai pink yang sudah awut-awutan menggeliat bangun. Memaksa kedua matanya yang lengket untuk terbuka. Torsonya panjang dan telanjang, hanya celana kolor yang menggantung di pinggang.
Sudah pagi? Kepalaku berat sekali. Di mana ini? Hei, apa ini?Ke mana bajuku? Bau ini, ampas persetubuhan? Arggh ….
Duduk menyandar pada kepala ranjang, lelaki itu tengadah menatap plafon, mungkin menghitung luas kamar. Baling-baling kipas berputar dan mendesiskan bunyi ser-ser yang membuat lelaki itu menekan tombol on/off. Berselang detik, ia menyalakannya lagi lalu menggaruk kepalanya dengan tak sabar. Kelihatan sekali ia senewen.
Lelaki itu melirik meja di samping ranjang, cepuk-cepuk kosmetik dan botol-botol cat kuku dideretkan berurutan dari kiri ke kanan (yang paling gelap ada di ujung kiri) di sisi terdekat cermin yang menduplikasi perlengkapan merias tersebut. Di ujung meja–dekat tembok—ada dua buah kotak persegi bekas dus ponsel yang diletakkan bertumpuk. Lelaki itu menjulurkan tangannya, membuka kedua kardus tersebut, satu berisi berbagai macam bros dan yang lain berisi jepit dan karet rambut berwarna-warni. Dua batang lipstik tersenggol saat ia mengembalikan dus kedua pada posisi semula, mereknya sudah hilang dan tak terbaca mata. Karena iseng, ia membuka penutup dan memutarnya berlawanan arah dengan jarum jam. Yang berwarna ungu gelap sudah pendek sekali dan yang sewarna bibir cokelatnya bahkan sudah membentuk cekungan. Lelaki itu meringis entah karena apa.
Rasanya aku butuh kopi panas. Kalau habis ngopi biasanya kepala jadi ringan.Kayaknya semalam aku nggak ngopi. Ahh, alkohol! Ya. Tujuh, ehh, sepuluh botol bir kutenggak di bar. Sama siapa aku minum?Aku harus turun sekarang!
Ia berpindah ke kursi di depan meja rias. Ia lalu memperhatikan citra diri yang terpantul di hadapannya, tanpa sadar tangan kanannya menyusuri dagu.
Terlihat tua sekali aku, umur berapa, sih, aku? Sudah berapa hari aku tidak mencukur jenggot.
Lalu lelaki itu menarik keluar laci paling atas, ada seutas charger handphone, dua buah adaptor bekas, segulung kabel earphone yang sudah putus sebelah, sekotak pembalut yang masih belum dibuka plastiknya dan tisu basah kemasan sedang. Ia membuka laci-laci yang lain dan menemukan benda yang sama tak menariknya: kertas-kertas setruk, belasan lembar kartu nama, tiga batang pulpen yang entah masih bisa digunakan atau justru habis tintanya (ia tak berniat mencobanya pada beberapa lembar kertas post-it yang ia temukan), beberapa keping uang logam dalam berbagai pecahan, satu lusin shampoo ketengan, tiga sachet Rexona yang masih dalam segel plastik, dua batang sabun yang iklannya dibintangi model papan atas atau artis terkenal dan klip-klip berukuran kecil dan sedang.
Matanya kembali memindai ruangan dan otaknya mencatat setiap benda yang ia temukan. Dua pasang sandal jepit, dua pasang flatshoe dan enam pasang sepatu hak tinggi nangkring di rak belakang pintu. Ia menghitungnya dengan bersuara. Pemiliknya menderetkan berurutan berdasarkan tinggi tumit sepatu: Stilleto merah terang ada di rak paling atas (lelaki itu berpikir bahwa itulah sang bintang). Di sebelah kanan sang bintang, ada sepatu hitam bertumit tinggi lainnya, tetapi ujungnya tidak lancip, di kanannya lagi, sepasang sepatu berwarna cokelat terang dengan tumit yang jauh lebih pendek dibanding sepatu di ujung kiri. Lelaki itu tak tahu bagaimana menyebut jenis ketiga sepatu itu, ia menganggap ketiganya sepatu berhak tinggi. Di rak kedua, berurutan dari kiri, ada sepatu bersol tebal warna biru celana jeans Lea,sepasang sepatu dengan aksen tali menutup bagian punggung lalu sepasang selop berwarna abu-abu muda. Lagi-lagi ia tak tahu jika ketiga sepatu itu punya nama yang sangat berbeda. Di rak paling bawah ada dua sepatu tanpa hak dari jenis sneaker dan high-tops (ia bisa menyebut jenis ini karena kedua jenis sepatu tersebut bukan jenis khusus sepatu perempuan). Lalu sandal jepit ditumpuk begitu saja di ujung, warnanya kontras ungu dan kuning sebab itu tanpa mendekat, ia tahu kalau jumlahnya ada dua pasang.
Lelaki itu bangkit dari duduknya, berjalan ke sebuah meja yang bersebelahan dengan rak sepatu. Di tengah meja, sebuah wadah mirip tempat roti dengan penutup transparan memamerkan semangkuk sup sayur dan dua potong ayam goreng tepung khas masakan waralaba. Sebuah rak piring kecil dari bahan stainlees memuat beberapa buah piring, dua mangkuk berukuran tanggung, tiga buah gelas dan dua mug bergambar Minnie Mouse dan Deasy Duck, lalu sendok-sendok dan garpu serta sebilah pisau dikumpulkan jadi satu pada mangkuk seperti keranjang yang diletakkan tepat di atas sebuah baskom plastik. Ia memencet tombol pembuka penanak nasi dan menarik penutupnya, aroma khas gluten langsung menyerbu cuping hidungnya. Namun, lelaki itu tidak lapar. Di sebelah penanak nasi, ada sebuah dispenser yang juga dibiarkan menyala (kabelnya berbagi stopkontak dengan kabel rice-cooker). Refleks tangannya meraba kolong meja dan menemukan saset-saset kopi instan.
Cappuccino? Kopi hitam pekat tak ada? Persetanlah!
Ia merobek pembungkus kopi dengan giginya, menumpahkan isinya pada mug bergambar pacar Donald, membuka kenop berwarna merah pada dispenser dan air panas segera meluncur memenuhi cangkir di tangannya. Lelaki itu menghitung satu, dua, tiga sampai cairan itu hampir mencapai mulut gelas (agaknya ia suka sekali berhitung dengan keras). Sekali lagi ia memindai ruangan dengan mata, ada percik girang saat menemukan tasnya yang teronggok di sudut kamar. Tangannya meraba setiap kompartemen yang ada, kelihatannya ia mencari rokok dan pemantiknya.
Ada asbak, tidak? Ya sudah piring ini saja kugunakan. Ahh, nikmatnya … oke, ayo mulai!
Kini ia berdiri di depan jendela, tangan kanannya menyusur kusen dan berhenti di gerendelnya sejenak, melakukan gerakan seperti hendak membuka namun urung. Kemudian ia beringsut ke arah lemari, menarik pintunya dan melongok ke dalam. Secara sambil lalu ia menghitung ada berapa helai pakaian yang ditumpuk di depannya. Merah, biru, hijau lumut, merah jambu cerah, abu-abu, cokelat tanah basah, merah muda pucat, hijau daun sawi, hitam bergaris putih (atau putih bergaris hitam?), merah kotak-kotak, magenta segar, biru gelap, ungu terong, maroon, dan merah bunga sakura.
Seperti apakah perempuan yang setiap hari tidur di ranjang ini, yang kemungkinan besar kutiduri semalam. Banyak sekali warna pink, dia mungkin seorang perempuan
Lelaki itu mengisap rokok kuat-kuat sampai pipinya kempot, kemudian serta-merta melepaskan keluk putih pada citra diri di dalam cermin. Sekali lagi kepalanya meneleng, seolah menajamkan pendengaran. Ia merasa mendengar seseorang terbatuk kecil, seraut wajah berkelebat di otak kelabunya.
Siapa? Senyumnya manis sekali, matanya sipit. Kalau seringainya makin lebar, matanya tinggal segaris. Bulu matanya panjang, tidak lentik, alisnya lebat betul. Muka bulat dengan garis rahang tegas. Hidungnya kecil dan tulangnya pendek sekali. Anjir! Aku mabuk bir apa sih, sampai kayak orang amnesia gini.
Ia kembali menghempaskan pantat di atas kasur busa, meletakkan gelas kopi yang baru diseruput di dekat botol-botol lotion. Beberapa kali ia mengisap rokoknya, berusaha menggali ingatan yang tertimbun hangover parah.
Oh ya, ponsel! Kali aja bisa bikin aku ingat. Di mana benda itu?
Lelaki itu meraih tas yang tadi dilemparkan sekenanya kemudian menarik sebuah benda hitam pipih keluar. Wajahnya menunduk menekuri benda dalam genggamannya. Jempolnya mengusap layar, naik turun, kiri kanan. Menu panggilan, lalu galeri, ada banyak foto. Beberapa berfoto berdua dengannya, beberapa berfoto ramai-ramai. Terlalu banyak foto wanita tapi tak ada yang sama seperti bayangan yang baru saja berkelebat dalam ingatan keparatnya. Ia menggaruk kepala dengan senewen. Dia bangkit dari ranjang, menekan sisa rokok ke piring, meloloskan satu batang lagi dari bungkus dan segera menyulutnya. Kembali ke ranjang sambil menenteng piring yang sudah berubah fungsi menjadi asbak. Sebelum menyandarkan kepalanya, disesapnya sekali lagi gelas berisi cappuccino.
Sialan! Ini sudah dingin dan semakin tidak enak saja. Terkutuk tempat ini karena tidak menyediakan kopi hitam.
Ia kembali menekuri layar berpendar di tangannya. WhatsApp. Messeger. Bersih, tak ada balok obrolan yang tersisa, kecuali dengan beberapa rekan kerja (ia bisa tahu dari obrolan yang masih tersisa). Lelaki itu berpikir untuk menghubungi seorang teman dan mencari tahu bagaimana ia bisa terbangun di suatu tempat yang bukan kamarnya. Ia berhenti di salah satu nama di daftar kontak, menekan ikon telepon lalu memutusnya sebelum sempat tersambung.
Nggak-nggak! Dia pasti ngakak kalau kubilang aku terbangun bugil di antah berantah.
Sebatang rokok di tangan kiri disedotnya kuat-kuat sampai pipinya kempot lalu serta-merta ia mengembuskannya. Terkadang ia mengisap amat perlahan, lalu membuka mulut dan lingkaran-lingkaran asap keluar dari sana. Udara kamar jadi bau Marlboro. Lelaki itu tak peduli.
Kenapa nggak cek medsos, siapa tahu aku berteman dengan perempuan itu di dunia maya. Facebook? Instagram?
Layar kemudian menampilkan gambar seorang perempuan dengan rambutnya dibiarkan tergerai melewati bahu. Bagian bawahnya sedikit kemerahan seperti sisa pewarnaan. Mengombak di bagian atas dan semakin lurus ke ujung, lurus bikinan salon. Lelaki itu mengernyitkan kening. Sesuatu terbuka dalam ingatannya, ia mengerang, menahan sesuatu yang tegang di bawah sana.
Bedebah! Bisa-bisanya aku horny di saat begini. Tunggu,tunggu. Horny? Honey? Hani? Rasanya nama itu tak asing.
Dipijit perlahan pelipisnya, seperti hendak mengurutkan keping-keping ingatan dan menyusunnya ulang. Jempolnya masih terus menggeser halaman-halaman yang terpampang di layar ponselnya. Matanya mengamati satu demi satu akun perempuan yang foto profilnya mengusik ingatan terkutuknya. Ia lantas berpindah platform media.
Ada satu foto yang membuat ia menatap begitu lama. Fotonya sendiri. Berpayungkan daun talas di antara kepungan batang pinus. Ia meringis menyadari bahwa wajahnya jelek sekali dalam foto itu. Tampak letih dan sayu. Selarik pelangi melengkung di belakang barisan pinus. Sebuah kalimat yang ia ketikan pada entah, “Demi Tuhan, sungguh aku telah berpura-pura.”
Ini apa, sih, maksudnya aku nulis gini? Lebay banget.
Lelaki itu kembali menggeser layar, mencari serpih-serpih ingatan di foto lainnya. Banyak foto yang dilewatinya dengan tergesa. Beberapa lainnya mencuri sekian detik perhatiannya. Pandangannya terkunci pada sebuah foto, ia sedang memboncengkan seorang perempuan. Pucuk Merapi dan gulungan awan menjadi latar belakang yang nglangut di hari mendung. Wajah perempuan itu tak terlalu jelas karena tertutup kaca helm, tetapi tatapan mata lelaki itu lekat sekian detik lebih lama.
Seperti kaleidoskop otomatis, ingatan terkutuknya kembali pada peristiwa beberapa pekan lalu ketika Hani–tunangannya—mengguyurkan segelas vodka saat mendapatinya sedang bergayut manja di jenjang leher Rossi, hostes sebuah pub yang di-booking-nya untuk menghabiskan malam lajang terakhir bersama kawan-kawan kantornya. Serapahnya menyesaki udara setelah ia sadar, di belahan payudara Rossi-lah ia semalam mendamparkan kesal akibat pernikahan yang gagal.
Brengsek! Cappuccino ini lebih pahit dari kopi hitam mana pun yang pernah kuminum.(*)
Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar untuk menjadi ibu, manusia dan penulis yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata